Masalah
Kepemimpinan Partai Politik
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
27 November
2017
Partai Golkar tengah mendapat sorotan luas
di masyarakat. Sang ketua umum partai berlambang pohon beringin ini, Setya
Novanto, tengah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam statusnya
sebagai tersangka untuk yang kedua kalinya terkait kasus KTP elektronik.
Bagai sinetron, media massa tak henti-henti
menayangkan babak per babak. Sejumlah pakar ramai mengulas.
Bagaimanapun, ujian yang menimpa Partai
Golkar sungguh berat. Manakala masa depannya terletak pada persepsi publik,
kecenderungannya negatif sebagai dampak logis personalisasi politik, hal yang
sesungguhnya lazim terjadi di semua partai. Kalau ketua umum merosot sebagai
tokoh antagonis, partai pun tertimpa hukum “the speed of distrust“, bola
salju ketidakpercayaan. Puncaknya penurunan elektabilitas.
Partai Golkar kini di titik krusial.
Kendati Setya Novanto tetap bertahan sebagai ketua umum apabila sidang
praperadilan meloloskannya kembali, dia telanjur terkena persepsi negatif
yang nyaris sempurna oleh masyarakat. Pergantian kepemimpinan partai, dari
titik ini, bisa menjadi jalan keluar yang tidak terelakkan.
Milik
masyarakat
Kepemimpinan merupakan kunci penting, kalau
bukan yang terpenting, dalam organisasi politik mana pun. Fortunato Musella
dalam bukunya, Political Leaders Beyond Party Politics (Palgrave Macmillan,
2018), mengingatkan bahwa masalah personalisasi politik dalam partai
merupakan isu yang masih sangat relevan hingga dewasa ini. Yang sering
mengemuka adalah fenomena oksimoron ketika partai berada pada kondisi partai
perorangan (personality party) alias “partai kepemilikan” dan partai rasa
perorangan (personalized party) alias partai terbuka tetapi bergantung pada
sosok.
Fenomena demikian berkonsekuensi bahwa
tidak saja sekadar citra pemimpin politik yang harus baik di mata masyarakat,
tetapi juga efektivitas kepemimpinannya dalam mengelola kelembagaan partai.
Yang juga perlu digarisbawahi kembali dari Musella, pemimpin partai
sesungguhnya bukan semata-mata pengelola internal organisasi politik yang
dipimpinnya, melainkan kepemimpinannya jauh melampaui itu semua. Dia milik
seluruh masyarakat. Maka, wajarlah kiranya manakala masyarakat turut memberi
komentar dan penilaian terhadap apa pun yang terjadi pada para pemimpin suatu
partai politik.
Sekali lagi, partai itu aset masyarakat.
Ketua umumnya pun “milik masyarakat”. Masyarakat ingin partai-partai politik
tumbuh sehat dan menjadi garda depan dalam mengelola masalah-masalah
demokrasi. Mereka tidak ingin partai sekadar sebagai kelompok elite
yang-merujuk teori bandit Mancur Olson-bagaikan bandit-bandit menetap dan bergerak.
Karena partai punya tujuan mulia, para elitenya dituntut berjiwa mulia dan
fungsional dalam politik, dalam pengertian yang mengikhtiarkan kemaslahatan
bersama.
Dalam konteks Indonesia, perlu dipikirkan
partai politik sebagai entitas yang sangat strategis dan menentukan banyak
hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditetapkan sebagai berbadan hukum
publik. Konstitusi perlu menegaskan hal itu, selain konteks pentingnya partai
dibiayai negara dan dapat dibubarkan apabila tidak mampu mengelola keuangannya
secara profesional.
Juga perlunya penegasan soal adanya jaminan
proses demokrasi internal, selain kewenangannya dalam kandidasi pemilu
legislatif, pilpres, dan pilkada. Apabila konstitusi menegaskan hal-hal
tersebut, problem oksimoron di atas bisa dikurangi atau diatasi.
Integritas
Pelajaran penting dari kasus di atas,
terlepas dari polemik yang menyertainya, ialah betapa penting integritas bagi
para pemimpin politik. Integritas
merupakan isu yang peka di zaman virtual ini. Ia bisa menggelinding
liar di media sosial dan memengaruhi persepsi masyarakat. Para politisi
memang selalu dihadapkan dilema, bahkan dirugikan, ketika isu integritas
muncul dan diramaikan media sosial. Namun, para politisi juga bisa
berselancar dalam ranah pasca-kebenaran (post-truth), di mana mereka berlomba
merebut kebenaran persepsional, bukan kebenaran faktual, sebagaimana dalam
kasus Donald Trump.
Dalam konteks kontestasi politik, sistem
pemilu di Indonesia dewasa ini, yakni proporsional terbuka berbasis suara
terbanyak, posisi dan sepak terjang tokoh demikian menentukan kebenaran
persepsional itu. Karena itu, lazim saja manakala sosok-sosok penting dalam
suatu partai disorot publik, apalagi dikaitkan dengan kasus korupsi,
kewibawaan partai juga terkena imbasnya: anjlok!
Belakangan ini sering mengemuka pendapat
bahwa untuk partai semacam Partai Golkar, karena sistemnya dianggap sangat
baik, siapa pun ketua umumnya, partai akan tetap jalan. Pandangan semacam ini
harus dikritisi mengingat sistem yang baik, tanpa kepemimpinan politik yang
efektif, tak menjamin kebesaran partai bertahan secara elektoral. Tentu
syarat utama kepemimpinan efektif ialah kekuatan moral pemimpinnya.
Karismanya alamiah, bukan buatan, sehingga magnet politiknya lebih kuat.
Kepemimpinan yang efektif, kendati istilah
ini lazim dalam organisasi bisnis, dalam konteksnya juga diperlukan oleh
organisasi politik. Efektivitas kepemimpinan organisasi politik pada akhirnya
akan diukur secara komparatif dan kontestatif. Secara komparatif, partainya
bertahan dalam kelembagaan partai yang modern dan kuat kesistemannya, lebih
baik dan maju ketimbang kompetitornya. Sementara secara kontestatif terkait
komonceran prestasi elektoralnya.
Kualitas para pemimpin dalam dunia politik
akan selalu tertuju pada sejauh mana elite kepemimpinannya eksis dan
berkiprah. Kualitas personal dan tanggung jawab akan terus dipantau
masyarakat. Dari sinilah diharapkan para elite partai saling mengingatkan
agar integritas personal dan kelembagaan partai selalu dijaga dan
dikedepankan.
Tidak mudah menemukan pemimpin ideal yang
bukan bermental medioker dan pemburu rente kekuasaan belaka, tetapi partai
punya tanggung jawab perkaderan. Yang tak muncul kepemimpinannya seyogianya
tak dipaksakan memimpin. Ini penting bukan saja demi kebaikan partai,
melainkan juga masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar