Transformasi
Perekonomian Nasional
Darmawan Prasodjo ; Deputi I Kepala Staf Kepresidenan
|
KOMPAS,
25 November
2017
Setelah Badan Pusat Statistik
memublikasikan data ekonomi nasional pada kuartal III-2017, muncullah
polemik, terutama di kalangan para pengamat ekonomi. Sebagian menilai ekonomi
Indonesia berada dalam kondisi memerlukan penanganan lebih serius, terutama
terkait melemahnya daya beli dan meningkatnya angka pengangguran. Sebagian
lagi menilai sebaliknya. Termasuk dalam kelompok terakhir adalah Dana Moneter
Internasional (IMF). IMF melihat perekonomian Indonesia berada pada kondisi
yang sangat baik.
Indikator yang digunakan oleh
IMF adalah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang tergolong tinggi,
tingkat inflasi yang rendah, nilai tukar rupiah yang stabil, dan neraca
transaksi berjalan yang relatif baik. Secara makro, kelompok ini menilai
kondisi perekonomian Indonesia berada dalam keadaan sehat dan cenderung
bergerak positif.
Transformasi kebijakan
Dari sudut pandang yang kedua,
situasi positif perekonomian sekarang ini tak dapat dilepaskan dari respons
cepat dan tepat Presiden Jokowi dalam mengubah ekonomi berbasis konsumsi ke
berbasis produksi sejak awal pemerintahannya.
Pada awal pemerintahannya,
Presiden Jokowi dihadapkan pada situasi perekonomian yang tak menguntungkan
dari sisi internal maupun eksternal. Secara eksternal, pesona beberapa produk
komoditas andalan telah memudar, ditandai minimnya permintaan secara global,
terutama komoditas seperti kelapa sawit, mineral, dan batubara. Jatuhnya
harga minyak dan gas (migas) dunia juga menggoyahkan penerimaan negara serta
mengganggu iklim investasi migas sebagai penyumbang devisa terbesar pada
2014. Belum lagi spekulasi penurunan suku bunga oleh Bank Sentral AS yang
menekan nilai tukar rupiah.
Secara internal, selama ini
alokasi APBN untuk kegiatan konsumsi jauh lebih besar dibandingkan dengan
kegiatan produksi. Demikian juga dengan cuaca dan iklim investasi yang tidak
kompetitif. Pada 2014, Indeks Kemudahan Berusaha Indonesia di posisi ke-120
dari 190 negara. Berbagai regulasi yang ada justru mempersulit dan
kontraproduktif terhadap penciptaan iklim usaha. Sebagai contoh, perizinan di
sektor ketenagalistrikan butuh 49 izin dan perlu hingga 923 hari.
Infrastruktur penghubung ke daerah penghasil komoditas ekspor dan obyek-obyek
pariwisata juga minim. Hal ini diperparah defisit listrik di 11 dari 22
sistem besar ketenagalistrikan. Akibatnya, pertumbuhan pusat ekonomi baru terhambat
dan memerlukan solusi segera.
Guna merespons situasi
tersebut, Presiden Jokowi menempuh ”jalan lain” sehingga perekonomian
nasional berada pada jalur yang tepat, sekaligus memastikan
indikator-indikator kemajuan pembangunan dapat terjaga baik. Pada titik
itulah koreksi dan reformasi APBN diperlukan.
APBN yang terbebani oleh
subsidi BBM yang masif, serta tidak tepat sasaran, dirombak dan dialokasikan
untuk mendukung program-program produktif, seperti Kartu Indonesia Pintar,
Kartu Indonesia Sehat, dan Program Keluarga Harapan. Terobosan deregulasi dan
debirokratisasi diambil melalui 16 Paket Kebijakan Ekonomi, mulai dari
penguatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), penyediaan layanan perizinan
investasi tiga jam, hingga revisi daftar negatif investasi (DNI). Bersamaan
dengan itu, infrastruktur konektivitas dan energi juga dibangun untuk
mendukung lahirnya pusat-pusat perekonomian baru.
Transformasi ke arah ekonomi
berbasis produksi itu kini dapat terlihat dari beberapa indikator. Komponen Penanaman
Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) terus
meningkat. Pada triwulan III-2017, pertumbuhan PMTB mencapai 7,11 persen,
jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB 5,06 persen. Sementara kontribusi
PMTB terhadap PDB yang tadinya sekitar 28 persen meningkat menjadi 32 persen.
Tren pertumbuhan konsumsi
masyarakat tetap stabil di atas 4,9 persen, tetapi sumbangan sektor konsumsi
terhadap PDB menurun dari sekitar 58 persen jadi 55 persen. Daya beli terjaga
dan kegiatan ekonomi menggeliat. Hal itu terlihat dari tumbuhnya
sektor-sektor penunjang konsumsi yang tinggi, seperti industri makanan dan
minuman 9,46 persen, perdagangan
mobil, sepeda motor dan reparasinya 6,12 persen, serta perdagangan besar dan
eceran 5,35 persen. Di sisi lain, sektor transportasi dan pergudangan yang
merupakan penunjang untuk kegiatan ekonomi tumbuh sebesar 8,27 persen.
Penilaian positif juga datang
dari lembaga pemeringkat investasi internasional. Lembaga pemeringkat
investasi Standard & Poor’s, pada Juli 2017 menaikkan peringkat Indonesia
jadi ”Layak Investasi”, melengkapi predikat serupa yang sebelumnya telah
disematkan oleh lembaga ternama lainnya, yaitu Moody’s dan Fitch Rating. Bank
Dunia menaikkan peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing business/EODB)
Indonesia sebanyak 48 tingkat jadi peringkat ke-72, melewati Tiongkok yang
berada di peringkat ke-78. Indeks Daya Saing Global 2017-2018 yang dilansir
World Economic Forum (WEF) juga menunjukkan lonjakan peringkat Indonesia dari
posisi ke-41 pada tahun 2014 menjadi posisi ke-36 dari 137 negara.
Catatan dan tantangan
Pencapaian ini bukan tanpa
catatan atau tantangan. Dilihat dari sisi ketenagakerjaan, meski penyerapan
tenaga kerja tetap tinggi, tetapi kenaikannya belum berbanding lurus dengan
penanaman modal yang meningkat signifikan. Transformasi ekonomi menuju
industri padat modal tentu positif. Namun, Indonesia tetap butuh industri
padat karya untuk menyerap tenaga kerja dan memastikan pertumbuhan ekonomi
berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Sebagai strategi jangka
menengah dan panjang, pemerintah menggalakkan pendidikan vokasional yang
terhubung langsung dengan industri agar lulusan SMK dapat siap kerja dan
langsung diserap pasar. Di sisi lain, untuk jangka pendek, pemerintah mengalokasikan
dana desa serta menganggarkan Rp 11,2 triliun di Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk dapat digunakan pada sektor padat karya
yang siap dijalankan pada 2018.
Di samping itu, tentunya perlu
upaya mendorong sektor lain yang masih memiliki potensi pertumbuhan besar
sekaligus padat karya, seperti perikanan. Pertumbuhan pada triwulan III- 2017
tergolong tinggi, yakni 6,75 persen, tetapi masih ada ruang untuk
ditingkatkan. Di sektor pertambangan, tren kenaikan harga migas harus dijadikan
momentum untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di
Indonesia.
Bank Dunia menyatakan Indonesia
sudah di jalur yang tepat. Lembaga konsultan bisnis PricewaterhouseCoopers (PwC) memproyeksikan Indonesia akan
menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030. Tentu saja hal tersebut
baik, tetapi tidak boleh membuat kita lengah. Kerja keras dan cerdas dalam
semangat kebersamaan sebagai bangsa yang sedang bertransformasi positif harus
senantiasa dipupuk dan dirawat. Dengan usaha sungguh-sungguh dan bergotong
royong, hasil ini tidak hanya akan memberikan daya tahan pada perekonomian
nasional, juga berdampak nyata pada kesejahteraan masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar