Optimasi
Belanja Daerah
Ronny P Sasmita ; Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct
|
REPUBLIKA,
27 November
2017
Tahun lalu, Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) menemukan ada sekitar
400 daerah yang dalam penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan kerja
sepanjang 2016 terbilang amburadul yang kemudian berujung pada pemborosan
anggaran. Tidak efektifnya penggunaan anggaran tersebut juga tercermin dari
banyaknya kabupaten/kota yang porsi anggaran untuk belanja pegawai lebih dari
separuh total belanja daerah.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan,
ada 131 kabupaten/kota yang porsi belanja pegawainya melebihi 50 persen total
APBD. Bahkan malah ada yang mendekati 70 persen anggaran belanja habis hanya
untuk belanja pegawai. Dengan kata lain, anggaran untuk membangun daerah
terus tergencet dan mengecil. Tentu kenyataan yang seperti ini menjadi
sesuatu yang ironis. APBD yang seharusnya dijadikan jangkar ekonomi daerah
malah didorong untuk pengeluaran rutin pegawai pemerintah.
Fungsi APBD sebagai stimulan yang
diharapkan akan menggerakkan ekonomi daerah ternyata tak berjalan efektif.
Jadi, jangan heran kalau di berbagai daerah, pembangunan terbengkalai, atau
infrastruktur dibiarkan rusak alih-alih diperbaiki. Karena memang faktanya
bujet belanja nonpegawai sangatlah kecil. Jadi, saya kira, jika daerah ingin
terus bergerak maju membangkitkan potensi-potensi yang ada, celah besar semacam
ini harus segera ditambal dan dicarikan solusinya. Tak boleh dibiarkan.
Harus ada disinsentif yang tegas dan keras
bagi daerah yang boros membelanjakan anggaran untuk keperluan rutin. Jangan
sampai dana transfer ke daerah yang saban tahun membesar justru akhirnya
mubazir dan tak membekas di daerah. Apalagi, dari data mutakhir terlihat
bahwa APBD lebih cenderung diendapkan di bank daerah ketimbang dicarikan
celah untuk dibelanjakan agar bisa menjadi stimulan perekonomian lokal.
Buruknya pengelolaan APBD tersebut
tercermin dari besarnya dana APBD yang mengendap di bank pembangunan daerah
(BPD). Lihat saja, per September 2017, dana APBD di BPD mencapai Rp 227
triliun, naik 9,6 persen dibandingkan periode sama 2016 sebesar Rp 206,75
triliun atau meningkat 7,3 persen dari Agustus 2017 senilai Rp 211,3 triliun.
Daerah dengan persentase tertinggi APBD
parkir di BPD saat ini adalah Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten) 38
persen, Kabupaten Jember (Jawa Timur) 36 persen, Kota Tangerang (Banten) 32
persen, dan Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur) 31 persen.
Sedangkan daerah dengan persentase
penyerapan APBD tertinggi, yaitu Kota Pariaman (Sumatra Barat) 87 persen,
Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat) 76 persen, Kabupaten Garut (Jawa Barat) 65
persen, Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan) 62 persen, dan Kabupaten Ciamis
(Jawa Barat) 60,6 persen.
Celakanya, berdasarkan kebiasaan, dana-dana
APBD yang kini tersimpan di BPD akan ludes atau setidak-tidaknya menyusut
tajam, dalam tiga bulan ke depan. Jangan heran bila menjelang akhir tahun, di
daerah tiba-tiba marak dijumpai pembangunan fisik, dari yang sifatnya
remeh-temeh, seperti menambal jalan dan memperbaiki saluran, sampai
pembangunan infrastruktur besar, seperti jembatan, waduk, dan jaringan
irigasi.
Tradisi kejar tayang anggaran semacam ini
membuat belanja daerah menjadi kurang terukur, bahkan malah berpotensi
menjadi asal-asalan, alias asal belanja, asal anggaran habis pada akhir
tahun. Oleh karena itu, tradisi semacam ini harus dibongkar dan direformasi.
Bahkan jika perlu, kepala daerah yang
menumpuk belanja APBD pada akhir tahun perlu diperingatkan, diberi cap kurang
kreatif, dan kurang pro terhadap pembangunan daerah, tidak produktif, tidak
disiplin, tidak punya perencanaan yang matang, dan tidak punya visi
pembangunan yang berkesinambungan.
Saya kira, kepala daerah yang melanggengkan
tradisi kejar tayang anggaran tentu sudah menyalahi tata kelola yang baik di
pemerintahan. Bukan karena menabrak pilar-pilar good governance, seperti
akuntabilitas, tanggung jawab, dan kewajaran, tapi tradisi kejar tayang
sangat rawan menghasilkan proyek pembangunan yang asal-asalan, menyimpang
dari program, dan membuka celah bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).
Buruknya pengelolaan APBD sangat berpengaruh
terhadap pembangunan daerah. Mengapa? Karena pengeluaran pemerintah daerah
adalah salah satu variabel pembentuk produk domestik bruto (PDB) daerah,
bersama dengan konsumsi masyarakat, investasi, dan net-ekspor (ekspor
dikurangi impor).
Dengan perkataan lain, kebijakan
pengeluaran pemerintah daerah merupakan bagian dari kebijakan fiskal daerah
sebagai salah satu wujud intervensi ke dalam perekonomian untuk mengatasi
kegagalan pasar di daerah. Intervensi pemerintah (daerah), yang dikenal
dengan kebijakan fiskal, salah satunya dilakukan melalui kebijakan
pengeluaran/belanja pemerintah.
Nah, sayangnya terdapat bentuk hubungan
negatif yang terjadi di Indonesia dan di pemerintah-pemerintah daerah
Indonesia, antara peningkatan (anggaran belanja) dengan kemiskinan dan
pengangguran. Dalam cara pandang Keynesian, para penganut teorinya cenderung
mendasari pemikiran bahwa variabel pemerintah (khususnya anggaran) dianggap
sebagai salah satu variabel penggerak pertumbuhan ekonomi di suatu negara.
Dan nantinya hal tersebut diharapkan akan menciptakan efek berantai pada hal
sektor-sektor ekonomi lainnya.
Multiplier effect pengeluaran pemerintah
tersebut akan semakin besar jika asumsi bahwa belanja pemerintah digunakan
untuk kegiatan produktif. Dan, saya cukup percaya bahwa belanja pemerintah
daerah yang produktif akan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi tersendiri,
terutama untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran.
Dengan asumsi itu, saya pun percaya bahwa
jika pemerintah daerah lebih memilih diam dengan konfigurasi anggaran yang
berat sebelah (lebih banyak dialokasikan untuk belanja pegawai/rutin), atau
lebih senang mengendapkan dana di bank daerah sampai mepet ke akhir tahun,
maka pemerintah daerah tersebut secara tidak langsung mengabaikan pentingnya
pertumbuhan ekonomi daerah, yang seharusnya bisa dijadikan instrument untuk
mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Misalnya, masalah penganguran. Pengangguran
bisa terjadi karena di satu sisi terdapat angkatan kerja yang lebih besar
dibandingkan kesempatan kerja yang bisa diciptakan oleh dinamika ekonomi
daerah. Dan di sisi lain, pengangguran juga bisa disebabkan oleh kurangnya
keterampilan yang dimiliki oleh pencari kerja.
Sekalipun secara teoritis ada juga
bentuk-bentuk pengangguran yang disebabkan oleh masalah frictional yang
dikenal dengan sebutan pengangguran nonsukarela. Namun, poin pokoknya, jika
pemerintah daerah tidak mampu mendorong perekonomian daerah untuk berekspansi
dan menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak, pengangguran akan terus
bertambah di daerah tersebut.
Angka pengangguran yang terus memburuk
tentu akan berdampak negatif kepada kegiatan perekonomian daerah. Mengapa?
Karena masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang mampu
dicapainya. Sehingga, secara agregat, pengangguran akan menyebabkan
pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat menjadi lebih rendah
dibandingkan pendapatan potensial (pendapatan yang seharusnya).
Akibatnya, kemakmuran yang dicapai oleh
masyarakat pun akan lebih rendah. Oleh karena itu, kebijakan fiskal di
tingkat daerah pun harus mengarah kepada belanja produktif yang mampu membuka
keran kesempatan bagi masyarakat untuk berkembang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar