Sabtu, 25 November 2017

Transformasi Perekonomian Nasional

Transformasi Perekonomian Nasional
Darmawan Prasodjo ;  Deputi I Kepala Staf Kepresidenan
                                                    KOMPAS, 25 November 2017



                                                           
Setelah Badan Pusat Statistik memublikasikan data ekonomi nasional pada kuartal III-2017, muncullah polemik, terutama di kalangan para pengamat ekonomi. Sebagian menilai ekonomi Indonesia berada dalam kondisi memerlukan penanganan lebih serius, terutama terkait melemahnya daya beli dan meningkatnya angka pengangguran. Sebagian lagi menilai sebaliknya. Termasuk dalam kelompok terakhir adalah Dana Moneter Internasional (IMF). IMF melihat perekonomian Indonesia berada pada kondisi yang sangat baik.

Indikator yang digunakan oleh IMF adalah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang tergolong tinggi, tingkat inflasi yang rendah, nilai tukar rupiah yang stabil, dan neraca transaksi berjalan yang relatif baik. Secara makro, kelompok ini menilai kondisi perekonomian Indonesia berada dalam keadaan sehat dan cenderung bergerak positif.

Transformasi kebijakan

Dari sudut pandang yang kedua, situasi positif perekonomian sekarang ini tak dapat dilepaskan dari respons cepat dan tepat Presiden Jokowi dalam mengubah ekonomi berbasis konsumsi ke berbasis produksi sejak awal pemerintahannya.

Pada awal pemerintahannya, Presiden Jokowi dihadapkan pada situasi perekonomian yang tak menguntungkan dari sisi internal maupun eksternal. Secara eksternal, pesona beberapa produk komoditas andalan telah memudar, ditandai minimnya permintaan secara global, terutama komoditas seperti kelapa sawit, mineral, dan batubara. Jatuhnya harga minyak dan gas (migas) dunia juga menggoyahkan penerimaan negara serta mengganggu iklim investasi migas sebagai penyumbang devisa terbesar pada 2014. Belum lagi spekulasi penurunan suku bunga oleh Bank Sentral AS yang menekan nilai tukar rupiah.

Secara internal, selama ini alokasi APBN untuk kegiatan konsumsi jauh lebih besar dibandingkan dengan kegiatan produksi. Demikian juga dengan cuaca dan iklim investasi yang tidak kompetitif. Pada 2014, Indeks Kemudahan Berusaha Indonesia di posisi ke-120 dari 190 negara. Berbagai regulasi yang ada justru mempersulit dan kontraproduktif terhadap penciptaan iklim usaha. Sebagai contoh, perizinan di sektor ketenagalistrikan butuh 49 izin dan perlu hingga 923 hari. Infrastruktur penghubung ke daerah penghasil komoditas ekspor dan obyek-obyek pariwisata juga minim. Hal ini diperparah defisit listrik di 11 dari 22 sistem besar ketenagalistrikan. Akibatnya, pertumbuhan pusat ekonomi baru terhambat dan memerlukan solusi segera.

Guna merespons situasi tersebut, Presiden Jokowi menempuh ”jalan lain” sehingga perekonomian nasional berada pada jalur yang tepat, sekaligus memastikan indikator-indikator kemajuan pembangunan dapat terjaga baik. Pada titik itulah koreksi dan reformasi APBN diperlukan.

APBN yang terbebani oleh subsidi BBM yang masif, serta tidak tepat sasaran, dirombak dan dialokasikan untuk mendukung program-program produktif, seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Program Keluarga Harapan. Terobosan deregulasi dan debirokratisasi diambil melalui 16 Paket Kebijakan Ekonomi, mulai dari penguatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), penyediaan layanan perizinan investasi tiga jam, hingga revisi daftar negatif investasi (DNI). Bersamaan dengan itu, infrastruktur konektivitas dan energi juga dibangun untuk mendukung lahirnya pusat-pusat perekonomian baru.

Transformasi ke arah ekonomi berbasis produksi itu kini dapat terlihat dari beberapa indikator. Komponen Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) terus meningkat. Pada triwulan III-2017, pertumbuhan PMTB mencapai 7,11 persen, jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB 5,06 persen. Sementara kontribusi PMTB terhadap PDB yang tadinya sekitar 28 persen meningkat menjadi 32 persen.

Tren pertumbuhan konsumsi masyarakat tetap stabil di atas 4,9 persen, tetapi sumbangan sektor konsumsi terhadap PDB menurun dari sekitar 58 persen jadi 55 persen. Daya beli terjaga dan kegiatan ekonomi menggeliat. Hal itu terlihat dari tumbuhnya sektor-sektor penunjang konsumsi yang tinggi, seperti industri makanan dan minuman  9,46 persen, perdagangan mobil, sepeda motor dan reparasinya 6,12 persen, serta perdagangan besar dan eceran 5,35 persen. Di sisi lain, sektor transportasi dan pergudangan yang merupakan penunjang untuk kegiatan ekonomi tumbuh sebesar 8,27 persen.

Penilaian positif juga datang dari lembaga pemeringkat investasi internasional. Lembaga pemeringkat investasi Standard & Poor’s, pada Juli 2017 menaikkan peringkat Indonesia jadi ”Layak Investasi”, melengkapi predikat serupa yang sebelumnya telah disematkan oleh lembaga ternama lainnya, yaitu Moody’s dan Fitch Rating. Bank Dunia menaikkan peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing business/EODB) Indonesia sebanyak 48 tingkat jadi peringkat ke-72, melewati Tiongkok yang berada di peringkat ke-78. Indeks Daya Saing Global 2017-2018 yang dilansir World Economic Forum (WEF) juga menunjukkan lonjakan peringkat Indonesia dari posisi ke-41 pada tahun 2014 menjadi posisi ke-36 dari 137 negara.

Catatan dan tantangan

Pencapaian ini bukan tanpa catatan atau tantangan. Dilihat dari sisi ketenagakerjaan, meski penyerapan tenaga kerja tetap tinggi, tetapi kenaikannya belum berbanding lurus dengan penanaman modal yang meningkat signifikan. Transformasi ekonomi menuju industri padat modal tentu positif. Namun, Indonesia tetap butuh industri padat karya untuk menyerap tenaga kerja dan memastikan pertumbuhan ekonomi berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Sebagai strategi jangka menengah dan panjang, pemerintah menggalakkan pendidikan vokasional yang terhubung langsung dengan industri agar lulusan SMK dapat siap kerja dan langsung diserap pasar. Di sisi lain, untuk jangka pendek, pemerintah mengalokasikan dana desa serta menganggarkan Rp 11,2 triliun di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk dapat digunakan pada sektor padat karya yang siap dijalankan pada 2018.

Di samping itu, tentunya perlu upaya mendorong sektor lain yang masih memiliki potensi pertumbuhan besar sekaligus padat karya, seperti perikanan. Pertumbuhan pada triwulan III- 2017 tergolong tinggi, yakni 6,75 persen, tetapi masih ada ruang untuk ditingkatkan. Di sektor pertambangan, tren kenaikan harga migas harus dijadikan momentum untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia.

Bank Dunia menyatakan Indonesia sudah di jalur yang tepat. Lembaga konsultan bisnis PricewaterhouseCoopers (PwC) memproyeksikan Indonesia akan menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030. Tentu saja hal tersebut baik, tetapi tidak boleh membuat kita lengah. Kerja keras dan cerdas dalam semangat kebersamaan sebagai bangsa yang sedang bertransformasi positif harus senantiasa dipupuk dan dirawat. Dengan usaha sungguh-sungguh dan bergotong royong, hasil ini tidak hanya akan memberikan daya tahan pada perekonomian nasional, juga berdampak nyata pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar