Selasa, 28 November 2017

Masalah Kepemimpinan Partai Politik

Masalah Kepemimpinan Partai Politik
M Alfan Alfian ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
                                                    KOMPAS, 27 November 2017



                                                           
Partai Golkar tengah mendapat sorotan luas di masyarakat. Sang ketua umum partai berlambang pohon beringin ini, Setya Novanto, tengah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam statusnya sebagai tersangka untuk yang kedua kalinya terkait kasus KTP elektronik.

Bagai sinetron, media massa tak henti-henti menayangkan babak per babak. Sejumlah pakar ramai mengulas.

Bagaimanapun, ujian yang menimpa Partai Golkar sungguh berat. Manakala masa depannya terletak pada persepsi publik, kecenderungannya negatif sebagai dampak logis personalisasi politik, hal yang sesungguhnya lazim terjadi di semua partai. Kalau ketua umum merosot sebagai tokoh antagonis, partai pun tertimpa hukum “the speed of distrust“, bola salju ketidakpercayaan. Puncaknya penurunan elektabilitas.

Partai Golkar kini di titik krusial. Kendati Setya Novanto tetap bertahan sebagai ketua umum apabila sidang praperadilan meloloskannya kembali, dia telanjur terkena persepsi negatif yang nyaris sempurna oleh masyarakat. Pergantian kepemimpinan partai, dari titik ini, bisa menjadi jalan keluar yang tidak terelakkan.

Milik masyarakat

Kepemimpinan merupakan kunci penting, kalau bukan yang terpenting, dalam organisasi politik mana pun. Fortunato Musella dalam bukunya, Political Leaders Beyond Party Politics (Palgrave Macmillan, 2018), mengingatkan bahwa masalah personalisasi politik dalam partai merupakan isu yang masih sangat relevan hingga dewasa ini. Yang sering mengemuka adalah fenomena oksimoron ketika partai berada pada kondisi partai perorangan (personality party) alias “partai kepemilikan” dan partai rasa perorangan (personalized party) alias partai terbuka tetapi bergantung pada sosok.

Fenomena demikian berkonsekuensi bahwa tidak saja sekadar citra pemimpin politik yang harus baik di mata masyarakat, tetapi juga efektivitas kepemimpinannya dalam mengelola kelembagaan partai. Yang juga perlu digarisbawahi kembali dari Musella, pemimpin partai sesungguhnya bukan semata-mata pengelola internal organisasi politik yang dipimpinnya, melainkan kepemimpinannya jauh melampaui itu semua. Dia milik seluruh masyarakat. Maka, wajarlah kiranya manakala masyarakat turut memberi komentar dan penilaian terhadap apa pun yang terjadi pada para pemimpin suatu partai politik.

Sekali lagi, partai itu aset masyarakat. Ketua umumnya pun “milik masyarakat”. Masyarakat ingin partai-partai politik tumbuh sehat dan menjadi garda depan dalam mengelola masalah-masalah demokrasi. Mereka tidak ingin partai sekadar sebagai kelompok elite yang-merujuk teori bandit Mancur Olson-bagaikan bandit-bandit menetap dan bergerak. Karena partai punya tujuan mulia, para elitenya dituntut berjiwa mulia dan fungsional dalam politik, dalam pengertian yang mengikhtiarkan kemaslahatan bersama.

Dalam konteks Indonesia, perlu dipikirkan partai politik sebagai entitas yang sangat strategis dan menentukan banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditetapkan sebagai berbadan hukum publik. Konstitusi perlu menegaskan hal itu, selain konteks pentingnya partai dibiayai negara dan dapat dibubarkan apabila tidak mampu mengelola keuangannya secara profesional.

Juga perlunya penegasan soal adanya jaminan proses demokrasi internal, selain kewenangannya dalam kandidasi pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada. Apabila konstitusi menegaskan hal-hal tersebut, problem oksimoron di atas bisa dikurangi atau diatasi.

Integritas

Pelajaran penting dari kasus di atas, terlepas dari polemik yang menyertainya, ialah betapa penting integritas bagi para pemimpin politik. Integritas  merupakan isu yang peka di zaman virtual ini. Ia bisa menggelinding liar di media sosial dan memengaruhi persepsi masyarakat. Para politisi memang selalu dihadapkan dilema, bahkan dirugikan, ketika isu integritas muncul dan diramaikan media sosial. Namun, para politisi juga bisa berselancar dalam ranah pasca-kebenaran (post-truth), di mana mereka berlomba merebut kebenaran persepsional, bukan kebenaran faktual, sebagaimana dalam kasus Donald Trump.

Dalam konteks kontestasi politik, sistem pemilu di Indonesia dewasa ini, yakni proporsional terbuka berbasis suara terbanyak, posisi dan sepak terjang tokoh demikian menentukan kebenaran persepsional itu. Karena itu, lazim saja manakala sosok-sosok penting dalam suatu partai disorot publik, apalagi dikaitkan dengan kasus korupsi, kewibawaan partai juga terkena imbasnya: anjlok!

Belakangan ini sering mengemuka pendapat bahwa untuk partai semacam Partai Golkar, karena sistemnya dianggap sangat baik, siapa pun ketua umumnya, partai akan tetap jalan. Pandangan semacam ini harus dikritisi mengingat sistem yang baik, tanpa kepemimpinan politik yang efektif, tak menjamin kebesaran partai bertahan secara elektoral. Tentu syarat utama kepemimpinan efektif ialah kekuatan moral pemimpinnya. Karismanya alamiah, bukan buatan, sehingga magnet politiknya lebih kuat.

Kepemimpinan yang efektif, kendati istilah ini lazim dalam organisasi bisnis, dalam konteksnya juga diperlukan oleh organisasi politik. Efektivitas kepemimpinan organisasi politik pada akhirnya akan diukur secara komparatif dan kontestatif. Secara komparatif, partainya bertahan dalam kelembagaan partai yang modern dan kuat kesistemannya, lebih baik dan maju ketimbang kompetitornya. Sementara secara kontestatif terkait komonceran prestasi elektoralnya.

Kualitas para pemimpin dalam dunia politik akan selalu tertuju pada sejauh mana elite kepemimpinannya eksis dan berkiprah. Kualitas personal dan tanggung jawab akan terus dipantau masyarakat. Dari sinilah diharapkan para elite partai saling mengingatkan agar integritas personal dan kelembagaan partai selalu dijaga dan dikedepankan.

Tidak mudah menemukan pemimpin ideal yang bukan bermental medioker dan pemburu rente kekuasaan belaka, tetapi partai punya tanggung jawab perkaderan. Yang tak muncul kepemimpinannya seyogianya tak dipaksakan memimpin. Ini penting bukan saja demi kebaikan partai, melainkan juga masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar