Sabtu, 25 November 2017

Memperkukuh Persatuan, Meneguhkan Konsensus Kebangsaan

Memperkukuh Persatuan,
Meneguhkan Konsensus Kebangsaan
Muhammadun ;  Peneliti di Lembaga Ta’lif wan Nasyr PWNU DI Yogyakarta
                                          MEDIA INDONESIA, 23 November 2017



                                                           
PADA 23-25 November ini, Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) di NTB. Perhelatan besar mengambil tema Mengukuhkan nilai kebangsaan dengan agenda deradikalisasi dan penguatan ekonomi warga. Dari sini, NU selalu setia untuk menjaga NKRI dari rongrongan siapa pun, khususnya radikalisme dan terorisme yang akhir-akhir ini begitu nyata tidak mengakui Pancasila dan NKRI. Bagi NU, sejak lahir Indonesia ialah rumah bersama yang dihuni oleh aneka ragam budaya, etnik, ras, suku, dan agama. Semua ialah anak bangsa yang bersama-sama mendirikan sebuah negara bernama NKRI. Makanya, bagi Gus Dur, prinsip Bhinneka Tunggal Ika Mpu Tantular misalnya, telah mengilhami para penguasa Nusantara dari zaman Hindu-Buddha hingga dewasa ini, dan Sunan Kalijogo yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual.  Melalui para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, dan Senopati ing Alogo, Sunan Kalijogo berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur itu yang manfaatnya tetap bisa kita nikmati hingga dewasa ini.

Nilai-nilai luhur inilah yang menjadi fondasi berdemokrasi RI sampai saat ini. Walaupun seringkali dibidahkan dan dikafirkan, tetapi nilai-nilai luhur itu tetap menjadi pegangan bangsa Indonesia dalam merangkai semua kerumitan dan mengurai semua problem yang terus terjadi sehingga lahirnya konsensus kebangsaan bernama Pancasila dan NKRI yang menjadi rumah bersama semua anak bangsa.

Media sosial (medsos) hadir di tengah dunia penuh gemerlap teknologi informasi, dengan beragam fungsi dan manfaatnya. Banyak sisi positif, tetapi sangat banyak sisi negatif, bahkan tidak sedikit yang menggunakan medsos untuk merusak nilai luhur bangsa, dan konsensus kebangsaan kita. Kehidupan sehari-hari yang sebelumnya dipenuhi guyup rukun dan gotong royong berubah menjadi individualis yang saling mencaci dan menebarkan fitnah. Nilai luhur bangsa menjadi ‘barang asing’ atau bahkan diasingkan dalam kehidupan sehari-hari.

Era teknologi informasi saat ini menjadikan manusia berada dalam simbolisme global. Aditya Wijaya (2017) menganalisis bahwa kita berada dalam lautan simbolisme global yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan kita. Alih-alih menempatkan simbol sebagai representasi keagungan nilai budaya masa silam, kita justru asyik masyuk dengan simbolisme global yang seakan sudah menjadi idealisme.

Negara yang dibangun atas dasar mabuknya rakyat dan otoritas pemerintahan terhadap anggur-anggur simbolisme global akan menjadikan negara yang sudah bukan lagi lahir dari ta’dhim-nya bangsa terhadap proses pembangunan budayanya sendiri. Negara yang hanya doyan mendapat legitimasi dari simbolisme global tak lebih seperti negara artifisial. Sudah saatnya kita mendefinisikan simbol kita sendiri dengan rendah hati mau belajar dan mempelajari apa yang telah ditinggalkan nenek moyang kita. Sebuah tatanan peradaban yang telah dan pernah berada pada titik puncaknya.

Konsensus kebangsaan

Yang mesti dilakukan negara di tengah kegalauan medsos dan hoaks ialah mengelola konflik antaranak bangsa dengan menguatkan demokrasi responsif. Dinamika konflik antarsesama adalah hal wajar dalam proses demokrasi. Makanya, perlu upaya serius meneguhkan demokrasi responsif.

Meminjam analisis J Rhee Baum dalam Responsive Democracy, bahwa demokrasi responsif ditandai kelembagaan pemerintahan yang memiliki kecepatan dan kualitas respons yang baik atas berbagai tuntutan publik. Pemerintahan dalam demokrasi responsif membangun sistem dan kebudayaan yang memiliki ketanggapan kuat terhadap isu-isu dalam masyarakat tentang kebijakan pemerintahan, yang selanjutnya memasukkan isu-isu itu sebagai prioritas dalam upaya penyelesaian masalah. Prinsip utama penyelesaian dalam demokrasi responsif adalah demi kebaikan umum (common bonum).

Prinsip dasar menciptakan penyelesaian yang baik untuk umum adalah menyediakan dan meningkatkan kualitas partisipasi kelompok kepentingan secara transparan serta setara. Artinya, negara tidak sekadar menyediakan prosedur formal partisipasi, tapi juga mendorong kualitasnya. Dimensi dasar dari kualitas partisipasi ialah kontinuitas dialog atau negosiasi sampai terjadi kesepakatan atas konsep penyelesaian kasus tertentu.

Kontinuitas dialog-negosiasi dalam medsos bisa digunakan sehingga mampu menciptakan penyelesaian masalah berbasis kebaikan umum, yang ditandai proses damai dan dukungan masyarakat luas. Pengelolaan konflik berbagai kasus medsos oleh negara, baik dalam isu pertambangan, pertanahan, maupun perburuhan, harus berprinsip pada demokrasi responsif.

Prinsip itu menjadi penting jika misi utama pengelolaan konflik oleh negara merupakan pemecahan masalah yang mampu memberi kebaikan umum. Namun, ketika negara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah lebih memilih politik keras kepala dan pengabaian terhadap tuntutan publik, fenomena kekerasan dan amuk massa akan terus direproduksi.

Mengukuhkan kebangsaan

Kekerasan medsos bukanlah prestasi yang membanggakan bagi bangsa. NU sebagai ormas Islam moderat mempunyai tugas sangat krusial menyemai gerakan baru dalam menghadirkan managemen konflik berbasis medsos dalam rangka mengurai berbagai kasus konflik di RI. Bukan saja dalam konflik akibat radikalisme dan terorisme, juga konflik politik, budaya, ekonomi, dan lainnya.

Konflik pasti terjadi, tetapi managemen politik harus digerakkan untuk menggali potensi di balik konflik anak negeri. Potensi itulah yang justru menjadikan konflik sebagai sumber kemajuan. RI harus terus belajar, jangan sampai terbelah dan terjebak dengan konfliknya sendiri.
Managemen konflik berbasis medsos harus diarahkan untuk membangun budaya damai. Dalam budaya damai, kehidupan dibangun untuk saling menghormati, mengayomi, penuh kesantunan dan kebijaksanaan. Inilah basis kebudayaan yang harus dibangun, karena budaya damai bukan saja menyelesaikan persoalan, tetapi juga membangun tradisi dan kultur yang akan diwariskan kepada generasi penerus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar