Indonesia
Itu Bangsa Kesatria
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA,
21 November
2017
Awal bulan ini, saya mendapat kesempatan
untuk pulang kampung. Kepulangan saya tentu untuk sebuah misi mulia. Yaitu
menyosialisasikan rencana saya membuka pesantren pertama di Amerika Serikat.
Sebuah cita-cita mulia yang barangkali di benak sebagian orang adalah mimpi.
Tapi, justeru bagi saya mimpi itulah awal dari terbangunnya sebuah peradaban
besar.
Kepulangan saya kali ini juga membuka jalan
silaturrahim yang luar biasa. Saya dipertemukan dengan orang-orang mulia
tanpa janji lebih awal. Semua terjadi begitu saja. Saya yakin semua bisa
terjadi karena intervensi langit, yang mengetuk hati-hati manusia.
Pertemuan demi pertemuan semuanya
memberikan dukungan penuh, baik moril maupun material, untuk terwujudnya
pesantren ini. Sehingga, tujuan kepulangan kali ini sejujurnya melampui
ekspektasi saya sendiri. Kata orang Amerika: it is simply amazing!
Salah satu orang penting dan hebat yang
saya temui adalah Panglima TNI Republik Indonesia, Bapak Jenderal Gatot
Nurmantyo. Pertemuan yang terjadi begitu saja, tanpa protokol, tanpa aturan
ketat, dan apa adanya. Persis seperti diri beliau sendiri. Sangat bersahaja,
sederhana, tidak neko-neko, apa adanya dalam kata dan sikap. Saya bersama
beberapa teman dari Parfi (persatuan artis film Indonesia), sang Mba
Marcella, dan wakil ketua Bung Ray Sahetapy, dijamu makan siang yang lezat
oleh beliau. Hadir juga Bung Erros Jarot, seniman dan budayawan senior.
Diskusi santai pun terjadi. Diselingi gelak
tawa dalam kenikmatan santap siang yang barokah itu, banyak hal yang
dibicarakan. Dari konsep kesatuan nasional, kontribusi umat dalam perjuangan
kemerdekaan, antara kata Indonesia dan Nusantara, hingga kepada relasi antara
loyalitas kepada Tuhan dan negara.
Tapi, saya sendiri sangat tertarik atau
tepatnya kagum dengan penjelasan Pak Jenderal tentang Indonesia yang
kesatria. Bagi saya, kata yang telah lama saya sering dengarkan ini ternyata
dari beliau mendapat pemahaman yang lebih dalam dan sangat relevan.
Ksatria itu adalah keberanian mengorbankan
kepentingan sempit demi kepentingan bersama. Satu contoh yang beliau
sampaikan adalah kesepakatan bangsa ini untuk mengambil bahasa Melayu sebagai
bahasa Indonesia (bahasa nasional). Pengorbanan mayoritas suku Jawa menerima
bahasa ini menunjukkan jiwa kesatria.
Demikian pula penerimaan umat mayoritas
Muslim dengan konsep Pancasila sekarang ini. Perumus Pancasila itu hampir semuanya adalah para ulama dan kiai.
Tapi, jiwa kesatrialah yang menjadikan mereka rela menanggalkan tujuh kata di
sila pertama, demi merangkul saudara-saudara sebangsa dari agama lain.
Kesatria juga bermakna kesiapan melakukan
secara bersama-sama tanpa ada kepentingan apa-apa. Semuanya dilakukan karena
dorongan hati yang manis untuk mencapai tujuan bersama. Sikap kesatria inilah
yang membangun semangat gotong royong bangsa ini. Semangat yang terbangun
bersama untuk memberikan yang terbaik kepada sesama tanpa pamrih.
Menurut sang Jenderal, ternyata kata gotong
royong itu tidak ditemukan dalam bahasa apapun. Tidak dalam bahasa Cina,
Inggris, Jerman, bahkan tidak dalam bahasa Arab. Walau saya teringat sebuah
kata dalam Alquran “ta’aawun” (saling menolong). Tapi, setelah saya pikirkan
lagi, saya berkesimpulan bahwa barang kali
kata “gotong royong” itu lebih cenderung bermakna gabungan antara
“ta’awun “ dan “iitsaar” (melebihkan kepentingan orang lain di atas
kepentingan diri sendiri). Sehingga,
boleh benar jika kata gotong royong memang unik pada dirinya sendiri. Wallahu
a’lam.
Yang pasti adalah dari perjuangan merebut
kemerdekaan, hingga sekarang ini memperjuangkan pembangunan bangsa, semangat
gotong royong yang terlahir dari sikap ksatria tadi menjadi tulang punggung
kemenangan. Rakyat, santri, kiai dan ulama, semuanya bergerak secara
bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan dan membangun bangsa
dan negara ini.
Ksatria juga terlihat dalam berbagai budaya
bangsa. Ambillah sebagai misal di mana setiap suku di Nusantara ini memiliki
senjata dan tarian peperangan masing-masing. Aceh dengan rencong, Jawa dengan
keris, Makassar dengan badik, hingga ke Papua, semuanya memiliki senjata
kedaerahan.
Senjata dan tarian perang ini menggambarkan
bahwa bangsa ini adalah bangsa yang
ksatria dalam arti pemberani. Bangsa yang walaupun berkarakter santun, sopan
dan rendah hati tapi memiliki karakter kemuliaan dan kehormatan. Bangsa yang
tidak rela dan tidak akan menerima direndahkan dan dihinakan oleh orang lain.
Sikap kesatria seperti inilah yang
menjadikan bangsa ini mampu merebut kemerdekaannya sendiri dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Bermodalkan semboyan “Merdeka atau Mati” dan dilaksanakan
dengan gotong royong, percaya pada kemampuan sendiri dan berperang dengan
persenjataan apa adanya, berhasil mengalahkan dan mengusir penjajah Belanda
yang menggunakan senjata modern. Kemerdekaan Indonesia tidak diberikan atau
dihadiahkan oleh siapa-siapa. Tapi, kemerdekaan yang diraih karena semangat
kesatria di atas.
Intinya sikap kesatria adalah sikap yang
tidak takut mati demi sebuah mencapai tujuan mulia. Sebuah konsep mulia yang
diakui sebagai konsep baku dalam Islam. Konsep membela kebenaran dan hak
serta harga diri melalui perjuangan hingga ke titik darah yang terakhir.
Itulah konsep jihad di jalan Allah.
Tampaknya, sikap kesatria ini pulalah,
sebagai panglima dan prajurit, menjadikan beliau tetap memperlihatkan
loyalitas tinggi kepada atasannya, Presiden RI. Dengan segala godaan politik
yang ada beliau tetap pada pendirian bahwa dalam tugas hanya ada satu
kepentingan, kepentingan bangsa dan negara. Beliau tidak hanyut dengan godaan
itu, apalagi hanya untuk kepentingan-kepentingan sesaat dan pribadi semata.
Sikap lurus dan apa adanya beliau ini juga
boleh jadi menjadi bulan-bulanan dan gandengan bagi mereka yang memiliki
kepentingan. Media sudah mulai membenturkan beliau dengan pihak-pihak
tertentu sehingga nama dan integritas dipaksa untuk dinodai. Sebelumnya
beliau ditampilkan oleh media dekat dengan kelompok yang dianggap punya
karakter yang kurang bersahabat dengan pemerintah.
Saya melihat semua itu adalah percobaan
(testing the water) kira-kira bagaimana masyarakat akan menilainya di satu
sisi. Dan bagaimana pula beliau menyikapinya di sisi lain.
Sepertinya sikap kesatria ini pula yang
menjadikan lima perwira TNI menolak promosi kenaikan jabatan setela berhasil
membebaskan sandera di Papua. Sebuah sikap mulia dari prajurit, yang sangat
mungkin karena ketauladanan sang panglima.
Yang pasti pertemuan dengan Panglima hari
itu menjadi sangat istimewa karena beliau baru saja mengalami “insiden” lucu
dan menggelikan. Beliau yang diundang oleh Panglima tentara Amerika untuk
hadir dalam sebuah seminar di Washington DC tiba-tiba tidak diperkenankan
masuk Amerika tanpa alasan yang jelas.
Saya katakan “lucu dan menggelikan” karena
apapun alasannya apa yang terjadi adalah sebuah kesalahan fatal. Inilah yang
menjadikan Amerika meminta maaf dalam berbagai jenjang. Dari Dubesnya hingga
ke Panglimanya sendiri telah langsung meminta maaf kepada beliau.
Anehnya, permintaan maaf Amerika ini justru
didiamkan oleh media massa di Indonesia. Entah kenapa. Tapi tiba-tiba saja
pikiran negatif saya berkata jangan-jangan memang ada yang bermain di
belakang layar untuk membangun persepsi bahwa Jenderal Gatot Nurmantyo memang
tidak disukai oleh Amerika. Dan karenanya dunia internasional akan tidak
menyukai calon pemimpin bangsa masa depan ini.
Entah praduga ini benar. Tapi let’s wait
and see! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar