Kebohongan
Segera Terbongkar
Mohamad Sobary ; Budayawan
|
KORAN
SINDO, 27 November 2017
SEMUA jenis ilmu miik Tuhan. Para ilmuwan
memanggul kewajiban membantu Tuhan menegakkan kemanusiaan, kebenaran dan
keadilan di bumi. Ilmuwan memanggul ke sana ke mari peran suci untuk
melindungi orang-orang yang lemah. Mereka selalu membela orang-orang lemah
itu sebagai dharma hidup. Dharma ini dilaksanakan dengan suka cita. Menjadi
ilmuwan, orang berilmu, tak bisa berpangkutangan begitu saja.
Banyak peran ilmuwan. Mereka juga menjadi
penyambung lidah rakyat. Lidah tak bisa berbicara tanpa ilmu. Di bidang
hukum, cara ilmuwan menjalankan panggilan sucinya tampak khas. Usaha mereka
menegakkan keadilan membuat para ahli hukum, atau ilmuwan di bidang hukum,
memiliki semangat perjuangan yang begitu menggetarkan: keadilan harus
ditegakkan biarpun langit akan runtuh.
Selama ahli hukum masih bisa melakukannya,
mungkin dalam hitungan detik, penegakan hukum wajib diperjuangan. Jika langit
sudah runtuh dan para ahli hukum tak lagi berdaya, lain lagi soalnya. Dalam
situasi seperti itu kita tak lagi berbicara mengenai keadilan. Mungkin kita
hanya diam menanti keadilan dari Tuhan, sumber dan pemilik segala keadilan.
Janji-janji para ilmuwan untuk melaksanakan
peran itu mugkin terjadi bukan di bumi. Mungkin intu semua janji di sorga
loka. Di bumi, keadaan tidak sama dengan di sorga. Godaan di bumi, terutama
mungkin di bumi yang namanya Indonesia, banyak sekali. Godaan uang
menggiurkan. Nafsu memiliki jabatan bergejolak di dalam diri manusia, seperti
gejolak di samudera yang tak mudah diatasi. Godaan di bumi membuat para
ilmuwan berkhianat.
Janji-janji yang dulu dijunjung tinggi kini
dilupakan. Ilmuwan di bidang hukum, ahli hukum, praktisi hukum, pengacara
atau pembela menyimpang jauh dari warna rohaninya sendiri. Ini kalau mereka
semua masih punya sisi kehidupan rohani. Berhubung dunia ini begitu licin,
orang memilih hanya yang termudah. Pilihannya jatuh pada kehidupan jasmani.
Mungkin pada mulanya ini tak begitu mengenakkan. Ada pula perasaan malu.
Bahkan orang masih bisa menyadari bahwa dirinya berkhianat terhadap peran
utama mereka sebagai ahli hukum.
Tapi perilaku menyimpang itu juga suatu
fenomena yang dipelajari. Apa yang pada mulanya tak enak, dan membuatnya
merasa malu itu lama-lama menjadi terbiasa. Perilaku menyimpang yang
memperoleh imblan materi membuat rasa malu itu menipis. Jika penyimpangan
sudah menjadi kebiasaan dan imbalan atas tindakannya makin terasa
menyenangkan, penyimpangan bukan lagi penyimpangan.
Menyimpang sudah menjadi sebutan masa lalu.
Kini sebutannya kebiasaan. Dan kebiasaan itu berlangsung terus tanpa cela
tanpa kesadaran akan implikasi dosa ini dan itu, dan ancaman hari akhir yang
begini dan begitu. Hari akhir itu urusan nanti. Orang beriman pun bisa
tiba-tiba tak begitu tertarik lagi membicarakan kehidupan di hari akhir.
Orang yang saleh pun bisa saja lalu berlagak pikun: apa betul hari akhir itu
ada? Kaum materialis, yang tak percaya pada apa yang tak jelas, yang bukan
materi, jelas menolak apa yang tak pasti. Mereka melebih-lebihakn begitu rupa
apa yang jelas dan pasti dalm hidup sekarang. Duit, kekuasaan dalam
birokrasi, jabatan, kedudukan di partai politik, wibawa dan kemuliaan
duniawi, lebih mempesona.
Apa gunanya memikirkan janji surga untuk
hidup dalam tatanan etis dan moral maupun hukum, kalau semua itu menyulitkan?
Apa gunanya taat pada janji kalau ada tawaran hidup lebih megah, dengan duit,
duit dan posisi duniawi lainnya yang lebih nyata? Orang lalu mudah berkata:
apa salahnya menyimpang? Siapa yang tahu bahwa kita menyimpang? Lagi pula
siapa bakalm menghukum penyimpangan kita?
Lebih-lebih kalau kita bertemu orang yang
juga menyimpang. Perasaan sama-sam menyimpang membuat orang bisa membangun
solidaritas. Kalau orang yang menyimpang itu ingin disebut tidak menyimpang,
yang salah ingin disebut benar dan kita bisa menolongnya, apa salahnya
membelanya kalau honornya luar biasa besar? Honor besar itu dambaan. Dengan honor
besar itu hidupnya berubah drastis menjadi orang kaya.
Orang yang bisa mengubah kita menjadi orang
kaya itru layak dibela mati-matian. Disuruh apapun akan ditaati. Disuruh
berbohong? Dilakukan. Apa salahnya berbohong kalau sesudah itu kita menjadi
kaya raya? Disuruh menipu publik dengan berbagai manipulasi? Tidak masalah.
Publik mudah ditipu dengan berbagai kebohngan. Gunakan orang berpengaruh.
Ajak wartawan. Ajak siapa saja merekayasa kebohongan agar apa yang bohong dan
yang tidak bohong tak mudah dibedakan.
Disuruh nabrak tiang listrik pun mau.
Melakukan manipulasi medik, membuat orang sehat menjadi seolah sakit parah?
Mudah. Ada dokter yang bisa diajak berbuat begitu dengan berbagai dalih
profesional seolah profesi lebih agung dari kebenaran, kemanusiaan dan
keadilan. Begitu pengaruh kekuasaan dan duit.
Pengaruh orang yang kekuasaannya besar,
jabatannya tinggi dan duitnyatak terhitung, lebih hebat lagi. Perintahnya
untuk melakukan apapun bakal dituruti. Bagaimana kalau kita menjadi
pembela--lawyer—yang bekerja dengan bingkai moral dan menjaga tegaknya
profesi? Tidak ada masalah. Duit itu penting. Raihlah duit itu hari ini,
selagi masih sempat. Katakan profesi tak dilanggar. Jadi kita masih berada
dalam bingkai profesi terhormat. Dan duit banyak akan mampu membuat kita
seolah-olah menjadi lebih terhormat.
Kalau orang yang besar kekuasaannya dan
tinggi jabatannya dengan duit tak terhitung itu menyuruh kita, sebagai
pembela, melawan arus kebenaran dan keadilan? Kita lakukan, Duit itu penting.
Disuruh apapun, selama ada duit dalam jumlah besar, orang akan melakukannya.
Disuruh menjilati telapak kakinya, menjilati sepatunya, menjilati
keringatnya, akan ditaatinya.
Dalih, dalil, argumen—termasuk yang konyol
dan ngawur—bisa dibuat. Disuruh melakukan perbuatan lebih jorok lagi pun tak
masalah. Argumen kita kelihatan konyol tak masalah pula. Kita bikin apa yang
di mata orang lain kelihatan konyol itu seolah benar, lurus, suci dan mulia.
Kita harus berani nekat. Berani konyol. Berani ngawur. Berani badut-badutan.
Komis tebal rontok semua bukan suatu masalah. Di pasaran banyak komis palsu
untuk mengganti sementara.
Apa salahnya ngawur, konyol dan
badut-badutan kalau honornya besar? Diteriaki orang banyak, dikutuk dan
disumpahi di mana-mana? Katanya, itu risiko perjuangan. Hidup punya risiko.
Lawan suara orang banyak dengan dalil-dalil yang kelihatannya benar.
Keluarga, istri dan anak-anak dan orang tua maupun mertua tahu kekonyolan
kita? Jelaskan dengan cara meyakinkan agar mereka paham.
Kalau mereka mengerti bahwa kita konyol
sekonyol-konyolnya? Beri argumen ngawur. Dan kalau mereka masih mendebat?
Lawan terus secara ngawur dan kemudian lupakan. Jangan masukkan ke dalm hati.
Mungkin betul. Lagi pula hati apa? Orang senekat itu, sebohong itu dan
sekonyol itu hanya melihat duit dengan akal. Hati tak lagi terlibat. Itu pun
kalau dia masih punya hati.
Tak sedikit jumlah orang yang bisa dan
dengan mudah,menjual jiwanya kepada setan demi kenikmatan duniawi. Bagaimana
kalau semua kebohongannya segera diketahui umum, dan dia tak bisa berkelit
lagi? Bagaimana kalau kita tak lagi berdaya dan di depan umum kita ibaratnya
telanjang bulat dan dipermalukan? Zaman sekarang kebohongan mudah segera
terbongkar. Tapi mengapa orang terus bohong? Zaman sekarang koruptor mudah
ketahuan dan dipenjara dan dipermalukan. Tapi mengapa orang tetap korup dan
tak lagi merasa malu?
Kebohongan segera terbongkar mungkin bukan
masalah. Orang tetap melakukan kebohongan karena tak bisa melakukan yang
lain, dan punya apapun lagi selain kebohongan itu. Mungkin kebohongan sudah
menjadi identitas dirinya dan nama panggilannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar