Pemutakhiran
Jejak Nol
Iwan Pranoto ; Guru Besar Matematika ITB;
Atase Pendidikan dan
Kebudayaan di KBRI New Delhi, India
|
KOMPAS,
28 November
2017
Walau sudah diketahui bahwa bilangan nol
dengan sistem nilai tempat yang biasa digunakan hari ini bersumber dari
India, tetapi nol tertua yang ditemukan di India sampai saat ini berasal dari
abad ke-9, yakni di Candi Chaturbhuja di Gwalior. Yang ada di Candi
Parshwanatha, Khajuraho, malah berasal dari abad ke-10.
Karena dari abad ke-9 dan 10, nol tadi
tidak dapat digunakan untuk memastikan bahwa nol dari India, mengingat saat
itu pedagang Arab sudah memasuki India. Baca Aczel (2016) dan Coedes (1931)
untuk argumen lebih rinci. Karena itu, pencarian nol dengan sistem nilai
tempat berbasis-10 di India yang lebih tua selalu menjadi perhatian pakar
sejarah sains.
Prasasti
“Nol”
Yang mungkin belum cukup diberitakan, nol
tertua di dunia dengan sistem nilai tempat berbasis-10 terpahat pada Prasasti
Kedukan Bukit dan ini dua abad lebih tua dari yang di Gwalior. Prasasti
peninggalan era Sriwijaya ini ditemukan di dekat Palembang dan sekarang
disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta, dengan tanda pengenal D
146. Nol tua lain dari abad ke-7 berasal dari situs arkeologi Trapang Prei,
Kamboja. Hari ini, prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Kamboja,
dengan tanda pengenal K-127.
Dua prasasti D 146 dan K-127 itu dulu
diterjemahkan sekitar tahun 1930-an oleh sejarawan dan arkeolog ternama
Perancis, George Coedes. Dari pahatan pada prasasti itu, dia mengungkap tahun
Saka 604 untuk asal Prasasti Kedukan Bukit dan tahun Saka 605 untuk asal
prasasti dari Trapang Prei tersebut.
Namun, pada 2008 dan 2009, Dominique Soutif
meralat pernyataan Coedes. Dalam disertasi dan makalahnya “DÉnombrer les
biens du dieu: Étude de la numÉration du vieux khmer? (VIe-XIIe siÈcles
?aka)” yang diterbitkan di Journal of Cambodia Research tahun 2008 dan juga
melalui komunikasi dengan penulis, Soutif menegaskan telah terjadi kesalahan
(konsisten) pembacaan angka terakhir dalam penulisan tahun oleh Coedes.
Menurut dia, Coedes juga sebenarnya sudah ragu saat itu.
Soutif menjelaskan, Prasasti Kedukan Bukit
dari Sumatera (Sriwijaya) dengan Trapang Prei dari Kamboja (Pre-Ankor)
bertahun Saka yang sama, 604. Ini dalam penanggalan Gregorian 682/683 M. Ini
berarti, nol di kedua prasasti sama tuanya. Kecuali Prasasti Kedukan Bukit,
Museum Nasional Indonesia juga memuat prasasti lain yang memuat nol, yakni
Prasasti Talang Tuwo (606 Saka) dan Kota Kapur (608 Saka).
Kumpulan prasasti abad 7 di atas bernilai
tinggi bagi sejarah matematika dunia dan juga bagi kebudayaan Indonesia.
Karena dari abad ke-7, kumpulan prasasti “Nol” ini membenarkan bahwa nol dari
India. Khususnya, pada dua prasasti D
146 dan K-127 tersebut terpahat nol awal dengan sistem nilai tempat berbasis
10 tertua di dunia. Paling tidak, nol tersebut “dipercaya tertua” sampai
September 2017 lalu.
Naskah
Bakhshali
Pada 14 September 2017, harian dan media elektronik
The Guardian menurunkan liputan berjudul “Much ado about nothing: ancient
Indian text contains earliest zero symbol” yang memberitakan usia sebuah
naskah kuno. Naskah ini ditemukan tahun 1881 di Desa Bakhshali, yang saat itu
bagian dari India dan dikuasai Inggris. Sekarang Bakhshali termasuk Pakistan.
Naskah yang dikenal sebagai Naskah
Bakhshali dan sudah sangat rapuh ini kini disimpan di Perpustakaan Bodleian,
Universitas Oxford. Naskah ini berupa catatan matematika kuno yang ditulis
pada 70 lembar kulit pohon dan berisi petunjuk cara melakukan berbagai
perhitungan matematika serta penerapannya di kehidupan sehari-hari. Seperti
buku teks matematika yang digunakan murid sekolah hari ini, naskah kuno yang
mungkin diperuntukkan bagi pelajar/pedagang Buddha masa itu juga disertai
contoh perhitungan.
Di naskah ini digunakan bilangan nol dengan
sistem nilai tempat berbasis 10. Ini membuat Naskah Bakhshali menjadi
perhatian dunia. Namun, masalahnya, tak seperti prasasti “Nol” di Asia
Tenggara sebelumnya yang jelas menyebutkan tahunnya, naskah ini tak diketahui
pasti waktu penulisannya.
Sekitar 1990-an melalui kajian terhadap
gaya bahasa yang digunakan serta matematikanya, pakar yang mendalami Naskah
Bakhshali, Dr Hayashi Takao, memperkirakan naskah kuno ini dari abad ke-8
sampai ke-12. Karena itu, liputan eksklusif The Guardian yang memberitakan
hasil pengukuran usia radiasi karbon dari Naskah Bakhshali ini sangat
dinantikan. Dilaporkan, tim peneliti mengambil cuplikan dari lima lembar
kulit kayu berbeda di naskah tersebut, kemudian mengukur usia tiga cuplikan
melalui analisis C-14.
Tulisan paling lengkap tentang hasil
penelitian ini baru ada di laporan pracetak “Carbon dating reveals Bakhshali
manuscript is centuries older than scholars believed and is formed of
multiple leaves nearly 500 years different in age” yang ditulis David Howell
(Kepala Heritage Science, di Perpustakaan Bodleian) 3 Juli 2017.
Dilaporkan, tim peneliti mendapati bahwa
tiga lembar kulit kayu yang diuji itu berasal dari beberapa abad yang
berjauhan. Di situ dilaporkan,
cuplikan pertama (Folio 16) dari 224-383 M, cuplikan kedua (Folio 17) dari
680-779 M, dan yang ketiga (Folio 33) dari 885-993 M.
Tim peneliti kemudian membuat beberapa
pernyataan. Pertama, naskah pada keadaan sekarang ini terdiri dari paling
sedikit tiga naskah berbeda dengan waktu penulisan yang berbeda. Kedua,
disebutkan ada bagian dari naskah yang berusia “sekitar 500 tahun lebih tua
daripada yang sebelumnya dipercaya para ahli. Hasil pengukuran usia radiasi
karbon membuat nol di naskah ini sebagai asal dari lambang nol yang kita
gunakan hari ini.”
Ketiga, tim peneliti juga mempertanyakan
kajian Takao tahun 1995 yang dikatakan berdasar asumsi bahwa “semua bagian
naskah dituliskan pada masa yang sama-pernyataan yang kini digugurkan oleh
hasil pengujian usia karbon terakhir ini.”
Perdebatan
lanjutan
Tiga pernyataan di atas memiliki celah
karena yang diukur ialah usia kulit kayunya, bukan tulisannya. Jika kulit
kayu berasal dari abad ke-3, bukan berarti tulisannya dari abad ke-3 juga.
Biasa di era itu, tulisan dihapus dan ditimpa dengan tulisan baru di atasnya.
Jadi, pernyataan pertama belum tentu benar. Bisa jadi kulit kayunya dari tiga
waktu berbeda, tetapi penulisannya dari waktu yang sama.
Adapun pernyataan kedua menunjukkan bahwa
tim peneliti itu menggunakan usia kulit kayu tertua untuk menyatakan usia
naskah. Padahal, justru seharusnya secara nalar, penentuan usia naskah
ditentukan dari tulisan terakhir, yakni abad ke-9-10, bukan abad ke-3.
Pernyataan ketiga juga memiliki celah. Hasil pengukuran usia radiasi karbon
ini hanya menunjukkan usia bahan kulit kayu yang ditulisi dari waktu yang
berbeda-beda. Ini belum dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa naskah
ditulis pada waktu berbeda-beda.
Kemudian, setelah liputan The Guardian itu
tersebar, sejumlah ahli sejarah sains, Kim Plofker dkk termasuk Takao,
menanggapi dengan tulisan “The Bakhshali Manuscript: A Response to the
Bodleian Library’s Radiocarbon Dating” yang dipublikasikan lewat jurnal
History of Science in South Asia, 5.1 (2017): 134-150.
Di situ, mereka menelaah penelitian dan
menyesalkan kebijakan Perpustakaan Bodleian yang telah merahasiakan hasil
pengukuran usia radiasi karbon untuk beberapa bulan, dan malah memilih siaran
pers ke koran dan Youtube guna mengomunikasikan suatu urusan yang sifatnya
teknis dan bersejarah. Mereka berkata, Perpustakaan Bodleian telah menerabas
standar kanal akademik yang seharusnya memungkinkan diskusi serius pakar
sejawat sebelum penyebaran ke masyarakat.
Upaya pengukuran canggih usia karbon Naskah
Bakhshali ternyata tetap menyisakan banyak keraguan tentang jejak nol tertua.
Khususnya, pernyataan bahwa nol di Naskah Bakhshali dari abad ke-3 belum
meyakinkan. Karena itu, prasasti D 146 di Museum Nasional Indonesia dan
prasasti K-127 di Museum Nasional Kamboja masih merupakan awal nol dengan
nilai tempat berbasis-10 tertua.
Berdasar pentingnya prasasti-prasasti “Nol”
di Museum Nasional Indonesia sebagai tonggak matematika dunia sekaligus
tonggak sejarah sains Indonesia, koleksi tersebut perlu dilengkapi dengan
narasi bilangan nol. Ini akan membangkitkan suasana ilmiah segar di
permuseuman serta ilmu kemanusiaan. Pelajar Indonesia hari ini dapat melihat
langsung sekaligus menghargai nol kuno tersebut yang merupakan salah satu
tonggak penting peradaban manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar