Medsos
dan Fenomena ”Post-Truth”
Eko Sulistyo ; Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi
Kantor Staf Presiden
|
KORAN
SINDO, 28 November 2017
MAJALAH The Economist edisi 4 November 2017
membuat laporan utama dengan judul ”Social mediaís threat to democracy”.
Tulisan ini seperti mengingatkan kita bahwa media sosial (medsos) bisa
memiliki dua muka, sisi baik dan buruk. Medsos bisa bermanfaat untuk
pencerahan dan memajukan demokrasi, tapi bisa juga disalahgunakan.
Seperti dikatakan filsuf Jerman Jurgen
Habermas, konektivitas medsos akan mengganggu stabilitas penguasa otoriter,
tapi juga akan mengikis kepercayaan publik pada demokrasi. Medsos bisa
berperan membuka ruang demokrasi dan pluralisme secara global serta
menghubungkan orang-orang agar suara mereka didengar. Namun di sisi lain
medsos dapat menjadi ancaman bagi demokrasi dan pluralisme.
Di Ukrania, tumbangnya presiden mereka
diawali dengan sebuah status di medsos yang dibuat seorang jurnalis di
Facebook yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di Lapangan Maidan di Kiev.
Di Mesir, medsos mengambil peran penting dalam penumbangan Presiden Husni
Mubarak, 2011.
Sementara di Jerman, partai ultrakanan
mendapatkan 12,6% kursi di parlemen dengan cara menyebarkan ketakutan melalui
medsos bahwa para pengungsi dari Suriah mendapat lebih banyak keuntungan
daripada orang asli Jerman. Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte membuat
keyboard army untuk menyebarluaskan
narasi palsu.
Di Rusia, Presiden Putin memanfaatkan
medsos sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya seperti
Ukraina, Prancis, dan Jerman. Bahkan Senat Amerika pernah memanggil
perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam kasus mengarahkan suara pemilih
dan memecah belah masyarakat yang diduga melibatkan Rusia.
Referendum Brexit di Inggris secara efektif
menggunakan medsos seperti Facebook untuk memasang iklan. Trump juga
menggunakan medsos untuk kampanye memengaruhi pemilih dengan membuat 50.000-60.000
iklan yang berbeda di medsos, utamanya di Facebook.
Fenomena
” Post-Truth”
Dengan fakta politik kontemporer yang
terjadi di berbagai negara seperti ditulis The Economist, kita bisa melihat
begitu bahayanya ancaman medsos yang disalahgunakan bagi demokrasi dan
pluralisme. Memang berkat internet, pertukaran informasi berlangsung sangat
cepat tanpa batas ruang dan waktu. Namun kemajuan tersebut telah melahirkan
juga apa yang disebut sebagai fenomena post-truth.
Istilah post-truth menjadi populer ketika
para penyunting Kamus Oxford menjadikannya sebagai word of the year tahun
2016. Post-truth menunjukkan suatu keadaan di mana fakta objektif kurang
berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan
keyakinan pribadi.
Era post-truth dapat disebut sebagai
pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat
opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya
publik. Media mainstream yang dulu
dianggap salah satu sumber kebenaran harus menerima kenyataan semakin
tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan,
fiksi dan nonfiksi.
Tertangkapnya para pengelola ”bisnis hoax”
dan kabar bohong Saracen menunjukkan bahwa fenomena post-truth juga terjadi di Indonesia. Sebagai salah
satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia, Indonesia potensial
menjadi target fenomena post-truth. Baik untuk tujuan ekonomi maupun
kepentingan politik.
Fenomena post-truth di Indonesia dapat
meluas karena empat sebab. Pertama, kemajuan teknologi informasi yang
asimetris dengan kapasitas adaptasi pemerintah dan masyarakat. Kedua, adanya
kompetisi politik yang tidak berkesudahan sejak Pilpres 2014. Ketiga,
adanya dukungan dari masyarakat tertentu pada ideologi ekstrem
anti-Pancasila. Keempat, adanya kegelisahan dengan perubahan dan perbaikan
sistem yang dilakukan pemerintahan saat ini.
Pendekatan
Keras dan Lunak
Perkembangan teknologi informasi dan
internet tidak bisa dihentikan. Pemerintah selalu berupaya mencari
kesimbangan antara kebebasan demokrasi dalam hal informasi dan akses pada
internet. Sementara fenomena post-truth tidak hanya menjadi ancaman bagi
demokrasi, tapi juga bagi kebebasan sipil.
Kita bisa belajar dari berbagai negara
dalam merespons era post-truth. Pemerintah Jerman telah mengesahkan
undang-undang yang dapat mendenda 50 juta euro bagi platform yang
mendistribusikan atau gagal menghapus konten berita palsu.Kementerian
Dalam Negeri Jerman juga sedang mengusulkan pembentukan Center of Defense
Against Misinformation untuk memberantas berita palsu.
Pemerintah RRC sejak 2013 membuat ”rumor
online” untuk melindungi hak dan kepentingan warga negara dan
mempromosikan internet sehat. Selain menghapus tulisan di media sosial
seperti Wechat, Pemerintah RRC juga telah memaksa operator untuk menghapus
konten yang dianggap rumor dan hukuman penjara 3 tahun bagi pelakunya serta
kewajiban suspend account untuk penyebar fake-news.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak
kalah responsif dalam menerapkan tindakan, baik yang bersifat hard approach
maupun soft approach, dalam menanggapi era post-truth. Pendekatan keras
dilakukan Pemerintah Indonesia bila fenomena post-truth masuk dalam kategori
hate speech seperti termuat dalam KUHAP
(Pasal 156-157).
Beberapa undang-undang dan ketentuan lain
juga bisa menjadi landasan memidanakan ”ujaran kebencian”. Misalnya UU No
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, UU No 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2013
tentang Teknik Penanganan Konflik Sosial.
Kebijakan terbaru, pemerintah mewajibkan
setiap pemilik nomor telepon seluler melakukan registrasi ulang dengan
menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sampai dengan Maret 2018.
Kartu akan otomatis nonaktif apabila registrasi tidak dilakukan. Kementerian
Dalam Negeri mencatat sebanyak 35,29 juta pengguna ponsel yang melakukan
registrasi NIK dalam kartu perdana yang mereka miliki.
Padahal pengguna kartu perdana telepon
selular di Indonesia mencapai 128 juta. Pemerintah juga bekerja sama dengan
operator telepon seluler terkait dengan penggunaan NIK pada KTP elektronik.
Ketentuan khusus juga akan diberlakukan di mana satu orang hanya boleh
menggunakan tiga kartu perdana saja.
Ke depan, pendekatan lunak dengan fokus
pada literasi digital akan menjadi pekerjaan serius pemerintah. Literasi dan
edukasi akan dilakukan terutama kepada kelompok yang dianggap rentan.
Pemerintah akan bekerja sama dengan masyarakat sipil menciptakan hoax buster
untuk menangkal berita-berita palsu.
Pemerintah berkewajiban melindungi warga
negara dan kebinekaan bangsa dari ujaran kebencian, berita palsu, dan hoax
yang memecah belah masyarakat. Fenomena post-truth memberikan tantangan
kepada pemerintah dan masyarakat bahwa medsos dapat digunakan dengan
bijak, tapi juga bisa menjadi sumber masalah baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar