Setya
Novanto Belum ”Game Over”
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
25 November
2017
Apa kurang kuatnya Presiden
Robert Gabriel Mugabe (93). Di Zimbabwe, dia berkuasa selama 37 tahun,
semenjak berjuang untuk negerinya. Tetapi, kemudian dia memerintah dengan
tangan besi. Belakangan dia terancam dimakzulkan. Rakyat, politikus, dan
parlemen bersatu. Akhirnya dia tak berkutik. Selasa (21/11) lalu, Mugabe
mundur. Lewat sepucuk surat, dia menulis, ”Saya, Robert Gabriel Mugabe,
sesuai Pasal 96, Sub-Bab 1 Konstitusi Zimbabwe, dengan ini secara resmi
mengajukan pengunduran diri saya sebagai Presiden Republik Zimbabwe”. Mugabe
dianggap biang kerok kekacauan politik dan ekonomi di negerinya dalam 15
tahun terakhir. Kesalahan lainnya, dia dinilai tidak menghargai aturan hukum.
Riwayat Mugabe yang tragis, from hero to zero.
Orang kuat, mesti disadari
betul, tidak abadi. Juga tidak selamanya berkuasa. Begitulah yang kita
saksikan di negeri ini. Setya Novanto, Ketua DPR dan Ketua Umum Partai
Golkar, tersangka kasus korupsi KTP elektronik, akhirnya juga tak berkutik di
tangan KPK. Tetapi, itu pun mesti dilakukan pertandingan ulangan. Sebab, pada
kasus pertama, Novanto berhasil memukul balik KPK. Ia menang praperadilan
sehingga penetapan tersangka terhadap dirinya tak sah. Tak cukup sekali
pukul. Bertubi-tubi pukulan dilancarkan ke KPK: melaporkan pimpinan KPK
dengan tuduhan surat palsu dan penyalahgunaan kekuasaan serta menguji materi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Di luar itu, para netizen yang
menyebarkan meme-meme lucu tentang Novanto dilaporkan ke polisi. Padahal,
esensi meme satir di dalam sistem demokrasi adalah kritik.
Novanto kemudian dijadikan
tersangka kembali oleh KPK. Namun, proses pemanggilan Novanto sangat alot.
Sampai KPK pun harus menjemput ke rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, pada Rabu (15/11) malam, tetapi itu pun gagal. Novanto menghilang.
Jejaknya tak berbekas sekitar satu hari. Sampai ditemukan dirawat di Rumah
Sakit Medika Permata Hijau setelah mobil yang membawanya menabrak tiang lampu
jalan. Tiang lampu jalan punya andil besar melacak jejak Novanto. Ketika KPK
berhasil menahannya, banyak orang mengira riwayatnya akan ”tamat”.
Namun, publik kembali terkecoh.
Di dalam sel KPK, dia ternyata mampu menulis surat, bahkan dua surat
sekaligus. Padahal selalu digambarkan lemah, sakit, tidur terus. Satu surat
untuk DPP Partai Golkar dan satu lagi untuk pimpinan DPR. Dua surat yang
waktunya sama dengan surat Mugabe itu bernada perintah. Untuk pimpinan Partai
Golkar inti suratnya: ”disampaikan tidak ada pemberhentian sementara terhadap
saya selaku Ketua Umum Partai Golkar dan untuk sementara saya tunjuk Plt
(pelaksana tugas) ketua umum Idrus Marham, Plt Sekjen Yahya Zaini dan Azis
Samsuddin”. Dalam surat untuk pimpinan DPR, Novanto menceritakan kasus hukum
yang dihadapinya, yaitu proyek KTP-el, dan diberi kesempatan untuk
membuktikan ketidakterlibatan dirinya. Di surat bertanggal 21 November itu,
Novanto menulis, ”…untuk sementara waktu tidak diadakan rapat pleno, sidang
MKD terhadap kemungkinan menonaktifkan saya, baik selaku Ketua DPR maupun
selaku anggota Dewan”. Surat yang ditulis tangan itu masing-masing bermeterai
Rp 6.000. Ibarat mainan, ternyata belum game over.
Buktinya di dalam sel KPK pun,
Novanto masih punya taji. Dan, surat itu benar-benar sakti. Golkar tak berani
meski ada suara-suara keras menuntut agar ada penggantian pimpinan di partai
paling tua warisan Orde Baru itu. Begitu juga DPR, walau ada suara-suara
lantang pula. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pun tampaknya tak bernyali.
Semuanya menunggu hasil sidang praperadilan yang kembali diajukan Novanto.
Sungguh luar biasa, dengan status tersangka korupsi dan mendekam di sel KPK pun
Novanto tetap berkuasa. Ia bisa memerintah dan mengatur-atur jajaran tokoh
elite partai berlambang beringin dan juga 559 anggota DPR (termasuk 17
anggota MKD). Sekarang adem-ayem saja.
Dari sisi ”kepatuhan” atas
perintah Novanto, tampaknya ia benar-benar memiliki kekuasaan seperti
definisi klasik Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1952) bahwa kekuasaan itu
kemampuan memengaruhi tingkah laku pihak lain sehingga mengikuti keinginan
pihak yang mempunyai kekuasaan. Tetapi, kalau melihat gayanya, tak terlihat seperti
pemimpin karismatik yang digambarkan punya kemampuan menghipnotis massa. Tak
terlihat pula gaya pemimpin reaktif. Bukan juga tipikal garang. Namun,
ternyata pengaruh dan kekuasaannya luar biasa.
Banyak yang penasaran bagaimana
Novanto punya kuasa begitu besar. Sampai-sampai ada yang berspekulasi.
Pertama, jangan-jangan kekuasaannya adalah loyalitas saling memproteksi
sesama pejabat (kolega). Kita tahu sekarang banyak politikus atau pejabat
yang alergi dan marah kepada KPK. Sebab, mereka adalah target KPK. Kira-kira
saling melindungi.
Kedua, jangan-jangan Novanto
punya ”kartu truf” yang bisa membungkam pihak lain. Apalagi desas-desus
berseliweran bahwa ia tergolong baik hati. Kalau menyaksikan hasil-hasil
sidang di Pengadilan Tipikor, semua kasus korupsi menjadi bancakan
bersama-sama. Dan, korupsi KTP-el sampai Rp 2,3 triliun. Jadi kesal ingat KTP
di dompet yang ditempeli selotip karena plastiknya sudah terkelupas dengan
data kependudukan yang nyaris hilang. Andai pada episode kedua ini Novanto
lolos lagi, kayaknya ia lebih kuat dari Mugabe. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar