Takhta
yang Bergoyang
Xavier Quentin Pranata ; Penikmat Sastra yang kurang suka
'drama' dan 'sandiwara'
|
DETIKNEWS,
21 November
2017
Saat berada di sebuah taman
nasional di Kanada, saya dan keluarga berfoto di sebuah pohon raksasa yang
disambar petir. Mengapa pohon itu tidak tumbang meskipun puncaknya gosong dan
dalamnya berlubang? Soalnya pengelola memasang konstruksi baja di dalamnya untuk
mempertahakannya agar tetap berdiri. Mengapa pula pohon yang sudah disambar
petir tetap dipertahankan berdiri? Untuk monumen dan —tentu saja— mendulang
dolar dari kunjungan turis. Manusia memang cenderung mempertahankan kekuasaan
(baca: takhta) tidak peduli apakah 'kursi singanya' sudah goyah dan memanas?
Saat menemani anak ke sekolah,
di dalam mobil saya membaca judul berita koran terbaru. Di halaman depan
terpampang foto Setya Novanto yang terbaring di rumah sakit karena diduga
mengalami gegar otak. Sebelumnya, drama pemanggilan paksa Ketua DPR itu di
rumahnya sungguh meramaikan jagat berita Tanah Air. Di halaman internasional,
Robert Mugabe menolak lengser meskipun militer, gereja, dan masyarakat sipil
memintanya untuk lengser. Saya jadi ingat peristiwa yang mirip dengan itu
sekian tahun yang lalu di Tanah Air tercinta ini saat gedung MPR-DPR dikepung
mahasiswa yang meminta presiden mundur dari jabatannya.
Di bawah tulisan diktator
Zimbabwe itu ada berita tentang Hun Sen --Perdana Menteri Kamboja-- yang
memakai berbagai cara untuk melanggengkan takhtanya yang sudah berlangsung
tiga puluh tahun. Jika berhasil menang pada pemilu mendatang, dia bisa
mengugguli Soeharto yang pernah menjabat selama 32 tahun. Sementara itu, di
Kerajaan Arab Saudi muncul bintang baru, yaitu Putra Mahkota Mohammed bin
Salman (MBS) yang menggemparkan dunia karena aksi bersih-bersih yang dia
lakukan.
MBS melakukan penangkapan
tokoh-tokoh penting di Arab Saudi yang diduga melakukan korupsi
besar-besaran. Meskipun tindakannya ini mendulang simpati di kalangan anak
muda, kalangan konservatif khawatir karena mereka menduga ada maksud lain,
yaitu untuk menyingkirkan orang-orang yang berpotensi untuk menggoyang
kedudukannya. Sekali lagi hal ini bicara tentang takhta.
Singgasana, kata lain dari
takhta, berasal dari bahasa Sansekerta sinhasana yang artinya tempat duduk
singa. Singa dalam kebudayaan Budha dan Hindu memang menyiratkan arti
keagungan dan kebesaran. Kita mengenal singa sebagai raja rimba. Siapa yang
menyangkal kedahsyatan yang ditimbulkan singa, bahkan oleh aumannya saja?
Ketika menginap di sebuah taman safari, saat malam hari, saya dibangunkan
oleh auman singa yang menggetarkan dada. Seorang sahabat yang ikut safari ke
Afrika dengan jeep terbuka merasakan betul kedahsyatannya. "Aumannya
begitu mendebarkan," ujar penggemar fotografi alam liar itu.
Apakah penguasa zaman kini
menunjukkan kharisma semacam itu? Menurut saya tidak. Mereka justru
di-"bully" di mana-mana. Figurnya dijadikan meme. Meskipun begitu,
conspiracy theory berkata sebaliknya. Karena nampak alim dan santun, mereka
justru berbahaya karena kepanjangan tangan mereka ada di mana-mana.
Orang-orang yang hendak mengusik singgasananya bahkan merasakan hal-hal yang
tidak mengenakkan seperti disiram air keras, bahkan bisa dibuat 'bunuh diri'
meskipun berada jauh di Amerika sana. Benarkah teori itu? Siapa yang bisa
melakukan cek dan ricek?
Ambisi untuk merebut takhta dan
gengsi untuk mempertahankan singgasana membuat orang melakukan apa saja. Film
Jepang klasik Throne of Blood (1961) yang mengadaptasi drama epik Macbeth
(1606) karya Shakespeare dengan ciamik menggambarkan apa yang terjadi jika
ambisi dan gengsi menikah. Pertumpahan darah. Saya membaca karya dramawan
legendaris ini ketika kuliah di Fakultas Sastra Inggris.
Macbeth dan sahabat karibnya
Banquo bertemu dengan penyihir yang meramalkan bahwa dia akan menjadi raja,
dan sahabatnya --meskipun tidak menjadi orang nomor satu-- akan mempunyai
keturunan yang menjadi raja. Ambisi yang disirami ramalan yang melambungkan
ego membuatnya lupa diri. Bersama istrinya Lady Macbeth, dia merencanakan
pembunuhan terhadap Raja Duncan I yang berkunjung ke rumahnya.
Begitu berhasil duduk di atas
taktha, Macbeth —seperti penguasa zaman sekarang— mencoba mempertahakannya mati-matian;
meminjam bahasa iklan sebuah kursi, "sudah duduk lupa berdiri".
Dengan teori Machivelli —the end justifies the means— Macbeth betul-betul
menghalalkan segala cara agar tetap bertaktha.
Karena khawatir sahabatnya
membocorkan rahasia pertemuan mereka dengan tukang sihir, dia membunuh
Banquo. Orang yang tangannya berlumuran darah, hidupnya sulit berserah. Dia
justru tertimpa insomnia parah. Rasa bersalah yang berkelindan dengan rasa
takut ketahuan membuatnya salah tingkah, dan ini tentu menimbulkan
kecurigaan. Jenderal Macduff mencium bau busuk yang menguar dari perilaku
penguasa baru itu. Malcolm dan Donalbain, kedua anak Duncan, yang sama-sama
mencium bau busuk yang menguar dari aura Macbeth, diajaknya bergabung untuk
mulai melakukan penyelidikan.
Orang yang ketakutan selalu
mencari petunjuk kepada pihak lain yang dianggap bisa memberinya 'peta masa
depan'. Macbeth kembali menemui tiga tukang sihir yang dulu pernah
meramalkannya menjadi raja. Ada dua ramalam yang diberikan kepadanya.
Pertama, Macbeth akan tetap berkuasa sampai "hutan Great Birnam datang
ke bukit Dunsinane". Kedua, dia tidak akan dibunuh oleh manusia yang
lahir dari rahim seorang perempuan.
Dua nubuat yang sulit dipenuhi
itu membuatnya arogan. Mana bisa hutan datang ke bukit di istananya? Mana ada
orang yang tidak dilahirkan seorang perempuan?
Keangkuhan adalah awal
kejatuhan. Orang yang pongah tidak lagi tahu apa artinya jengah. Kesombongan
membuat nalarnya menguar keluar. Kebenaran, pada akhirnya, memang menunjukkan
kedigdayaannya. Malcolm dan Macdoff menyerbu ke Inggris untuk menggulingkan
kekuasaan Macbeth. Mereka mengirim tentara yang berkamuflase dengan daun
pepohonan dari hutan Great Birnam. Setelah berhasil merangsek masuk ke puri
Macbeth, Macduff mendesak Macbeth untuk duel satu lawan satu yang dihadapi
Macbeth dengan seringaian penuh arti. "Mana bisa dia membunuhku jika dia
dilahirkan dari seorang perempuan!" begitu mungkin pikirnya dalam hati.
Macbeth terbunuh. Kok bisa?
Macduff ternyata tidak dilahirkan, melainkan dikeluarkan dari rahim ibunya
lewat operasi caesar. Macduff bukan seorang yang ambisius seperti lawannya.
Setelah berhasil memotong kepala Macbeth, dia menyerahkan takhta kerajaan
kepada Malcom. Utang darah terbayar sudah.
Apakah Robert Gabriel Mugabe
akan berhasil lolos dari kudeta militer seperti yang dulu pernah dilakukannya
juga? Apakah Hun Sen akan bisa mempertahankan kekuasaannya sampai urat ingin
bertaktanya putus? Apakah orang-orang yang merugikan triliunan uang negara
akan tetap tak tersentuh karena punya peramal dan prajurit yang terus
membelanya? Jangan bertanya kepada rumput yang bergoyang, tetapi kepada Dia
yang bukan saja sanggup menggoyang rumput, melainkan bumi beserta isinya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar