Menstimulasi
Ekonomi Lima Persenan
Umar Juoro ; Ekonom Senior Center for Information and
Development Studies (Cides) dan The Habibie Center
|
REPUBLIKA,
27 November
2017
Ekonomi Indonesia dapat dikatakan sebagai
“ekonomi lima persenan” yang dicirikan oleh pertumbuhan sekitar 5 persen.
Pertumbuhan konsumsi dari sisi pengeluaran dan industri dari sisi sektoral
yang semestinya menjadi tulang punggung ekonomi tumbuh di bawahnya.
Kecenderungan pertumbuhan ekonomi adalah
pada tingkatan 5 persen, tidak lagi 6 persen seperti masa sebelumnya.
Pertumbuhan di 2017 ini diperkirakan hanya 5,1 persen. Pada 2018 kemungkinan
lebih baik tetapi tidak akan lebih tinggi daripada 5,3 persen, begitu pula
pada tahun 2019 masih di lima persenen.
Pertanyaannya, apakah pertumbuhan ekonomi
lima persenan adalah sementara atau permanen? Begitu pula, apakah pertumbuhan
kredit dan bisnis ritel barang konsumsi satu digit bersifat sementara atau
permanen? Sebelumnya kenormalan adalah pertumbuhan kredit dan ritel konsumsi
adalah dua digit.
Pertanyaan selanjutnya apakah kondisi ini
menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sudah masuk pada jebakan pendapatan
menengah (middle income trap) ataukah karena kebijakan ekonomi yang kurang
dapat memfasilitasi dalam menstimulasi ekonomi untuk tumbuh 6 persen apalagi
7 persen seperti negara Asia lainnya Malaysia, Filipina, India, dan Vietnam.
Jika melihat negara Asia lainnya masih
dapat tumbuh 6-7 persen maka ini berarti Indonesia merupakan kekecualian
dengan pertumbuhan yang hanya lima persenan. Melihat potensi ekonomi
sebenarnya pertumbuhan 6 persen tidaklah sulit untuk dicapai. Dari sisi
pengeluaran konsumsi dan investasi masih dapat tumbuh lebih tinggi.
Dengan pertumbuhan hanya lima persenan maka
terdapat indikasi kurang memfasilitasinya kebijakan ekonomi untuk pertumbuhan
dan adanya ketidakpastian yang dihadapi pelaku ekonomi baik perusahaan maupun
individu.
Sekalipun pemerintah telah meluncurkan enam
belas paket kebijakan ekonomi namun belum memberikan pengaruh signifikan
dalam perkembangan ekonomi. Permasalahannya adalah peraturan yang menghambat
yang sudah diganti muncul kembali dalam bentuk lain. Begitu pula peraturan
daerah yang sudah dihapuskan, muncul kembali dalam bentuk lain yang tidak
lagi dapat dicabut oleh pemerintah pusat kecuali melalui pengadilan.
Apa yang tampaknya mencolok adalah adanya
hubungan terbalik (trade off) antara upaya mengejar penerimaan pajak dengan
pertumbuhan ekonomi. Memang, rasio pajak terhadap PDB tergolong rendah,
sekitar 11 persen.
Namun dengan mengenjot penerimaan pajak
secara agresif membuat perusahaan dan individu menghadapi ketidakpastian
seberapa besar pajak yang harus mereka bayar, dan apakah mereka akan selalu
menjadi target aparat pajak. Akibatnya, mereka menahan diri dalam
pengeluaran. Hal ini juga menjelaskan melemahnya pertumbuhan konsumsi
masyarakat.
Kelihatannya pemerintah masih akan terus
mengejar penerimaan pajak sebisa mungkin. Sementara itu, perusahaan dan
individu juga semakin khawatir terhadap pajak ini. Dapat dikatakan pada waktu
sebelumnya kurang taatnya pembayar pajak sebagai insentif untuk berbelanja.
Sedangkan, pengejaran wajib pajak menjadi
pengekang bagi belanja perusahaan dan individu. Tentu saja kepatuhan danpenerimaan
pajak harus ditingkatkan dengan konsekuensi memperlambat pertumbuhan.
Tantangannya adalah melakukan reformasi pajak yang tidak menghambat
pertumbuhan ekonomi. Namun hal ini tidak mudah untuk melakukannya.
Belakangan ini terlihat adanya indikasi perbaikan
ekonomi yang diperlihatkan oleh peningkatan pertumbuhan ekspor. Ekspor
mengalami pertumbuhan cukup tinggi sekitar 17 persen. Namun, dengan
keterbatasan produk ekspor dan belum pulihnya ekonomi dunia maka
keberlanjutan pertumbuhan ekspor ini masih menjadi pertanyaan.
Harga komoditas terutama batubara dan CPO
juga mengalami peningkatan. Namun, jika kembali mengandalkan pada komoditas
dengan harga yang siklikal, sebenarnya tidak memperkuat struktur ekonomi ke
depannya.
Indikasi perbaikan lainnya adalah
meningkatnya pertumbuhan impor terutama untuk barang antara. Hal ini sejalan
dengam pertimbuhan investasi yang cukup tinggi sekitar 7 persen. Jika
pertumbuhan investasi dapat lebih tinggi lagi maka ada harapan pertumbuhan
ekonomi dapat lebih tinggi. Namun, dengan masih lemahnya konsistensi
kebijakan dalam memfasilitasi investasi pertumbuhan investasi tampaknya belum
akan terlalu tinggi.
Begitu pula kredit perbankan hanya tumbuh
sekitar 8 persen. Pertumbuham ekonomi yang lebih tinggi membutuhkan pertumbuhan
keedit dua digit. Perbankan masih menunggu permintaan kredit yang berkualitas
dan masih khawatir jika pertumbuhan kredit didorog lebih tinngi alan
berkaibat pada naiknya kredit macet NPL lagi.
Secara sektoral pertumbuhan tinggi masih
pada sektor telekomunikasi, transportasi dan juga konstruksi. Namun,
perusahaan telekomunikasi menghadapi tantangan berat akan kebutuhan investasi
yang besar, sementara margin berkurang karena persaingan yang ketat.
Pertumbuhan sektor konstruksi yang tinggi baik bagi perekonomian, seiring
dengan pembangunan infrastruktur.
Namun, pengaruh berantainya kurang memadai
untuk mendorong perkembangan ekonomi yang lebih tinggi. Begitu pula
konstruksi yang berkaitan dengan perumahan terlihat mengalami perlambatan.
Padahal, permintaan perumahan akan mendorong permintaan kredit KPR yang bisa
lebih tinggi lagi.
Jadi belum ada //leading sector// yang
dapat mendorong perkembangan ekonomin lebih tinggi lagi. Jika demikian maka
ekonomi lima persenan akan menjadi kenormalan. Pertumbuhan lima persen
tidaklah buruk, namun kurang memadai dalam menciptakan kesempatan kerja yang
produktif.
Membandingkan negara-negara Asia lainnya
yang dapat tumbuh 6-7 persen pada umumnya mereka mengalami dari sisi
pengeluaran mengalami peryumbuhan investasi dan ekspor yang lebih tinggi.
Mereka lebih dapat memanfaatkan perbaikan di ekonomi global yang sekali belum
optimal namun memberikan peluang cukup baik.
Secara sektoral sektor manufaktur mereka
tumbuh tinggi dengan orientasi ekspor yang cukup besar. Menariknya rasio
pajak terhadap PDB mereka juga lebih baik dari Indonesia sehingga lebih
leluasa dalam memberikan stimulasi perkembangan sektor riil.
Indonesia dapat saja meniru kebijakan
negara-negara Asia tersebut. Namun, kembali tidak mudah secara bersamaan meningkatkan
rasio pajak PDB dengan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Kita
membutuhkan keseimbangan antara upaya meningkatkan penerimaan pajak dengan
memberikan stimulasi pada perekonomian.
Begitu pula ekspor manufaktur Indonesia
masih sangat terbatas pada elektronika, tekstil, garmen, dan alas kaki dengan
nilai tambah yang juga lebih rendah. Jadi. dibutuhkan transformasi sektor
manufaktur yang tidak saja memperkuat strukturnya tetapi juga dapat mendukung
ekspor yang lebih besar.
Apa yang tidak kalah penting adalah
memberikan kepercayaan dan kepastian kepada perusahaan dan individu untuk
membelanjakan dananya, tidak hanya disimpan, sehingga mendukung langsung
perkembangan ekonomi. Bagi golongan bawah mereka membutuhkan peningkatan daya
beli yang bisa dilakukan dengan transfer yang lebih besar kepada mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar