Memperkukuh
Persatuan,
Meneguhkan
Konsensus Kebangsaan
Muhammadun ; Peneliti di Lembaga Ta’lif wan Nasyr PWNU DI
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 November 2017
PADA 23-25 November ini,
Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar
(Konbes) di NTB. Perhelatan besar mengambil tema Mengukuhkan nilai kebangsaan
dengan agenda deradikalisasi dan penguatan ekonomi warga. Dari sini, NU selalu
setia untuk menjaga NKRI dari rongrongan siapa pun, khususnya radikalisme dan
terorisme yang akhir-akhir ini begitu nyata tidak mengakui Pancasila dan
NKRI. Bagi NU, sejak lahir Indonesia ialah rumah bersama yang dihuni oleh
aneka ragam budaya, etnik, ras, suku, dan agama. Semua ialah anak bangsa yang
bersama-sama mendirikan sebuah negara bernama NKRI. Makanya, bagi Gus Dur,
prinsip Bhinneka Tunggal Ika Mpu Tantular misalnya, telah mengilhami para
penguasa Nusantara dari zaman Hindu-Buddha hingga dewasa ini, dan Sunan
Kalijogo yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal mendidik para
penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual. Melalui para muridnya, antara lain Sultan
Adiwijoyo, Juru Martani, dan Senopati ing Alogo, Sunan Kalijogo berhasil
menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur itu yang manfaatnya tetap
bisa kita nikmati hingga dewasa ini.
Nilai-nilai luhur inilah yang
menjadi fondasi berdemokrasi RI sampai saat ini. Walaupun seringkali
dibidahkan dan dikafirkan, tetapi nilai-nilai luhur itu tetap menjadi
pegangan bangsa Indonesia dalam merangkai semua kerumitan dan mengurai semua
problem yang terus terjadi sehingga lahirnya konsensus kebangsaan bernama
Pancasila dan NKRI yang menjadi rumah bersama semua anak bangsa.
Media sosial (medsos) hadir di
tengah dunia penuh gemerlap teknologi informasi, dengan beragam fungsi dan
manfaatnya. Banyak sisi positif, tetapi sangat banyak sisi negatif, bahkan
tidak sedikit yang menggunakan medsos untuk merusak nilai luhur bangsa, dan konsensus
kebangsaan kita. Kehidupan sehari-hari yang sebelumnya dipenuhi guyup rukun
dan gotong royong berubah menjadi individualis yang saling mencaci dan
menebarkan fitnah. Nilai luhur bangsa menjadi ‘barang asing’ atau bahkan
diasingkan dalam kehidupan sehari-hari.
Era teknologi informasi saat
ini menjadikan manusia berada dalam simbolisme global. Aditya Wijaya (2017)
menganalisis bahwa kita berada dalam lautan simbolisme global yang
sewaktu-waktu bisa menenggelamkan kita. Alih-alih menempatkan simbol sebagai
representasi keagungan nilai budaya masa silam, kita justru asyik masyuk
dengan simbolisme global yang seakan sudah menjadi idealisme.
Negara yang dibangun atas dasar
mabuknya rakyat dan otoritas pemerintahan terhadap anggur-anggur simbolisme
global akan menjadikan negara yang sudah bukan lagi lahir dari ta’dhim-nya
bangsa terhadap proses pembangunan budayanya sendiri. Negara yang hanya doyan
mendapat legitimasi dari simbolisme global tak lebih seperti negara
artifisial. Sudah saatnya kita mendefinisikan simbol kita sendiri dengan
rendah hati mau belajar dan mempelajari apa yang telah ditinggalkan nenek
moyang kita. Sebuah tatanan peradaban yang telah dan pernah berada pada titik
puncaknya.
Konsensus kebangsaan
Yang mesti dilakukan negara di
tengah kegalauan medsos dan hoaks ialah mengelola konflik antaranak bangsa
dengan menguatkan demokrasi responsif. Dinamika konflik antarsesama adalah
hal wajar dalam proses demokrasi. Makanya, perlu upaya serius meneguhkan
demokrasi responsif.
Meminjam analisis J Rhee Baum
dalam Responsive Democracy, bahwa demokrasi responsif ditandai kelembagaan
pemerintahan yang memiliki kecepatan dan kualitas respons yang baik atas
berbagai tuntutan publik. Pemerintahan dalam demokrasi responsif membangun
sistem dan kebudayaan yang memiliki ketanggapan kuat terhadap isu-isu dalam
masyarakat tentang kebijakan pemerintahan, yang selanjutnya memasukkan
isu-isu itu sebagai prioritas dalam upaya penyelesaian masalah. Prinsip utama
penyelesaian dalam demokrasi responsif adalah demi kebaikan umum (common
bonum).
Prinsip dasar menciptakan
penyelesaian yang baik untuk umum adalah menyediakan dan meningkatkan
kualitas partisipasi kelompok kepentingan secara transparan serta setara.
Artinya, negara tidak sekadar menyediakan prosedur formal partisipasi, tapi
juga mendorong kualitasnya. Dimensi dasar dari kualitas partisipasi ialah
kontinuitas dialog atau negosiasi sampai terjadi kesepakatan atas konsep
penyelesaian kasus tertentu.
Kontinuitas dialog-negosiasi
dalam medsos bisa digunakan sehingga mampu menciptakan penyelesaian masalah
berbasis kebaikan umum, yang ditandai proses damai dan dukungan masyarakat
luas. Pengelolaan konflik berbagai kasus medsos oleh negara, baik dalam isu
pertambangan, pertanahan, maupun perburuhan, harus berprinsip pada demokrasi
responsif.
Prinsip itu menjadi penting
jika misi utama pengelolaan konflik oleh negara merupakan pemecahan masalah
yang mampu memberi kebaikan umum. Namun, ketika negara yang diselenggarakan
oleh pemerintah pusat dan daerah lebih memilih politik keras kepala dan
pengabaian terhadap tuntutan publik, fenomena kekerasan dan amuk massa akan
terus direproduksi.
Mengukuhkan kebangsaan
Kekerasan medsos bukanlah
prestasi yang membanggakan bagi bangsa. NU sebagai ormas Islam moderat
mempunyai tugas sangat krusial menyemai gerakan baru dalam menghadirkan
managemen konflik berbasis medsos dalam rangka mengurai berbagai kasus
konflik di RI. Bukan saja dalam konflik akibat radikalisme dan terorisme,
juga konflik politik, budaya, ekonomi, dan lainnya.
Konflik pasti terjadi, tetapi
managemen politik harus digerakkan untuk menggali potensi di balik konflik
anak negeri. Potensi itulah yang justru menjadikan konflik sebagai sumber
kemajuan. RI harus terus belajar, jangan sampai terbelah dan terjebak dengan
konfliknya sendiri.
Managemen konflik berbasis
medsos harus diarahkan untuk membangun budaya damai. Dalam budaya damai,
kehidupan dibangun untuk saling menghormati, mengayomi, penuh kesantunan dan
kebijaksanaan. Inilah basis kebudayaan yang harus dibangun, karena budaya
damai bukan saja menyelesaikan persoalan, tetapi juga membangun tradisi dan
kultur yang akan diwariskan kepada generasi penerus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar