Kamis, 30 November 2017

Strategi Kebudayaan

Strategi Kebudayaan
Daoed Joesoef ;  Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
                                                    KOMPAS, 30 November 2017



                                                           
Keprihatinan primer dari tulisan ini bukanlah mengenai teori, melainkan kondisi. Masyarakat, sampai tingkat tertentu, adalah arena di mana para pemangku kepentingan berkonflik dan bersaing.

Namun, bukan tak terelakkan dan juga bukan sesuatu yang bisa diterima bagi suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia jika terus-menerus ribut siang dan malam. Walau demikian, begitulah keadaan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sementara lembaga- lembaga publik tidak peduli pada perkembangan motif egoistis dari organisasi kemasyarakatan, terutama partai-partai politik yang tidak kenal fatsun dalam berpolitik.

Adalah satu keharusan kalau kemerdekaan negara-bangsa perlu dibela. Kita sudah membentuk angkatan bersenjata demi pembelaan tersebut. Si vis pacem para bellum. Tidak ada satu pun negara-bangsa yang berupa lokalitas fisik semata-mata. Sebuah hotel adalah sebuah lokalitas fisik. Untuk kelangsungan eksistensinya, ia butuh penghuni (occupants). Negara-bangsa tidak begitu. Demi kelangsungan hidupnya (survival), ia harus memiliki warga negara (citizen), yaitu occupants/penduduk yang sudah menyadari hak dan kewajibannya berkat pendidikan umum. Berarti pemerintah yang demokratis diniscayakan berperan sekaligus sebagai “pelayan” dan “tutor” karena kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu pola pikir (mind-set).

Bela negara

Untuk membela negara-bangsa sampai hari kiamat dibutuhkan warga negara bukan hanya sebatas penduduk. Warga negara memiliki keterikatan-keterlibatan dibanding penduduk yang bersifat lepas. Berhubung bagi warga negara kelangsungan hidup dimulai dari pikiran, di situlah harus dibangun benteng-benteng ketahanan demi kelangsungan hidup negara-bangsa.

Jadi pembela negara-bangsa yang paling efektif dan sangat bisa diandalkan adalah warga negara yang merasa tidak perlu pergi ke mana pun (he/she has nowhere to go). Mereka terpanggil untuk bertahan. Bukan karena dilarang pergi oleh pemerintah/penguasa, tetapi karena sadar bahwa hanya di Indonesia dia merasa di-uwongke, tidak hanya berpeluang lebih kaya (to have more), tetapi lebih-lebih to be more, lebih bermartabat/harga diri.

Mereka diajak bicara mengenai pembangunan di lokasi di mana dia bermukim. Dia dilibatkan dalam setiap usaha yang disusun untuk memajukan hidup dan kehidupan warga lokal. Dia tidak hanya dijadikan “penonton”, tetapi “peserta aktif”. Dia diundang untuk turut bermusyawarah ke arah mufakat. Dia tidak boleh diwakili atau mewakili orang lain.

Ketidakpahamannya mengenai urusan pembangunan bukan alasan untuk absen. Pejabat pemerintah (pusat atau daerah otonom), melalui peran “pelayanan” dan tutorship-nya mengembangkan pemahaman yang mendasari martabatnya sebagai warga negara (citizen).

Kesadaran ini menempa dia menjadi “prajurit patriotik”, bukan “serdadu profesional”. Semua perang gerilya melawan penjajah membuktikan hal ini. Gerilyawan menghayati perang kemerdekaan bukan hanya selaku peperangan bangsa, melainkan perangnya sendiri, demi kedaulatan negara-bangsa. Ini jelas tecermin dalam pertempuran arek-arek Surabaya, perjuangan muda-mudi di “Bandung lautan api” dan serbuan Jenderal Sudirman di Salatiga serta perlawanan rakyat Aceh melawan Belanda pada masa Perang Sabil.

Kebudayaan dan peradaban

Jika demikian, proses pembangunan nasional tidak boleh lagi terfokus pada nilai tambah benda (produk nasional bruto/GNP) melainkan nilai tambah human. Berarti pemerintah melalui peran kepelayanan dan bimbingannya berusaha mengembangkan “kebudayaan manusiawi” (human culture). Budaya manusiawi adalah semua nilai hidup dan kehidupan manusia yang membuatnya meningkat di atas kondisi hewani dan yang memungkinkannya semakin berbeda dengan hidup dan kehidupan hewani.

Kebudayaan adalah sistem nilai yang dihayati oleh suatu bangsa. Kebudayaan Indonesia adalah sistem nilai yang dihayati oleh bangsa Indonesia. Nilai human bukan aturan tetapi iluminasi yang sorotan cahayanya membuat batas antara keadilan dan kesewenang-wenangan, baik dan buruk, betul dan keliru, cara dan tujuan, menjadi begitu jelas hingga tidak tersangkal. Nilai-nilai ini seharusnya tidak ditanggapi sebagai entitas yang abstrak, tetapi lebih berupa ketentuan, ukuran dan norma yang dihayati selaku panduan bagi perilaku manusia.

Maka, strategi kebudayaan berupa membiasakan anak Indonesia sedini mungkin menggali, mengenal, mempelajari, menguasai dan menghayati nilai-nilai yang diakui oleh komunitas berguna bagi kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negara.

Budaya strategis adalah nilai yang solusi persoalannya mempermudah dan memperlancar persoalan-persoalan relevan yang terkait. Bila demikian ia adalah tak lain daripada pendidikan. Ia menjadi bagian konstitutif dari kebudayaan.

Indonesia bisa hidup abadi melalui kultivasi dari dunia fisik di bawah kita dan di sekitar kita serta dunia intelektual dan moral di dalam (diri) kita. Pendidikan adalah pendidikan moral karena pembelajaran yang dilaksanakannya mengondisikan sikap dan perbuatan bangsa dalam suasana yang luas dan penting dari hidup dan kehidupan serta mental yang membuat warga berkarakter.

Sejarawan Arnold Toynbee memberikan judul karyanya yang terkenal “Civilization on Trial”, bukan “Culture on Trial”. Namun, ketika dalam karyanya ini dia membahas sejarah peradaban China, dia jelas menggunakan istilah civilization, baik peradaban maupun budaya.

Kerancuan pengertian ini bisa dijernihkan jika kita menganggap bahwa pada dasarnya “budaya” dan “peradaban” mewakili konsep yang sama. Kebiasaanlah yang kiranya memengaruhi penggunaannya. Dalam banyak hal, jangankan orang awam, para ilmuwan pun tidak membedakan pengertian dari kedua istilah tadi dan memakai kedua-duanya secara bergantian.

Demi memupus kerancuan, para pemikir Jerman pada abad XIX telah mengetengahkan suatu solusi. Menurut mereka, walaupun Kultur (budaya) dan zivilisation (peradaban) sama-sama menggambarkan perkembangan dan kemajuan umat manusia, “budaya” mengacu pada aspek spiritual dari kehidupan human, sementara “peradaban” merujuk pada aspek teknologisnya.

Dengan begitu mereka berkesimpulan bahwa istilah “budaya” meliputi bahasa, ilmu pengetahuan, agama, pendidikan dan keterampilan (arts) sebagai faktor-faktor pengembang pikiran manusia, sedangkan “peradaban” adalah istilah konseptual yang terkait secara integral pada industri, teknologi, ekonomi, dan hukum, yang dibina untuk mengontrol alam agar memenuhi kebutuhan manusia.

Jika demikian, kita bisa saja menulis “Sejarah Kebudayaan Nusantara” di samping “Sejarah Peradaban Nusantara” selama dan sejauh kita membahas aspek-aspek yang berbeda dari kehidupan manusia-manusia di bumi Nusantara ketika itu. Ipso facto dengan pemaparan budaya dan peradaban Majapahit, Sriwijaya, dan lain-lain. Jadi, bila kita menerima perbedaan antara istilah budaya dan peradaban, kita anggap masing-masing mewakili pandangan yang berbeda tentang fenomena yang sama, di mana “budaya” berpembawaan deskriptif sementara “peradaban” valuatif. Asal usul linguistik dari kedua istilah ini turut membantu pemahaman kita mengenai maksud kedua istilah tadi.

Budaya atau culture berakar kata sama dengan cultivation. Yang berarti menumbuhkan (growing) atau “pembudidayaan” (cultivation). Sementara istilah civilization berasal dari kata civic dan civil, yang berkaitan dengan city (kota) dan citizen (warga kota).

Kota dan warganya menggambarkan tahap pembudidayaan yang maju atau wujud dari keberhasilannya. Makhluk hewan bisa bertahan hidup (survive) dengan mematuhi hukum-hukum alam. Hanya makhluk manusia yang membudidayakan alam. Maka, pembudidayaan atau budaya menggambarkan hubungan yang spesifik antara manusia dan alam.

Menurut pengertian ini, baik manusia primitif maupun manusia modern, sama-sama berorientasi budaya, culture oriented. Perbedaan antara masyarakat primitif dan masyarakat modern hanya dalam karakteristik kebudayaannya masing-masing. Kedua masyarakat tersebut dapat dievaluasi melalui eksistensi dan kualitas dari pembudidayaannya masing-masing.

Jadi, dari sudut pandang ini masyarakat human dapat dibedakan satu dari yang lain. Peradaban adalah suatu pendekatan konsep pembudidayaan, yaitu budaya yang berkembang ke satu tingkat tertentu. Berarti, budaya perlu berkembang atau dengan sadar dikembangkan hingga ke satu tingkat tertentu untuk bisa dikualifikasi sebagai peradaban.

Sejarah budaya

Berhubung sejarah kebudayaan human berkembang dari satu keadaan primitif, sejarah makhluk manusia harus dianggap sebagai sejarah dari budaya dan bukan sejarah dari peradaban. Namun, harus diakui bahwa di satu titik pada tahap peralihan perkembangan, kelihatan menonjol nilai-nilai serupa pada budaya dan peradaban yang bisa dan sudah membingungkan tanggapan pemerhati.

Universitas berpotensi besar menjadi tempat refleksi tentang budaya di zaman kemajuan teknologi modern. Manusia terdidik menciptakan benda/peralatan untuk membuatnya punya lebih banyak waktu berpikir/meneliti. Let the machines do what they can do and let us do what they cannot do, i.e genuine thinking.

Namun, kita semua tahu betapa kacaunya keadaan pendidikan nasional kita sebagai keseluruhan, tak terkecuali lembaga pendidikan tinggi. Mereka sendiri masih memerlukan aneka pembenahan normatif, relevan, keilmuan dan teknologis untuk bisa diandalkan. Jika kemelut akademis ini tidak segera diatasi, kita pasti akan mengalami krisis akademis dan kekacauan intelektual. Maka tanggung jawab pelaksanaan seluruh jenjang pendidikan perlu dikembalikan ke bawah satu atap, menjadi tanggung jawab hanya seorang menteri, yaitu menteri pendidikan dan kebudayaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar