Menyikapi
WTP
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua
MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 25 November 2017
KETIKA berbicara tentang
dugaan atau sangkaan terjadinya korupsi oleh pejabat, orang sering
memperdebatkan, apakah sebuah laporan hasil pemeriksaan (LHP) oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah memberi predikat wajar tanpa perkecualian
(WTP) kepada sebuah instansi harus dianggap benar?
Apakah instansi yang
mendapat WTP tersebut bisa dinyatakan bersih dari korupsi? “Tidak,” kata
Ketua BPK Hadi Poernomo di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012.
Pada tahun 2012 itu MK
mendapat kehormatan dikunjungi Ketua BPK setelah tujuh tahun berturut-turut
(sejak 2 tahun terakhir kepemimpinan Prof Jimly, 2006) mendapat predikat WTP
dari BPK. Pada saat itu Hadi Poernomo diminta MK untuk berceramah tentang
bagaimana cara mengelola keuangan yang baik sehingga tidak bermasalah. Ketika
memberi sambutan, sebagai ketua MK, saya mengatakan bahwa saya menyampaikan
terima kasih atas penghargaan dari BPK.
Tapi waktu itu saya
menyatakan, saya tidak yakin bahwa instansi yang mendapat predikat WTP itu
bersih dari korupsi. Saya katakan itu di depan Pak Hadi Poernomo untuk
meminta tanggapannya.
Pasti masih ada rekamannya
di MK bahwa Hadi Poernomo pada waktu itu mengatakan, memang, di lembaga yang
mendapat WTP belum tentu tidak ada korupsinya. Mendapat WTP hanya bisa
diartikan bahwa laporan keuangannya secara “formal-administratif” telah benar
menurut standar pengelolaan keuangan yang ditentukan BPK. Di dalamnya masih
mungkin terjadi korupsi.
Pernyataan Hadi Poernomo
itu sangat masuk akal. Nyatanya tidak sedikit di instansi-instansi yang
mendapat WTP terjadi tindak pidana korupsi. Bisa saja di sebuah instansi yang
laporan keuangannya menurut BPK berpredikat WTP, ada kanker korupsi di
dalamnya.
Mengapa? Karena bisa saja
BPK tidak tahu bahwa di balik laporan keuangan yang secara
“formal-administratif” benar menurut BPK ada penendangan kembali uang (kick
back) kepada pejabat yang bertanggung jawab atas proyek itu, tetapi tidak
terdeteksi oleh BPK.
Jadi dalam menyikapi LHP
dari BPK, baik yang berpredikat WTP maupun tidak, dalam kaitan dengan
pemberantasan korupsi, penegak hukum pidana harus memilih dua cara. Pertama,
jika menurut LHP ada temuan penyimpangan (penyelewengan), penegak hukum harus
menindaklanjuti sesuai dengan perintah UU.
Kedua, jika menurut LHP
suatu instansi berpredikat WTP dan tidak ditemukan penyimpangan, tetapi ada
bukti lain telah terjadi korupsi di luar temuan “formal-administratif” BPK,
penegak hukum harus menyelesaikannya secara hukum. Bukti ini bisa ditemukan
melalui audit investigatif maupun melalui penyidikan atas laporan lain yang
masuk.
Sudah banyak bukti, pejabat
instansi yang mendapat WTP dipenjara karena korupsi. Predikat WTP yang tetap
melahirkan koruptor itu bisa saja terjadi karena meski laporan keuangannya
rapi dan benar secara “formal-administratif”, ada pemberian uang secara
diam-diam sebagai kick back kepada pejabat, bahkan ada yang mengatur dan
menyuap lebih dulu agar suatu proyek bisa direkayasa secara
“formal-administratif“ tertentu.
Dalam fakta yang sekarang
ada (dan sedang ditangani KPK), ada upaya jual beli WTP dari pejabat suatu
instansi ke pejabat di BPK. Itu alasan lain mengapa WTP tidak harus dianggap
selalu benar.
Dalam kaitan dengan korupsi
ini, harus diingat bahwa korupsi itu tidak harus secara formal dibuktikan
dengan adanya keterangan resmi atau dokumen adanya kerugian negara. Sebab
selain korupsi itu sering bisa dibungkus dengan surat resmi yang rapi bahwa
tidak ada kerugian negara, di dalam cakupan pengertian korupsi menurut hukum
itu ada juga korupsi yang tak perlu bukti kerugian negara. Penyuapan atau
kick back itu resminya tidak ada kerugian keuangan negaranya dan tidak pula
ada dokumennya, tetapi tetap saja dihukumi sebagai korupsi.
Hakim-hakim, misalnya,
umumnya tidak merugikan keuangan negara, tetapi mereka dihukumi korupsi
karena menerima suap yang bukan dari uang negara. Kasus e-KTP itu menurut LHP
yang dikeluarkan BPK tidak ada korupsinya, formal-administratifnya sudah
bersih-sih-sih-sih. Tapi bungkus kolusi permainan korupsinya ternyata diduga
banyak dan melibatkan jamaah yang besar.
Buktinya, dalam kasus itu,
sudah ada yang mengembalikan uang dan sebagian pelakunya sudah diputus secara
sah dan meyakinkan melakukan korupsi sampai pada putusan tingkat pengadilan
tinggi.
Berebutan mendapat WTP itu
perlu dan bagus untuk tertibnya pengelolaan keuangan negara. Tapi jangan
diartikan bahwa dengan punya WTP suatu instansi lalu dianggap bersih dari
korupsi. Banyak, kok, pejabat yang dihukum, padahal instansi yang dipimpinnya
punya piagam WTP dari BPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar