Agama
dan Kewarganegaraan Tidak Bertentangan
Lukman Hakim Saifuddin ; Menteri Agama Republik Indonesia
|
KORAN
SINDO, 22 November 2017
Dalam beberapa hari terakhir
ini muncul diskursus yang mempertentangkan agama dan kewarganegaraan. Argumen
yang dimunculkan adalah dalam agama Islam tidak dikenal nasionalisme dan
kewarganegaraan.
Dan, Nabi Muhammad sekalipun
tidak pernah memberikan sabda dan fatwa seputar nasionalisme dan citizenship
. Benarkah demikian? Tampaknya asumsi
tersebut perlu ditinjau ulang.
Pada dasarnya kewarganegaraan
muncul dari loyalitas atas dasar kesamaan tempat tinggal, tanah air tempat
seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Lebih dari itu, cinta dan loyal kepada
tanah air merupakan fitrah kemanusiaan yang diakui dan diapresiasi oleh agama
mana pun.
Dalam tradisi kaum santri
terdapat ungkapan sangat populer hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Meski
itu bukan Hadits, makna dan substansinya sejalan dan sangat dianjurkan oleh
agama (masyru').
Anjuran ini sangat populer
digunakan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mengobarkan semangat santri dan
masyarakat berjuang melawan penjajah Belanda.
Tanah air adalah tempat warga
bangsa menjalankan ajaran agama. Membela dan mempertahankan tanah air adalah
bagian dari upaya menegakkan agama.
Bahkan ibadah mahdhah pun semisal salat dan haji menjadi tidak
wajib ketika keadaan (negara) sedang dalam kondisi tidak aman. Dengan kata
lain, membela tanah air dan menjaga keutuhannya merupakan kewajiban agama.
Dalam Kaidah Fikih disebutkan:
ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib,
yaitu suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpa ada faktor pendukung,
maka faktor pendukung itu sifatnya menjadi wajib.
Praktisnya, bagaimana
masyarakat dapat menjalankan ajaran agama dengan baik jika negara
tercabik-cabik, hancur porak-poranda, dan selalu dalam kondisi tidak aman.
Karena itu, setiap umat beragama yang diikat dalam kesamaan warga negara
berkewajiban menciptakan suasana damai dan harmoni di tengah keragaman yang
ada.
Lebih dari itu, dalam kajian
Maqashidus Syariah, ajaran Islam datang untuk melindungi hak-hak kemanusiaan
antara lain agama (hifzhu al-din ) dan jiwa (hifzh u al-nafs ).
Kesepakatan sebagai bangsa dan
warga negara untuk hidup aman dan damai, sehingga terhindar dari perpecahan
dan peperangan antarwarga, harus dijunjung tinggi agar kehidupan beragama
dapat senantiasa terjaga rukun dan harmoni.
Hal ini menjadi tantangan bagi
seluruh kalangan terutama para agamawan, cendekiawan, dan intelektual muslim
untuk terus mengkaji formula yang terbaik dalam mendudukkan agama, identitas,
dan kewarganegaraan pada posisi yang tepat, tidak harus vis-a-vis, dengan
tetap mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan seperti yang dilakukan
para pendahulu bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, diskusi ini
menjadi relevan di tengah potensi munculnya berbagai konflik politik di
banyak wilayah yang dipicu oleh keragaman identitas; agama, etnik, budaya,
dan sebagainya dalam masyarakat. Tidak jarang konflik tersebut berujung pada
kekerasan etnik atau kekerasan atas nama agama.
Diskursus mengenai relasi
antarumat beragama pernah dan akan terus menjadi perdebatan, terutama di
kalangan akademisi dan pengamat hubungan internasional.
Samuel Huntington (1993) pernah
mencoba mengemukakan statement
provokatif dengan tesisnya bahwa Islam akan menjadi kompetitor Barat
setelah Uni Soviet runtuh dan perang dingin berakhir.
Berbeda dengan Huntington,
Bernard Lewis (1993) lebih memilih menggunakan istilah Islam and the
West untuk mendudukkan posisi antara
Islam dan dunia Barat secara egaliter karena sebenarnya memiliki akar sejarah
yang sama, terutama secara filosofis, yaitu filsafat Yunani.
Demikian juga dengan Richard
Bulliet (2005) yang memperkenalkan istilah Islamo-Cristian Civilization untuk
menjembatani bahwa Islam dan Barat (atau Kristen) pada masa lalu memiliki
peradaban yang sama (shared civilization ).
Salah satu sejarawan juga
menulis bahwa Nabi Muhammad begitu rindu pada tanah kelahirannya, Mekkah,
saat mereka harus berhijrah ke Madinah karena Mekkah sudah tidak lagi
memberikan kenyamanan dan keamanan untuk melaksanakan ajaran agama. Bukankah
itu menunjukkan bahwa Nabi juga memiliki nasionalisme?
Dalam konteks yang lebih luas
lagi, sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pada zaman Nabi Muhammad
pernah dikenal adanya agreement yang
disebut dengan Piagam Madinah (Medina Charter) yang secara jelas mengakui
hak-hak kewarganegaraan bagi seluruh komponen masyarakat Madinah, terlepas
dari perbedaan agama, suku, dan ras yang ada saat itu.
Dengan tegas dinyatakan dalam
piagam itu, "anna al- y ahud a
ummah, wa al- muslimin a ummah " (orang Yahudi dan Islam adalah
umat dalam ikatan identitas agama masing-masing), tetapi pada saat yang sama,
"anna al- muslimina wa al- yahuda ummah" (kaum Islam dan
Yahudi adalah satu umat yang diikat oleh kesamaan sebagai warga
negara).
Montgomerry Watt (1961)
menyatakan bahwa Piagam Madinah merupakan"first ever written constitution
in the world", konstitusi
tertulis yang pertama di dunia, bukan piagam Magna Charta sebagaimana diakui
beberapa cendekiawan. Prinsipnya jelas, sebagaimana dikemukakan Rasulullah,
"lahum mâ lanâ wa `alayhim mâ `alayna " (mereka memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan kita).
Hal ini juga, masih menurut
Watt, yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad bukan hanya pemimpin agama, namun
juga negarawan (statesman ). Dalam berbagai perspektif mengenai teori
kewarganegaraan (misalnya Michael Lister, 2008) salah satu poin kuncinya
adalah ada persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara tanpa
memandang latar belakang agama, ras, suku, dan etnisitas.
Dan, tidak dikenal ada
minoritas dan mayoritas. Tidak ada yang membedakan antara individu sebagai
bagian dari kelompok mayoritas atau minoritas dalam hal hak dan kewajiban.
Dalam konteks Indonesia, konsep
hampir serupa dibuat para pendiri bangsa yang terdiri atas berbagai komponen
masyarakat ini. Mereka bersepakat menetapkan Pancasila sebagai dasar dalam
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dengan prinsip "Bhinneka
Tunggal Ika", dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila diakui sebagai wujud
nyata pengakuan akan realitas keragaman suku, agama, ras, dan etnis yang ada
di negeri ini. Termasuk dengan dihilangkannya tujuh kata "dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi bukti konkret bahwa persatuan seluruh
warga negara telah dijunjung tinggi di atas kepentingan golongan atau
kelompok tertentu.
Inilah yang kemudian menginspirasi kita
bahwa kewarganegaraan bukan sesuatu yang bertentangan dengan agama.
Sebaliknya, justru kewarganegaraan perlu diperjuangkan demi terlaksananya
ibadah mahdhah sekaligus ibadah sosial
bagi para pemeluk berbagai agama.
Terakhir, bagi kita yang
meyakini sebagai pemeluk Islam, satu hal harus selalu ingat bahwa kita adalah
orang Indonesia yang beragama Islam, bukan umat Islam yang ada di Indonesia.
Dengan begitu, kita sebagai
warga negara akan senantiasa melihat Indonesia sebagai sebuah entitas yang
plural dari sisi agama, ras, suku, etnisitas, dan lain-lain sehingga semangat
persatuan akan selalu dijunjung tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar