Proses
Hukum Ketua DPR
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana FH UGM
|
KOMPAS,
23 November
2017
Ketua DPR Setya Novanto yang
juga Ketua Umum Partai Golkar kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus pengadaan KTP elektronik. Sebelumnya, penetapan Novanto sebagai
tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dibatalkan lewat putusan
praperadilan PN Jakarta Selatan. Kali ini bahkan Novanto ditahan karena
beberapa kali mangkir atas panggilan KPK, baik dalam kapasitasnya sebagai
saksi maupun sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Sebenarnya proses hukum
terhadap Ketua DPR bukan hal baru. Beberapa tahun silam, Ketua DPR yang juga
Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, pernah terbelit kasus korupsi.
Bedanya, Tandjung secara gentlemen menghadapi proses hukum tersebut dengan
tenang. Mulai dari penahanan oleh Kejaksaan Agung sampai pada putusan
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Tandjung menghirup udara bebas
setelah MA dalam pemeriksaan kasasi memutus bebas dari segala dakwaan meski
seorang anggota majelis hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menyesatkan
Ada beberapa isu terkait proses
hukum terhadap Novanto. Pertama, putusan praperadilan yang telah membatalkan
penetapan status Novanto sebagai tersangka beberapa waktu lalu. Pada
hakikatnya, pemeriksaan praperadilan hanya terkait hal-hal bersifat formal
menyangkut sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan,
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan.
Artinya, pemeriksaan praperadilan tidak masuk pada pokok perkara.
Jika dikaitkan enam parameter
pembuktian-(teori pembuktian; alat-alat bukti; cara menemukan, mengumpulkan
dan menyampaikan bukti di pengadilan; beban pembuktian; bukti minimum; dan
kekuatan pembuktian)-pemeriksaan praperadilan di Indonesia hanya merujuk pada
alat-alat bukti dan bukti minimum. Artinya, dalam penetapan tersangka, apakah
alat bukti yang dipunyai dan apakah telah memenuhi minimum pembuktian untuk
memproses suatu perkara.
Berbeda dengan praperadilan di
negara-negara yang menjunjung tinggi proses hukum yang benar dan adil (due process of law), selain alat-alat
bukti dan bukti minimum, maka cara menemukan, mengumpulkan, dan menyampaikan
bukti di pengadilan (bewijsvoering)
juga jadi obyek praperadilan. Karena itu, jika suatu bukti diperoleh secara
ilegal akan menggugurkan perkara (unlawful
legal evidence). Namun, di Indonesia, perihal bewijsvoering ini tidak diatur karena KUHAP yang dijadikan
landasan beracara, sementara sebagian besar kewajiban dan perintah yang
terdapat di dalamnya bersifat lex
imperfecta (hukum tanpa sanksi atau akibat yang jelas).
Celakanya, pascaputusan
praperadilan Novanto ada praktisi hukum-bahkan ada guru besar hukum
pidana-yang menyatakan Novanto tidak bisa lagi dinyatakan sebagai tersangka
dengan merujuk pada asas ne bis in idem. Jika pernyataan ini dikemukakan oleh
seorang praktisi hukum, kiranya dapat dipahami karena kapasitas intelektual
yang kurang memadai. Akan tetapi, jika pernyataan ini dikemukakan oleh
seorang guru besar hukum pidana, sungguh sangat menyesatkan.
Asas ne bis in idem yang
merujuk pada adagium nemo debet bis vexari, pada intinya menyatakan bahwa
seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan
dengan perkara yang sama (Pasal 76 KUHP). Syarat utama ne bis in idem harus
ada res judicata in criminalibuis. Artinya, telah ada pemeriksaan pokok
perkara, sudah ada putusan terhadap pokok perkara tersebut dan telah memiliki
kekuatan hukum tetap. Padahal, pemeriksaan praperadilan tidak meliputi
pemeriksaan pokok perkara.
Dengan demikian, penetapan
kembali seseorang sebagai tersangka bukanlah ne bis in idem, kendati ada
putusan praperadilan sebelumnya yang telah membatalkan status penetapan
tersangkanya. Tegasnya, proses hukum terhadap orang tersebut masih dapat
dilakukan.
Hak imunitas yang salah kaprah
Kedua, masalah imunitas.
Beberapa kali Novanto tak memenuhi panggilan KPK dengan alasan memiliki
kekebalan hukum atau imunitas dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR. Perlu
dipahami bahwa dalam hukum pidana pada dasarnya tak mengenal imunitas. Hal
ini didasarkan pada dua postulat. Pertama, impunitas continuum affectum
tribuit delinquendi, yang berarti
imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan pada orang tersebut
untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat, yang
berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih
besar.
Imunitas dalam hukum pidana
hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di
luar teritorial negaranya. Seorang kepala negara memiliki imunitas di luar
wilayah teritorial negaranya. Hal ini berdasarkan postulat par in parem non
habet imperium; bahwa kepala negara tidak boleh dihukum dengan menggunakan
hukum negara lain. Demikian pula duta besar, konsul, dan diplomat yang punya
imunitas di negara penerima berdasarkan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan
Diplomatik.
Selain itu, harus diketahui
bahwa korupsi adalah kejahatan internasional sebagaimana tertuang dalam
United Nations Convention Against Corruption yang telah diratifikasi
Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pada hakikatnya korupsi
sebagai kejahatan internasional bagian dari hukum pidana internasional
substantif, yang salah satu karakteristiknya-menurut Bruce Broomhall-bahwa
pertanggungjawaban pidana individu tidak bergantung pada jabatan yang melekat
pada seseorang. Tegasnya, tanggung jawab individu tidak mengenal relevansi
jabatan resmi.
Adanya argumentasi bahwa Ketua
DPR memiliki hak imunitas dan karena itu tak dapat diproses hukum secara
serampangan, memperlihatkan ketidakpahaman atas penegakan hukum pemberantasan
korupsi. Sebagai kejahatan luar biasa
yang berdimensi internasional, proses pengusutan terhadap saksi maupun pelaku
tidak mengenal relevansi jabatan resmi.
Ketiga, upaya hukum untuk
melawan penetapan tersangka Novanto dengan cara mengajukan praperadilan dan
uji materi beberapa pasal ke Mahkamah Konstitusi. Kiranya upaya tersebut
tidak serta-merta dapat menghentikan proses hukum yang sedang berlangsung.
Bahkan, upaya praperadilan dapat gugur seketika jika pokok perkara mulai
diperiksa oleh pengadilan. Demikian pula uji materi yang diajukan ke MK
bukanlah sengketa prayudisial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 KUHP, yang
dapat menunda penuntutan pidana. Berdasarkan memorie van toelichting, sengketa
prayudisial yang dimaksud adalah sengketa kepemilikan dalam ranah keperdataan
atau sengketa administrasi dalam konteks tata usaha negara dan bukan
pengujian suatu norma. Pengajuan uji materi ke MK tidak menghentikan proses
hukum pidana telah diejawantahkan dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
Jadi, alasan untuk tak
menghadiri panggilan KPK karena mengajukan gugatan praperadilan dan uji
materi ke MK, lebih pada logika jungkir balik untuk menghindari proses hukum.
Bukan atas dasar pemikiran normatif sistematis terhadap prinsip dan asas
hukum yang benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar