Holding
BUMN: Antara Hoaks dan Fakta
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
23 November
2017
Dalam sebuah iklan yang
hari-hari ini tengah ditayangkan oleh CNN, muncul buah apel. “Ini adalah
apel,” begitu narasinya. “Tetapi, beberapa gelintir orang akan berkata: itu
pisang!”
Lalu teman-temannya akan
berteriak, “Ya betul. Itu pisang. Pisang! Pisang! Pisang!” Terus menerus
berulang-ulang.
Pikiran saya mengatakan, cara
bicara orang yang "memaksa" kita menerima bahwa apel itu adalah
pisang bisa berbeda-beda, “Benar itu
pisang!” “Salah yang bilang itu apel.” “Berani taruhan berapa? Itu apel!” “Kalau warnanya kemerah-merahan
begitu, ya itu pisang.”
Iklan layanan masyarakat buatan
jaringan televisi berita terkenal itu lalu ditutup dengan kalimat, “Mereka
terus mengatakan sampai Anda akhirnya mulai percaya: jangan-jangan itu benar
pisang. Tetapi bukan! Itu adalah apel.”
Dahulukan fakta
Akhirnya CNN menulis dalam teks
iklannya: Dahulukanlah fakta!
Hari-hari ini saya dan Anda
terus dibombardir oleh pesan-pesan seperti itu. Seakan kita tengah dipaksa
untuk mengakui segala yang benar itu salah, berkorban itu tidak perlu,
pembangunan itu jahat, bangsa kita bodoh, dan sebaliknya segala yang salah
itu benar. Dan lama-lama kita pikir benar semua hoaks itu...
Sebagai akademisi, pekerjaan
saya dari dulu ya menguji validitas dan reliabilitas. Dan kini orang-orang
yang kurang kuat mentalnya pun, sekalipun berpendidikan tinggi, bisa saja
ketakutan dan mulai meracau bahwa apel itu adalah pisang.
Kita lihat saja kasus-kasusnya.
Tahun lalu, "pisang"-nya
adalah PKI, tapi tahun ini akan ditutup dengan isue BUMN.
Anda masih ingat, bukan? Tahun
lalu itu uang rupiah cetakan baru yang akan keluar (dan kini pasti sudah ada
di saku para penyebar hoax), diisukan mengandung logo "palu-arit,"
simbolnya partai komunis. Lalu presiden pun dituding PKI. Bahkan pertemuan
biasa pun diisukan sebagai rapatnya PKI. Isue itu lalu meredup.
Nah, bersiap-siap menyambut
akhir tahun sepertinya para penyebar hoax sudah punya daftar amunisi baru.
Mulanya digulirkan BUMN terlalu
kuat, swasta tak punya tempat. Setelah direspon, lalu muncul lagi bahwa
jumlah anak-cucu BUMN sudah kebanyakan. Presiden pun lalu merespon. Dikatakan
jumlahnya akan dirampingkan.
Tetapi begitu satu persatu
infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat
selesai dibangun, mulailah serangan-serangan berat berdatangan.
Diberitakan bahwa Bandara Soeta dan 8 bandara lainnya akan dijual karena
pemerintah nyaris bangkrut. Padahal kebandaraan kita baru saja bangkit.
Skytrax baru saja mengumumkan
Bandara Soeta sebagai The Wold's Most Improve Airport. Lalu kereta bandara
yang bergerak dari tengah-tengah kota Jakarta akan segera memasuki fase uji
coba.
Di Soeta, sky train yang
menghubungukan T1-T2-T3 pun sudah dioperasikan. Lalu Bandara Silangit yang
berskala internasional minggu ini dibuka presiden. Pertumbuhan penumpangnya
pun sebagai yang tertinggi di dunia.
Bagaimana mungkin mau dijual?
Tetapi, baiklah itu belum
selesai!
Setelah isu bandara gagal, lalu
isu jalan tol dan kini lebih seram
lagi: holding buat dijual. Bak pesan iklan CNN tadi, sejumlah orang
bersama-sama berteriak: "Itu buah apel (maaf, mungkin maksudnya:
kemajuan yang telah dicapai tidak
menyenangkan)."
Akses baru bagi masyarakat itu
sumber kemiskinan. Segala yang diperbarui itu adalah untuk dijual. Bandara
kita adalah yang terburuk, bukan menjadi lebih baik. Infrastruktur yang
dibangun besar-besaran adalah penyebab kemiskinan dan merosotnya daya beli.
Dan seterusnya.
Sayang kalau negara mendiamkan
hal-hal begitu. Informasi harus dihadapi dengan infornasi yang sama deras dan
jauh lebih berkualitas. Dan angka-angka saja tak pernah cukup. Sebab
pangkalnya adalah paradigma, yaitu bagaimana manusia suatu bangsa melihat dan
mempercayai angka. Jangan didiamkan.
Holding BUMN
Akhirnya, buah apel yang
dibilang pisang itu adalah soal holding. Kita maklum, karena akhir tahun ini
BUMN mulai menunjukkan hasil dari
kerja gesit dan keberaniannya mengambil alih proyek-proyek
berisiko. BUMN banyak membuka akses
tersumbat dan proyek yang
mangkrak.
Setelah memenangkan gugatannya
tentang holding BUMN di Mahkamah Agung, maka Kementrian BUMN mulai
merampungkan holding pertambangan.
Model holding ini pun,
dokumen-dokumen rencana strategi tertulisnya sudah beredar luas sejak setahun
yang lalu. Jadi para pakar bisa mengkajinya secara terbuka. Sayapun sering
membahasnya dalam berbagai kelas yang saya asuh di kampus.
Lagi pula holding BUMN bukan
hal yang baru, baik di dunia maupun di Indonesia.
Di Singapura, BUMN-BUMN kecil
itu di-holding-kan di bawah bendera Temasek. Di Malaysia namanya Khazanah
Nasional.
Sedangkan di tanah air kita
semua sudah lama melihat Astra dan Sinarmas sebagai holding.
Di BUMN sudah lama ada holding
semen (Semen Indonesia yang membawahi Semen Gresik, Semen Padang, Semen
Tonasa).
Lalu juga sudah ada holding pupuk (PT Pupuk Indonesia
Holding Company yang membawahi Pupuk Sriwidjaja, Petrokimia, Pupuk Kujang,
Pupuk Kalimantan Timur, Pupuk Iskandar Muda, Rekayasa Industri, Mega Eltra,
Asean Aceh Fertilizier, Hengam Petrochemical Company).
Holding itu, secara teoretis
tujuannya adalah untuk membuat bangsa ini sejahtera melalui BUMN. Supaya kita
tidak perlu belanja modal dan beli software-software mahal (untuk membentuk
digital company) sendiri-sendiri. Belinya satu saja, lalu di-share
beramai-ramai.
Holding itu juga kita perlukan
untuk “menghadapi” lawan-lawan dari dunia global yang sudah terlalu kuat di sini. Di zaman
ini, suatu bangsa haram "mengusir" dominasi asing dengan senjata atau nasionalisasi yang
sempit.
Dominasi itu hanya bisa diatasi
dengan cara-cara baru dan terhormat, yaitu keunggulan daya saing.
Kita tentu punya keinginan
menguasai lumbung-lumbung emas besar yang dikuasai asing. Tapi kalau
masing-masing perusahaan nasional bergerak sendiri-sendiri, mana mampu kita?
Ini tentu beda kalau holding.
Kita juga tahu dari 70-an izin
pengembangan smelter untuk mengolah tambang kekayaan nusantara di dalam
negeri, baru 7 yang sudah mulai dibangun. Selama ini bahan-bahan mentah itu
benar-benar mentah-mentah diangkut ke luar negeri. Indonesia dapat apa kalau
BUMN-nya dibiarkan kecil-kecil dan tidak bersatu?
Dikabarkan pula BUMN itu
di-holding-kan untuk memudahkan para oknum menjual anak-anak perusahaan
kepada asing dan aseng tanpa pengawasan DPR!
Masya Allah, seperti itukah
prasangka yang ditanamkan? Buah berwarna kemerah-merahan itu adalah apel,
bukan pisang! Tak cukupkah kita melihat bahwa terbentuknya holding-holding
terdahulu telah memperkuat industri kita?
Tak cukupkah kita menyaksikan
bahwa tak ada satupun anak-anak perusahaan di lingkungan holding terdahulu
(Semen dan Pupuk) yang dijual?
Kita perlu persatuan. Mempersatukan
kekuatan BUMN-BUMN yang awalnya kecil-kecil sendiri-sendiri untuk membeli,
bukan untuk menjual. Untuk menguasai,
bukan untuk dikuasai.
Sekali lagi, dahulukan fakta.
Kalau ada yang salah, minta diperbaiki. Bukan ditertawakan atau dijadikan bahan
kampanye bisnis atau politik. Kalau mereka melanggar, tuntutlah lewat jalur hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar