Senin, 27 November 2017

Menyikapi WTP

Menyikapi WTP
Moh Mahfud MD ;  Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN;  Ketua MK (2008-2013)
                                              KORAN SINDO, 25 November 2017



                                                           
KETIKA berbicara tentang dugaan atau sangkaan terjadinya korupsi oleh pejabat, orang sering memperdebatkan, apakah sebuah laporan hasil pemeriksaan (LHP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah memberi predikat wajar tanpa perkecualian (WTP) kepada sebuah instansi harus dianggap benar?

Apakah instansi yang mendapat WTP tersebut bisa dinyatakan bersih dari korupsi? “Tidak,” kata Ketua BPK Hadi Poernomo di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012.

Pada tahun 2012 itu MK mendapat kehormatan dikunjungi Ketua BPK setelah tujuh tahun berturut-turut (sejak 2 tahun terakhir kepemimpinan Prof Jimly, 2006) mendapat predikat WTP dari BPK. Pada saat itu Hadi Poernomo diminta MK untuk berceramah tentang bagaimana cara mengelola keuangan yang baik sehingga tidak bermasalah. Ketika memberi sambutan, sebagai ketua MK, saya mengatakan bahwa saya menyampaikan terima kasih atas penghargaan dari BPK.

Tapi waktu itu saya menyatakan, saya tidak yakin bahwa instansi yang mendapat predikat WTP itu bersih dari korupsi. Saya katakan itu di depan Pak Hadi Poernomo untuk meminta tanggapannya.

Pasti masih ada rekamannya di MK bahwa Hadi Poernomo pada waktu itu mengatakan, memang, di lembaga yang mendapat WTP belum tentu tidak ada korupsinya. Mendapat WTP hanya bisa diartikan bahwa laporan keuangannya secara “formal-administratif” telah benar menurut standar pengelolaan keuangan yang ditentukan BPK. Di dalamnya masih mungkin terjadi korupsi.

Pernyataan Hadi Poernomo itu sangat masuk akal. Nyatanya tidak sedikit di instansi-instansi yang mendapat WTP terjadi tindak pidana korupsi. Bisa saja di sebuah instansi yang laporan keuangannya menurut BPK berpredikat WTP, ada kanker korupsi di dalamnya.

Mengapa? Karena bisa saja BPK tidak tahu bahwa di balik laporan keuangan yang secara “formal-administratif” benar menurut BPK ada penendangan kembali uang (kick back) kepada pejabat yang bertanggung jawab atas proyek itu, tetapi tidak terdeteksi oleh BPK.

Jadi dalam menyikapi LHP dari BPK, baik yang berpredikat WTP maupun tidak, dalam kaitan dengan pemberantasan korupsi, penegak hukum pidana harus memilih dua cara. Pertama, jika menurut LHP ada temuan penyimpangan (penyelewengan), penegak hukum harus menindaklanjuti sesuai dengan perintah UU.

Kedua, jika menurut LHP suatu instansi berpredikat WTP dan tidak ditemukan penyimpangan, tetapi ada bukti lain telah terjadi korupsi di luar temuan “formal-administratif” BPK, penegak hukum harus menyelesaikannya secara hukum. Bukti ini bisa ditemukan melalui audit investigatif maupun melalui penyidikan atas laporan lain yang masuk.

Sudah banyak bukti, pejabat instansi yang mendapat WTP dipenjara karena korupsi. Predikat WTP yang tetap melahirkan koruptor itu bisa saja terjadi karena meski laporan keuangannya rapi dan benar secara “formal-administratif”, ada pemberian uang secara diam-diam sebagai kick back kepada pejabat, bahkan ada yang mengatur dan menyuap lebih dulu agar suatu proyek bisa direkayasa secara “formal-administratif“ tertentu.

Dalam fakta yang sekarang ada (dan sedang ditangani KPK), ada upaya jual beli WTP dari pejabat suatu instansi ke pejabat di BPK. Itu alasan lain mengapa WTP tidak harus dianggap selalu benar.

Dalam kaitan dengan korupsi ini, harus diingat bahwa korupsi itu tidak harus secara formal dibuktikan dengan adanya keterangan resmi atau dokumen adanya kerugian negara. Sebab selain korupsi itu sering bisa dibungkus dengan surat resmi yang rapi bahwa tidak ada kerugian negara, di dalam cakupan pengertian korupsi menurut hukum itu ada juga korupsi yang tak perlu bukti kerugian negara. Penyuapan atau kick back itu resminya tidak ada kerugian keuangan negaranya dan tidak pula ada dokumennya, tetapi tetap saja dihukumi sebagai korupsi.

Hakim-hakim, misalnya, umumnya tidak merugikan keuangan negara, tetapi mereka dihukumi korupsi karena menerima suap yang bukan dari uang negara. Kasus e-KTP itu menurut LHP yang dikeluarkan BPK tidak ada korupsinya, formal-administratifnya sudah bersih-sih-sih-sih. Tapi bungkus kolusi permainan korupsinya ternyata diduga banyak dan melibatkan jamaah yang besar.

Buktinya, dalam kasus itu, sudah ada yang mengembalikan uang dan sebagian pelakunya sudah diputus secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi sampai pada putusan tingkat pengadilan tinggi.

Berebutan mendapat WTP itu perlu dan bagus untuk tertibnya pengelolaan keuangan negara. Tapi jangan diartikan bahwa dengan punya WTP suatu instansi lalu dianggap bersih dari korupsi. Banyak, kok, pejabat yang dihukum, padahal instansi yang dipimpinnya punya piagam WTP dari BPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar