Ketika
Nilai-Nilai Agama Termarginalkan
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 November 2017
BAGAIMANA jadinya sebuah
masyarakat religius jika nilai dan norma ajaran agamanya mengalami
marginalisasi? Semua nilai agama sudah terabaikan. Nasihat-nasihatnya hanya
dijadikan pemanis kata-kata dalam sebuah kampanye. Masih mampukah mereka
terus menjadi diri sendiri atau mereka mengalami alienasi, disorientasi,
hipokrit, atau bekerja di bawah standar? Jawaban ini semuanya terpulang
kepada setiap individu. Jawaban ini juga sekaligus menjadi ukuran kadar
keberagamaan kita.
Pengabaian dan marginalisasi
nilai-nilai dan norma ajaran agama tidak mesti diartikan lantaran pemerintah
tidak mengakomodasi pertimbangan agama di dalam membuat dan menerapkan
kebijakan. Akan tetapi, bisa juga karena arus kuat modernisme yang melanda
umat manusia secara universal. Modernisme kini sudah seperti stateless
values, sebuah tata nilai yang bebas negara.
Modernisme memiliki kemampuan
untuk menembus batas-batas geografis bangsa dan negara, merasuk ke dalam
lapis-lapis budaya, dan menerobos sekat-sekat agama dan kepercayaan. Tentu
kelak yang bermasalah bukan hanya nilai-nilai agamanya, orang-orang yang
selama ini berpegang teguh terhadap nilai-nilai tersebut juga akan
bermasalah.
Lebih parah lagi jika ada
kesengajaan negara untuk mereduksi atau melakukan disfungsionalisasi ajaran
agama di dalam masyarakat, seperti yang pernah terjadi di sejumlah negara
sekuler.
Kemal Ataturk ketika menjadi
penguasa Turki yang berpenduduk 97% muslim pernah melarang warganya untuk
menggunakan simbol-simbol Arab di negerinya, seperti atribut pakaian,
termasuk penggunaan azan di masjid-masjid dengan bahasa Arab. Masyarakatnya
dipaksa menjadi modern dan sekuler. Namun, apa jadinya? Bukannya mengantar
Turki menjadi lebih baik dan lebih bermartabat, bahkan turki yang pernah
menjadi pusat kerajaan Otoman/Usmani terjun bebas ke bawah ditinggalkan
sejumlah bangsa dan negara yang pernah menjadi protektoratnya. Beberapa
negara lain juga bisa dijadikan contoh dalam hal ini.
Pengabaian dan marginalisasi
ajaran agama oleh negara yang diwakili pemerintah di dalam masyarakat
religius, selain akan melahirkan deprivasi politik, berpotensi melahirkan
ketegangan horizontal sesama warga bangsa. Apalagi jika marginalisasi itu
dirasakan kaum mayoritas, itu akan dimaknai dengan berbagai makna yang
tendensius, di antaranya mereka akan membaca pertumbuhan ekonomi tidak berbanding
lurus dengan deret ukur populasi agama mayoritas tersebut.
Persis seperti ini yang pernah
diingatkan Gus Dur bahwa hati-hati jika pertumbuhan ekonomi itu hanya
dirasakan kelompok agama tertentu dan tidak ikut dirasakan penganut agama
mayoritas, itu berpeluang menjadi potensi konflik baru di masa depan. Kita
tidak bisa memprediksi seperti apa jadinya bangsa ini ke depan jika
nilai-nilai agama, khususnya Islam, tidak lagi mampu menjadi wadah perekat
(melting pot).
Memang religiositas masyarakat
Indonesia tidak perlu diragukan. Secara konsepsional juga penempatan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila menjadi bukti
kuat akan hal ini. Perolehan kemerdekaan yang amat heroik dan historis juga
tak dapat dipisahkan dari kentalnya faktor agama di dalam perjuangan
kemerdekaan bangsa.
Jadi sebaiknya kita konsisten
semua pihak menggunakan bahasa dan spirit agama di dalam mempertahankan dan
membangun bangsa ini. Dengan menggunakan bahasa agama, partisipasi aktif
masyarakat pasti akan terwujud karena mereka yakin membela tanah air adalah
ibadah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar