Jumat, 17 November 2017

Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi

Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi
Mangadar Situmorang ;  Rektor Universitas Katolik Parahyangan
                                                    KOMPAS, 16 November 2017



                                                           
Pada 26 September 2017, pimpinan lebih dari 3.000 perguruan tinggi di Indonesia membuat deklarasi di Bali, menolak radikalisme dan intoleransi yang dinilai semakin marak.

Deklarasi dinyatakan di hadapan Presiden Joko Widodo. Para pemimpin perguruan tinggi (PT) ini juga menegaskan kesetiaan dan dukungan pada satu ideologi Pancasila, satu konstitusi UUD 1945, satu negara NKRI, dan satu semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Peristiwa itu berlanjut pada peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2017 dengan pergelaran “Aksi Kebangsaan Menolak Radikalisme dan Intoleransi”.

Sejumlah media daring dan medsos memberitakan, dalam kuliah akbar, sebanyak 4,5 juta mahasiswa di seluruh Indonesia bersama-sama menyatakan komitmen mendukung empat pilar atau konsensus nasional itu. Pergelaran aksi kebangsaan yang melibatkan hampir semua PT di Indonesia itu berlangsung aman dan tertib.

PT sebagai badan publik

Dua pertanyaan yang muncul: apa rasionalitas PT melakukan aksi itu dan apakah kegiatan aksi kebangsaan seperti itu tidak justru menggerogoti otonomi PT yang selama ini menjadi privelese (hak istimewa) PT?

Dalam pemahaman umum, yang disebut instansi atau badan publik adalah lembaga yang menjalankan tugas pokok kenegaraan. Untuk tugas tersebut, negara menyediakan alokasi anggaran dari APBN. Dalam konteks ini, perguruan tinggi negeri (PTN) merupakan institusi publik, yang mengemban tanggung jawab dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundangan. Sementara perguruan tinggi swasta (PTS) memiliki sebagian besar karakteristik publik tersebut sehingga sebagaimana halnya PTN, juga mengemban tugas kenegaraan, yakni turut serta membangun dan mencerdaskan warga negara, meski tidak atau hanya sedikit dapat bantuan pendanaan dari APBN/APBD.

Karena dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, PTS menerima dana yang berasal dari masyarakat berupa uang kuliah dan sejenisnya, pada PTS juga melekat pertanggungjawaban publik. Ini tak terbatas pada tingkat keterserapan lulusan PTS di dunia kerja, tetapi juga menyangkut sikap, orientasi, dan perilaku para lulusan yang seyogianya berorientasi pada pembangunan masyarakat secara umum, terbuka, majemuk, dan adil; bukan untuk kepentingan kelompok tertentu yang bersifat parsial apalagi diskriminatif.

Aksi kebangsaan melawan radikalisme dan intoleransi dengan demikian memiliki rasionalitas.

PT sebagai lembaga pendidikan tinggi

Keutamaan PT di Indonesia sebagai lembaga pendidikan tinggi adalah otonomi yang dimiliki. Hal ini tak hanya diatur secara hukum dalam UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 8 dan 9), tetapi juga secara historis telah mengadopsi norma umum yang berlaku secara universal (Deklarasi UNESCO).

Secara ringkas, Pasal 8 menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pendidikan tinggi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kebebasan dan otonomi akademik ini merujuk pada Pasal 3 di mana disebutkan pendidikan tinggi berasas pada kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebinekaan, dan keterjangkauan.

Dengan merujuk Deklarasi UNESCO, Prof T Basaruddin sebagai Ketua Dewan Eksekutif BAN-PT menegaskan bahwa PT, antara lain, memiliki hak-hak di mana mahasiswa berhak untuk belajar, toleran atas pendapat yang berbeda dan bebas dari intervensi politik, dan sebagai institusi publik harus menegakkan kebebasan dan keadilan, solidaritas dan kemanusiaan, menyebarluaskan dan mengembangkan iptek, serta mencegah terjadinya hegemoni intelektual.

Hegemoni intelektual ini umumnya jadi karakteristik dosen/pengajar karena penguasaan keilmuan yang luas dan dalam, baik karena faktor waktu yang telah dihabiskan untuk terus belajar atau/dan kombinasi kapabilitas akademik yang luar biasa.

Hegemoni intelektual dapat menjadi berbahaya dan menyesatkan jika tak lagi terbuka ruang untuk pemikiran-pemikiran relatif dan alternatif. Hal itu bisa terjadi ketika kebenaran-kebenaran ilmiah yang dimiliki telah berubah menjadi dogma yang tidak lagi dapat diperdebatkan dan diragukan kebenarannya. Kebenaran-kebenaran yang dimiliki bukan lagi kebenaran akademik yang sesungguhnya selalu terbuka untuk diverifikasi atau difalsifikasi, tetapi telah dimistiskan atau disakralkan.

Kecenderungan seperti itu kian berbahaya ketika praktik individual (oknum) seperti itu berubah menjadi kolektif dan bahkan institusional. Hal itu berlangsung tak saja lewat dogmatisasi kebenaran akademik, tetapi sangat mungkin lewat intervensi kebijakan dan manajerial.

Materi-materi pembelajaran dan penelitian selalu dikaitkan dengan nilai-nilai religiositas tertentu. Kebijakan dan program rekrutasi dan pengembangan pegawai juga sudah diembeli kualifikasi nonprofesional tertentu. PT secara perlahan berubah menjadi lembaga indoktrinasi dan ideologisasi.

Peneguhan jati diri

Aksi kebangsaan PT menolak radikalisme dan intoleransi seyogianya dimaknai sebagai pernyataan memurnikan diri dari berbagai bentuk penyimpangan dalam pengelolaan perguruan tinggi dan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Penyimpangan tersebut bisa disebabkan oleh pengaruh dan infiltrasi eksternal ataupun dari praktik-praktik internal yang intoleran.

Pengaruh-pengaruh eksternal tersebut tidak terbatas hanya pada ideologi-ideologi radikal yang ingin menggantikan ideologi negara, tetapi juga paham-paham ekstrem yang dapat menggerogoti otonomi perguruan tinggi yang berkarakter Indonesia. Paham-paham semacam itu bervariasi, baik jenis maupun intensitasnya. Liberalisme dan neoliberalisme, misalnya, tidak sekadar menawarkan universalisasi atau internasionalisasi nilai-nilai dan standar-standar, tetapi juga cenderung menggiring PT ke ranah komersialisasi.

PT di Indonesia yang berjumlah lebih dari 4.000 dengan sekitar lima juta mahasiswa dan dosen/pegawai yang terlibat di dalamnya menjadi bagian dari transaksi-transaksi ekonomi kapitalis global. Tidak jarang institusi negara menjadi instrumen pasar yang secara cerdik dan legal membawa PT menjadi bagian dari transaksi globalisme-tidak sekadar diukur dengan nilai dan volume ekonomis, tetapi dalam bentuk peringkat, rangking, dan reputasi PT.

Demikian juga dengan paham statisme, di mana negara hendak terlibat jauh dalam urusan pengembangan dan pewarisan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lewat berbagai regulasi dan birokratisasi PT disetir untuk memenuhi standar-standar dan tuntutan kinerja yang ditetapkan oleh pemerintah.

Gerakan kebangsaan PT juga ditujukan sebagai pemurnian diri dari praktik-praktik internal yang menafikan perbedaan, yang tidak membuka ruang bagi ragam pendapat dan identitas, dan yang menghambat kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pewarisan budaya secara kritis dan kreatif.

Jika demikian halnya, gerakan kebangsaan yang dilakukan oleh PT patut pula dibaca sebagai upaya serius untuk menegaskan jati diri PT yang tidak saja otonom tetapi yang berjati diri Indonesia. Barangkali dalam konteks ini Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) perlu mempertimbangkan perlunya instrumentasi standar yang bisa mengukur tingkat toleransi, inklusivitas, dan otonomi PT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar