Rabu, 22 November 2017

Takhta yang Bergoyang

Takhta yang Bergoyang
Xavier Quentin Pranata ;  Penikmat Sastra yang kurang suka
'drama' dan 'sandiwara'
                                                DETIKNEWS, 21 November 2017



                                                           
Saat berada di sebuah taman nasional di Kanada, saya dan keluarga berfoto di sebuah pohon raksasa yang disambar petir. Mengapa pohon itu tidak tumbang meskipun puncaknya gosong dan dalamnya berlubang? Soalnya pengelola memasang konstruksi baja di dalamnya untuk mempertahakannya agar tetap berdiri. Mengapa pula pohon yang sudah disambar petir tetap dipertahankan berdiri? Untuk monumen dan —tentu saja— mendulang dolar dari kunjungan turis. Manusia memang cenderung mempertahankan kekuasaan (baca: takhta) tidak peduli apakah 'kursi singanya' sudah goyah dan memanas?

Saat menemani anak ke sekolah, di dalam mobil saya membaca judul berita koran terbaru. Di halaman depan terpampang foto Setya Novanto yang terbaring di rumah sakit karena diduga mengalami gegar otak. Sebelumnya, drama pemanggilan paksa Ketua DPR itu di rumahnya sungguh meramaikan jagat berita Tanah Air. Di halaman internasional, Robert Mugabe menolak lengser meskipun militer, gereja, dan masyarakat sipil memintanya untuk lengser. Saya jadi ingat peristiwa yang mirip dengan itu sekian tahun yang lalu di Tanah Air tercinta ini saat gedung MPR-DPR dikepung mahasiswa yang meminta presiden mundur dari jabatannya.

Di bawah tulisan diktator Zimbabwe itu ada berita tentang Hun Sen --Perdana Menteri Kamboja-- yang memakai berbagai cara untuk melanggengkan takhtanya yang sudah berlangsung tiga puluh tahun. Jika berhasil menang pada pemilu mendatang, dia bisa mengugguli Soeharto yang pernah menjabat selama 32 tahun. Sementara itu, di Kerajaan Arab Saudi muncul bintang baru, yaitu Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) yang menggemparkan dunia karena aksi bersih-bersih yang dia lakukan.

MBS melakukan penangkapan tokoh-tokoh penting di Arab Saudi yang diduga melakukan korupsi besar-besaran. Meskipun tindakannya ini mendulang simpati di kalangan anak muda, kalangan konservatif khawatir karena mereka menduga ada maksud lain, yaitu untuk menyingkirkan orang-orang yang berpotensi untuk menggoyang kedudukannya. Sekali lagi hal ini bicara tentang takhta.

Singgasana, kata lain dari takhta, berasal dari bahasa Sansekerta sinhasana yang artinya tempat duduk singa. Singa dalam kebudayaan Budha dan Hindu memang menyiratkan arti keagungan dan kebesaran. Kita mengenal singa sebagai raja rimba. Siapa yang menyangkal kedahsyatan yang ditimbulkan singa, bahkan oleh aumannya saja? Ketika menginap di sebuah taman safari, saat malam hari, saya dibangunkan oleh auman singa yang menggetarkan dada. Seorang sahabat yang ikut safari ke Afrika dengan jeep terbuka merasakan betul kedahsyatannya. "Aumannya begitu mendebarkan," ujar penggemar fotografi alam liar itu.

Apakah penguasa zaman kini menunjukkan kharisma semacam itu? Menurut saya tidak. Mereka justru di-"bully" di mana-mana. Figurnya dijadikan meme. Meskipun begitu, conspiracy theory berkata sebaliknya. Karena nampak alim dan santun, mereka justru berbahaya karena kepanjangan tangan mereka ada di mana-mana. Orang-orang yang hendak mengusik singgasananya bahkan merasakan hal-hal yang tidak mengenakkan seperti disiram air keras, bahkan bisa dibuat 'bunuh diri' meskipun berada jauh di Amerika sana. Benarkah teori itu? Siapa yang bisa melakukan cek dan ricek?

Ambisi untuk merebut takhta dan gengsi untuk mempertahankan singgasana membuat orang melakukan apa saja. Film Jepang klasik Throne of Blood (1961) yang mengadaptasi drama epik Macbeth (1606) karya Shakespeare dengan ciamik menggambarkan apa yang terjadi jika ambisi dan gengsi menikah. Pertumpahan darah. Saya membaca karya dramawan legendaris ini ketika kuliah di Fakultas Sastra Inggris.

Macbeth dan sahabat karibnya Banquo bertemu dengan penyihir yang meramalkan bahwa dia akan menjadi raja, dan sahabatnya --meskipun tidak menjadi orang nomor satu-- akan mempunyai keturunan yang menjadi raja. Ambisi yang disirami ramalan yang melambungkan ego membuatnya lupa diri. Bersama istrinya Lady Macbeth, dia merencanakan pembunuhan terhadap Raja Duncan I yang berkunjung ke rumahnya.

Begitu berhasil duduk di atas taktha, Macbeth —seperti penguasa zaman sekarang— mencoba mempertahakannya mati-matian; meminjam bahasa iklan sebuah kursi, "sudah duduk lupa berdiri". Dengan teori Machivelli —the end justifies the means— Macbeth betul-betul menghalalkan segala cara agar tetap bertaktha.

Karena khawatir sahabatnya membocorkan rahasia pertemuan mereka dengan tukang sihir, dia membunuh Banquo. Orang yang tangannya berlumuran darah, hidupnya sulit berserah. Dia justru tertimpa insomnia parah. Rasa bersalah yang berkelindan dengan rasa takut ketahuan membuatnya salah tingkah, dan ini tentu menimbulkan kecurigaan. Jenderal Macduff mencium bau busuk yang menguar dari perilaku penguasa baru itu. Malcolm dan Donalbain, kedua anak Duncan, yang sama-sama mencium bau busuk yang menguar dari aura Macbeth, diajaknya bergabung untuk mulai melakukan penyelidikan.

Orang yang ketakutan selalu mencari petunjuk kepada pihak lain yang dianggap bisa memberinya 'peta masa depan'. Macbeth kembali menemui tiga tukang sihir yang dulu pernah meramalkannya menjadi raja. Ada dua ramalam yang diberikan kepadanya. Pertama, Macbeth akan tetap berkuasa sampai "hutan Great Birnam datang ke bukit Dunsinane". Kedua, dia tidak akan dibunuh oleh manusia yang lahir dari rahim seorang perempuan.

Dua nubuat yang sulit dipenuhi itu membuatnya arogan. Mana bisa hutan datang ke bukit di istananya? Mana ada orang yang tidak dilahirkan seorang perempuan?

Keangkuhan adalah awal kejatuhan. Orang yang pongah tidak lagi tahu apa artinya jengah. Kesombongan membuat nalarnya menguar keluar. Kebenaran, pada akhirnya, memang menunjukkan kedigdayaannya. Malcolm dan Macdoff menyerbu ke Inggris untuk menggulingkan kekuasaan Macbeth. Mereka mengirim tentara yang berkamuflase dengan daun pepohonan dari hutan Great Birnam. Setelah berhasil merangsek masuk ke puri Macbeth, Macduff mendesak Macbeth untuk duel satu lawan satu yang dihadapi Macbeth dengan seringaian penuh arti. "Mana bisa dia membunuhku jika dia dilahirkan dari seorang perempuan!" begitu mungkin pikirnya dalam hati.

Macbeth terbunuh. Kok bisa? Macduff ternyata tidak dilahirkan, melainkan dikeluarkan dari rahim ibunya lewat operasi caesar. Macduff bukan seorang yang ambisius seperti lawannya. Setelah berhasil memotong kepala Macbeth, dia menyerahkan takhta kerajaan kepada Malcom. Utang darah terbayar sudah.

Apakah Robert Gabriel Mugabe akan berhasil lolos dari kudeta militer seperti yang dulu pernah dilakukannya juga? Apakah Hun Sen akan bisa mempertahankan kekuasaannya sampai urat ingin bertaktanya putus? Apakah orang-orang yang merugikan triliunan uang negara akan tetap tak tersentuh karena punya peramal dan prajurit yang terus membelanya? Jangan bertanya kepada rumput yang bergoyang, tetapi kepada Dia yang bukan saja sanggup menggoyang rumput, melainkan bumi beserta isinya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar