Mesranya
Hubungan Arab Saudi-Israel
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;
Analis Pemikiran dan
Politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
|
DETIKNEWS,
23 November
2017
Peta geopolitik di Timur-Tengah
mengalami dinamika dan perubahan yang terus melesat, bahkan membuat kita
termanggut-manggut. Arab Saudi yang selama ini dianggap sebagai salah satu
negara berpengaruh di Timur-Tengah terus melakukan manuver untuk meredam
pengaruh Iran di kawasan. Arab Saudi terlihat bermesraan dengan Israel.
Namun, muncul sebuah
pertanyaan, kenapa Arab Saudi justru merangkul Israel untuk melawan Iran?
Bukankah Israel merupakan musuh bersama dan utama dunia Arab, bahkan dunia
Islam karena telah menjajah Palestina?
Baru-baru ini, situs berita
Arab Saudi, Elaph memuat wawancara dengan Letnan Jenderal Gadi Eisenkot yang
menegaskan kemitraan strategis antara Arab Saudi dan Israel. Media terbesar
di Israel seperti Haaretz dan The Jerussalem Post memuat berita tentang
Aliansi Arab Saudi-Israel. Bahkan, menurut kedua media tersebut, Muhammad bin
Salman (MBS) secara diam-diam ditengarai telah melakukan kunjungan ke Israel
pada September lalu.
Hubungan mesra Arab
Saudi-Israel bermula dari MBS. Sejak ditunjuk sebagai Putera Mahkota
menggantikan Muhammad bin Nayef, MBS langsung mengambil kebijakan besar untuk
menggempur Houthi di Yaman dalam rangka membendung pengaruh Iran yang terus
menguat di kawasan. Pengaruh Iran di Irak, Suriah, dan Lebanon semakin
menguat. Belum lagi, hubungan Iran dengan Turki, Qatar, dan Uni Emirat Arab
terus membaik.
Pengaruh Arab Saudi di kawasan
terus menyusut bersamaan dengan terus menurunnya harga minyak. Belum lagi
stigma Arab Saudi di balik meluasnya kelompok ekstremis dan teroris, yang
menyebabkan citra Arab Saudi di dunia dan kawasan kurang mendapatkan simpati.
Kini, Arab Saudi harus
memulihkan itu semua dengan melakukan terobosan dan langkah besar, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri, Arab Saudi melakukan
reformasi keagamaan secara total dengan mendeklarasikan Islam Moderat. Ia
memperbolehkan perempuan mengemudikan kendaraan, menonton sepakbola di
stadion, dan kembali digelarkan konser musik. Untuk pertama kalinya, penyanyi
kondang Arab: Kadzim Saher dan Cheb Khaled akan menghadiri konser musik di
Jeddah dan Riyadh.
Tidak hanya itu, MBS juga
menangkap ribuan ulama dan khatib Jumat yang mendakwahkan kekerasan:
ekstremisme dan terorisme. Fatwa terbaru ulama berpengaruh di Arab Saudi,
yaitu umat Islam dibolehkan melaksanakan salat di gereja. Bahkan, ulama
tersebut juga mengutip Sirah Nabi Muhammad SAW tentang umat Kristen Bani
Najran yang diperkenankan Nabi untuk melakukan kebaktian di Masjid Madinah.
MBS ingin membuktikan bahwa
"Arab Saudi Jaman Now" akan sangat berbeda dengan "Arab Saudi
Jaman Old". Pertemuan antara Pengurus Nahdlatul Ulama dan Kedutaan Arab
Saudi di Jakarta juga semakin mengukuhkan "Arab Saudi Jaman Now".
Islam moderat sudah tak terbendung di Arab Saudi, dan Wahabisme akan
wassalam.
Di luar negeri, Arab Saudi
mengirimkan pesan yang kuat untuk membendung pengaruh Iran. Serangan
besar-besaran ke Houthi di Yaman yang konon biayanya per hari mencapai 1
miliar dolar AS dan blokade terhadap Qatar merupakan pesan penting bagi Iran
dan siapapun yang bekerja sama dengan Iran.
Namun pada titik ini, Arab
Saudi justru terlihat kelemahannya. MBS tidak memperhitungkan bahwa
negara-negara Arab di kawasan sudah tidak bisa didikte lagi oleh Arab Saudi.
Iran dan Qatar tumbuh sebagai negara yang berpengaruh secara militer dan
ekonomi, baik karena kemitraan strategis dengan negara-negara adidaya,
seperti Rusia, Eropa, dan China maupun karena kepemimpinan yang efektif dan
demokratis. Iran dan Qatar juga menjelma sebagai negara berpengaruh, karena
ekspansi media yang dimilikinya. Stasiun televisi Al-Jazeera dan Al-'Alam
mampu menandingi gurita media Arab Saudi.
Langkah MBS untuk menggempur
Yaman sampai saat ini belum menunjukkan keberhasilan. Bahkan Houthi berhasil
mengirimkan rudal ke perbatasan di Riyadh. Houthi konon mendapatkan sokongan
penuh dari Hizbullah, dan Iran.
Sudah dua tahun MBS memimpin
langsung serangan terhadap Houthi di Yaman, tapi tidak ada tanda-tanda Houthi
akan kalah, melainkan justru makin kuat. Sementara, ada jutaan warga Yaman
yang sudah tewas, terluka, dan terserang kolera. Human Rights Watch
menegaskan ada kejahatan perang di Yaman yang jelas-jelas dilakukan oleh Arab
Saudi.
Maka dari itu, MBS terus
bermanuver untuk membendung pengaruh Iran, bahkan mengirimkan sinyal untuk
menyerang mitra strategis Iran di Lebanon, Hizbullah. Untuk mencapai
ambisinya, MBS menggandeng Israel yang mendapatkan mandat langsung dari
Donald Trump.
Tentu saja, untuk melawan Iran,
MBS membutuhkan kekuatan yang luar biasa. Secara kebetulan Donald Trump dan
Netanyahu mempunyai agenda politik luar negeri yang sama untuk melawan Iran.
Menurut Israel, negara di kawasan yang mengancam eksistensi Israel hanya
Iran. Pandangan yang sama juga dianut oleh Arab Saudi. Kepentingan yang sama
antara Arab Saudi, Israel, dan dukungan penuh Amerika Serikat era Trump telah
memantapkan MBS untuk melakukan manuver politik yang tidak biasa terhadap
Iran.
Maka dari itu, Arab Saudi
bersama-sama dengan Israel untuk melawan Iran. Padahal Arab Saudi selama ini
relatif keras terhadap Israel. Kita masih ingat, hingga sekarang ini siapapun
umat Islam yang di paspornya terdapat stempel Israel, maka ia tidak akan bisa
masuk ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah umrah dan haji.
Kabar perihal hubungan mesra
antara Arab Saudi dan Israel juga bisa dilihat dari opini publik di dalam
negeri kaya minyak itu. Menurut survei terbaru dari IDI Institute for Policy
and Strategy, hanya 18% warga Arab Saudi yang menganggap Israel sebagai
musuh, 22% menentang ISIS, dan 53% mengecam Iran. Artinya, ada perubahan
besar di dalam negeri Arab Saudi. Mereka lebih benci terhadap Iran daripada
Israel (World Affairs, 2017).
Namun, semua itu tidak mudah
bagi Arab Saudi. Palestina hingga saat ini masih belum merdeka. Israel terus
melakukan penjajahan terhadap Palestina. Yang teranyar, Amerika Serikat akan
menutup kantor PLO di Washington. Itu artinya Israel tidak punya niat baik
untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Pada titik ini, aliansi Arab
Saudi-Israel akan kehilangan moralitasnya. Di saat negara-negara Arab yang
lain, bahkan mayoritas negara Muslim mengecam penjajahan Israel terhadap
Palestina, justru Arab Saudi semakin mesra dengan Israel. Apalagi jika
kedutaan Israel resmi dibuka di Riyadh, maka tidak terbayangkan respons dari
dunia Arab dan dunia Islam pada umumnya.
Walhasil, Arab Saudi di tangan
MBS sedang melakukan pertaruhan politik yang tidak mudah. Mungkin ia bisa
memenangkan pertarungan di dalam negeri Arab Saudi, tetapi akan menghadapi
tantangan yang tidak besar dari dunia Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar