Kegaduhan
Perempuan di Media Sosial
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai Periset
dan Tim Media Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
24 November
2017
Pekan ini adalah pekan yang
cukup berat buat saya, penulis amatir yang sering menggali inspirasi dari
kejadian yang sedang viral di media sosial. Di linimasa Facebook, setidaknya
saya menjumpai tiga tema besar yang akan menjadi studi kasus kita kali ini, yakni
kasus pernikahan Umi Pipik dengan vokalis sebuah band, kasus Jennifer Dunn
yang dilabrak oleh Shafa Haris, dan kasus Rina Nose yang memutuskan untuk
melepas jilbab.
Sebelum menuju topik yang akan
kita bahas, secara umum saya memberi nilai E, jika perlu Z pada framing yang
dibuat media untuk tiga kasus di atas. Umi Pipik dieksploitasi dengan
membenturkan simbol-simbol hijrah dan keagamaannya, sedangkan keluarga Shafa
Haris justru dieksploitasi kekayaan dan keglamorannya. Pemberitaan tidak
memberikan kesadaran bahwa ada laki-laki dalam kasus ini, yang sesungguhnya
justru memiliki tanggung jawab paling pelik.
Pola pemberitaan bias gender
semacam itu melahirkan konstruksi sosial patriarkis, setelah terlebih dahulu
melanggengkan persepsi bahwa laki-laki tidak pernah salah bahkan terkesan
makin jantan ketika dapat menguasai semakin banyak perempuan. Lebih-lebih,
sanksi sosial telah siap di depan mata untuk menyerang pihak perempuan saja:
perempuan yang dicap merebut suami orang adalah perempuan genit; sebaliknya,
perempuan yang ditinggalkan suaminya adalah perempuan yang tidak menarik
alias tidak mampu menyenangkan suami.
Uniknya, dari hiruk pikuk
keramaian selebriti itu, saya mendapat temuan bahwa perempuan adalah makhluk
berisik di media sosial. Saya tidak tahu apakah ini hanya prasangka buruk
pribadi. Namun, mari coba cek ulang alur produksi kegaduhan tiga kasus di
atas. Sebagian besar perempuan menemukan berita di akun gosip di Instagram.
Biasanya, mereka lalu melakukan dua aktivitas lanjutan. Pertama, memberikan
komentar di bawah pemberitaan itu di Instagram. Kedua, men-screenshot lalu
membagikannya ke grup Whatsapp komunitas terdekat, atau membagikan link di
akun Facebook.
Di Instagram, saya menyaksikan
ribuan perempuan bertengkar dan berdebat sengit. Perempuan memiliki energi
untuk memberikan sikap persetujuan maupun ketidaksetujuan lewat
kalimat-kalimat yang begitu panjang. Ketika pendapat mereka disanggah, mereka
akan membalasnya dengan lebih serius lagi. Pokoknya, pendapat mereka teguh
dan tak terkalahkan! Demikian pula yang terjadi di linimasa Facebook.
Energi besar kaum perempuan
untuk berdebat di media sosial itu bisa dipetakan hampir pada semua
perdebatan, mulai topik keluarga, kesehatan, pengasuhan anak, hingga agama.
Apakah Anda merasakan hal serupa? Atau, mungkin akun-akun perempuan yang
gaduh bersitegang di linimasa Instagram itu adalah Anda salah satunya?
Pada 2017, dua per tiga orang
dewasa Amerika mendapat berita dari media sosial. Yang lumayan menarik,
jumlahnya mencapai 55% untuk orang dewasa berusia lebih dari 50 tahun lebih,
dan 78% untuk mereka yang berusia di bawah 50 tahun. Masih menurut data PEW
Research terbaru (Agustus 2017), pengguna Facebook, Snapchat, dan Instagram
sebagian besar adalah perempuan dengan persentase masing-masing 62%, 62% dan
60%. Sedangkan, pengguna Youtube dan Twitter sebagian besar laki-laki dengan
persentase masing-masing 55% dan 53%. Pengguna aktif usia muda 18-29 tahun
mendominasi Snapchat, Instagram dan Youtube, sementara usia matang 30-49
tahun mendominasi Facebook dan Twitter.
Meskipun survei tersebut
dilakukan untuk publik Amerika, saya akhirnya merasa mendapat sedikit
pencerahan pada kegaduhan perempuan di media sosial. Fenomena publik Amerika
itu barangkali tak beda jauh dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pertama,
berdasar analisis pengguna, pengguna dua platform populer yang efektif untuk
berdebat, yakni Facebook dan Instagram lebih banyak perempuan dibanding
laki-laki.
Pengguna Instagram aktif 45
juta orang. Tahun 2017, Instagram berada pada peringkat ketiga, sedikit di
bawah peringkat Youtube dan Facebook untuk kategori pengguna aktif. Instagram
salah satu media sosial yang memiliki ciri khas sebagai tempat berbagi foto
dan video pendek. Seperti produk bisnis lain, hal yang membuat pengguna aktif
Instagram meningkat secara signifikan dalam dua tahun ini adalah inovasi.
Pengguna media sosial cenderung lekas bosan dan selalu mencari kebaruan. Oleh
Instagram, hal ini dipenuhi.
Dalam laman Socialdaily, saya
mencatat hanya dalam rentang September hingga November, terdapat banyak
sekali kebaruan yang ditawarkan, misalnya sentuhan khas Facebook di Instagram
yang memungkinkan orang bisa langsung saling berbalas komen, membalas DM
Instagram dengan foto dan video, posting-an album Instagram mendukung format
potret dan lanskap, fitur berbagi stories ke Facebook, Instagram Stories bisa
dibagikan via direct message, video Instagram Live bisa dipoles efek-efek
unik, fitur kendali komentar dan depresi, transaksi pembelian secara langsung
di dalam platform, medium polling lewat Instagram Stories, serta fitur siaran
live bareng teman.
Indonesia merupakan pembuat
konten Instagram Story terbanyak di dunia, dan menjadi komunitas Instagram
terbesar di Asia Pasifik, serta salah satu pasar terbesar di dunia dari total
700 juta pengguna aktif setiap bulan.
Setelah dua analisis di atas,
saya berhati-hati melempar pertanyaan yang berpotensi untuk menjadi seksis.
Benarkah perempuan lebih cerewet daripada laki-laki? Jawabnya tentu saja
belum tentu. Akan tetapi, mereka yang memiliki kelebihan waktu untuk menulis
panjang lebar terhadap isu-isu yang sama sekali tidak berkaitan dengan
kehidupan mereka, tentu saja adalah pihak yang memiliki kelebihan waktu.
Tetapi, sejarah mulut perempuan
yang cerewet dan tangan laki-laki yang terampil tidak sederhana. Beauvoir
dalam The Second Sex mengungkapkan bahwa ketidakadilan gender berawal dari
persepsi masyarakat terhadap tubuh perempuan. Gambaran paling konkret adalah
simbol organ seks masing-masing. Laki-laki memiliki phallus dan sperma,
sedangkan perempuan adalah pemiliki rahim dan selaput dara.
Phallus dibicarakan sebagai
simbol dominasi laki-laki sejak dulu. Di Italia, Paris, Mesir, Amerika hingga
Indonesia simbol phallus diabadikan dalam berbagai obelisk. Di Indonesia, di
Candi Cetho di Karanganyar misalnya, terdapat sebuah simbol lingga-yoni yang
menyatakan phallus adalah simbol kehadiran, kekuasaan, sekaligus kepemilikan
laki-laki. Laki-laki terbiasa beraktivitas di medan yang penuh marabahaya,
sedangkan perempuan adalah simbol kerapuhan yang banyak disimpan di
ruang-ruang domestik. Laki-laki menjadi terampil tangannya karena
maskulinitas menuntut untuk melakukan usaha pemenuhan kebutuhan, sedangkan
para perempuan rapuh barangkali jadi kesepian lalu banyak berbagi dengan
curhat harian.
Ibu saya bercerita, sekarang
sudah banyak teman sejawatnya yang berponsel canggih. Dua aplikasi yang
paling sering dipakai oleh para ibu kekinian itu memang Facebook dan
Instagram. Jadi, situasinya barangkali adalah, jika dulu ruang gosip ada bersama
tukang sayur langganan atau kantin kantor saat makan siang, ruang itu kini
berpindah kepada dua platform tersebut. Ya ampun, ternyata hanya soal
relokasi, toh!
Ngomong-ngomong, sebetulnya isu
myth of feminine Beauviour di atas sudah kuno. Hari ini perempuan sudah
banyak berkiprah di ruang publik. Isu yang menyambut mereka hari ini adalah
myth of beauty alias mitos kecantikan, kuasa tubuh perempuan di ruang-ruang
iklan serta produk kecantikan yang menjadikan perempuan sasaran empuk pasar
anti-gendut hingga anti-kulit kusam.
Pada hal-hal itulah seharusnya
kita mesti bersatu padu untuk melawan, Ibuk-ibuk! Meladeni akun gosip dan
framing berita bias gender sudah sangat melelahkan, dan akan lebih berat lagi
perjuangan kita jika harus ditambahi dengan saling menjatuhkan antarsesama
perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar