Selasa, 28 November 2017

Optimasi Belanja Daerah

Optimasi Belanja Daerah
Ronny P Sasmita ;  Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct
                                                 REPUBLIKA, 27 November 2017



                                                           
Tahun lalu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) menemukan ada sekitar 400 daerah yang dalam penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan kerja sepanjang 2016 terbilang amburadul yang kemudian berujung pada pemborosan anggaran. Tidak efektifnya penggunaan anggaran tersebut juga tercermin dari banyaknya kabupaten/kota yang porsi anggaran untuk belanja pegawai lebih dari separuh total belanja daerah.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, ada 131 kabupaten/kota yang porsi belanja pegawainya melebihi 50 persen total APBD. Bahkan malah ada yang mendekati 70 persen anggaran belanja habis hanya untuk belanja pegawai. Dengan kata lain, anggaran untuk membangun daerah terus tergencet dan mengecil. Tentu kenyataan yang seperti ini menjadi sesuatu yang ironis. APBD yang seharusnya dijadikan jangkar ekonomi daerah malah didorong untuk pengeluaran rutin pegawai pemerintah.

Fungsi APBD sebagai stimulan yang diharapkan akan menggerakkan ekonomi daerah ternyata tak berjalan efektif. Jadi, jangan heran kalau di berbagai daerah, pembangunan terbengkalai, atau infrastruktur dibiarkan rusak alih-alih diperbaiki. Karena memang faktanya bujet belanja nonpegawai sangatlah kecil. Jadi, saya kira, jika daerah ingin terus bergerak maju membangkitkan potensi-potensi yang ada, celah besar semacam ini harus segera ditambal dan dicarikan solusinya. Tak boleh dibiarkan.

Harus ada disinsentif yang tegas dan keras bagi daerah yang boros membelanjakan anggaran untuk keperluan rutin. Jangan sampai dana transfer ke daerah yang saban tahun membesar justru akhirnya mubazir dan tak membekas di daerah. Apalagi, dari data mutakhir terlihat bahwa APBD lebih cenderung diendapkan di bank daerah ketimbang dicarikan celah untuk dibelanjakan agar bisa menjadi stimulan perekonomian lokal.

Buruknya pengelolaan APBD tersebut tercermin dari besarnya dana APBD yang mengendap di bank pembangunan daerah (BPD). Lihat saja, per September 2017, dana APBD di BPD mencapai Rp 227 triliun, naik 9,6 persen dibandingkan periode sama 2016 sebesar Rp 206,75 triliun atau meningkat 7,3 persen dari Agustus 2017 senilai Rp 211,3 triliun.

Daerah dengan persentase tertinggi APBD parkir di BPD saat ini adalah Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten) 38 persen, Kabupaten Jember (Jawa Timur) 36 persen, Kota Tangerang (Banten) 32 persen, dan Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur) 31 persen.

Sedangkan daerah dengan persentase penyerapan APBD tertinggi, yaitu Kota Pariaman (Sumatra Barat) 87 persen, Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat) 76 persen, Kabupaten Garut (Jawa Barat) 65 persen, Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan) 62 persen, dan Kabupaten Ciamis (Jawa Barat) 60,6 persen.

Celakanya, berdasarkan kebiasaan, dana-dana APBD yang kini tersimpan di BPD akan ludes atau setidak-tidaknya menyusut tajam, dalam tiga bulan ke depan. Jangan heran bila menjelang akhir tahun, di daerah tiba-tiba marak dijumpai pembangunan fisik, dari yang sifatnya remeh-temeh, seperti menambal jalan dan memperbaiki saluran, sampai pembangunan infrastruktur besar, seperti jembatan, waduk, dan jaringan irigasi.

Tradisi kejar tayang anggaran semacam ini membuat belanja daerah menjadi kurang terukur, bahkan malah berpotensi menjadi asal-asalan, alias asal belanja, asal anggaran habis pada akhir tahun. Oleh karena itu, tradisi semacam ini harus dibongkar dan direformasi.

Bahkan jika perlu, kepala daerah yang menumpuk belanja APBD pada akhir tahun perlu diperingatkan, diberi cap kurang kreatif, dan kurang pro terhadap pembangunan daerah, tidak produktif, tidak disiplin, tidak punya perencanaan yang matang, dan tidak punya visi pembangunan yang berkesinambungan.

Saya kira, kepala daerah yang melanggengkan tradisi kejar tayang anggaran tentu sudah menyalahi tata kelola yang baik di pemerintahan. Bukan karena menabrak pilar-pilar good governance, seperti akuntabilitas, tanggung jawab, dan kewajaran, tapi tradisi kejar tayang sangat rawan menghasilkan proyek pembangunan yang asal-asalan, menyimpang dari program, dan membuka celah bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Buruknya pengelolaan APBD sangat berpengaruh terhadap pembangunan daerah. Mengapa? Karena pengeluaran pemerintah daerah adalah salah satu variabel pembentuk produk domestik bruto (PDB) daerah, bersama dengan konsumsi masyarakat, investasi, dan net-ekspor (ekspor dikurangi impor).

Dengan perkataan lain, kebijakan pengeluaran pemerintah daerah merupakan bagian dari kebijakan fiskal daerah sebagai salah satu wujud intervensi ke dalam perekonomian untuk mengatasi kegagalan pasar di daerah. Intervensi pemerintah (daerah), yang dikenal dengan kebijakan fiskal, salah satunya dilakukan melalui kebijakan pengeluaran/belanja pemerintah.

Nah, sayangnya terdapat bentuk hubungan negatif yang terjadi di Indonesia dan di pemerintah-pemerintah daerah Indonesia, antara peningkatan (anggaran belanja) dengan kemiskinan dan pengangguran. Dalam cara pandang Keynesian, para penganut teorinya cenderung mendasari pemikiran bahwa variabel pemerintah (khususnya anggaran) dianggap sebagai salah satu variabel penggerak pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Dan nantinya hal tersebut diharapkan akan menciptakan efek berantai pada hal sektor-sektor ekonomi lainnya.

Multiplier effect pengeluaran pemerintah tersebut akan semakin besar jika asumsi bahwa belanja pemerintah digunakan untuk kegiatan produktif. Dan, saya cukup percaya bahwa belanja pemerintah daerah yang produktif akan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi tersendiri, terutama untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran.

Dengan asumsi itu, saya pun percaya bahwa jika pemerintah daerah lebih memilih diam dengan konfigurasi anggaran yang berat sebelah (lebih banyak dialokasikan untuk belanja pegawai/rutin), atau lebih senang mengendapkan dana di bank daerah sampai mepet ke akhir tahun, maka pemerintah daerah tersebut secara tidak langsung mengabaikan pentingnya pertumbuhan ekonomi daerah, yang seharusnya bisa dijadikan instrument untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran.

Misalnya, masalah penganguran. Pengangguran bisa terjadi karena di satu sisi terdapat angkatan kerja yang lebih besar dibandingkan kesempatan kerja yang bisa diciptakan oleh dinamika ekonomi daerah. Dan di sisi lain, pengangguran juga bisa disebabkan oleh kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh pencari kerja.

Sekalipun secara teoritis ada juga bentuk-bentuk pengangguran yang disebabkan oleh masalah frictional yang dikenal dengan sebutan pengangguran nonsukarela. Namun, poin pokoknya, jika pemerintah daerah tidak mampu mendorong perekonomian daerah untuk berekspansi dan menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak, pengangguran akan terus bertambah di daerah tersebut.

Angka pengangguran yang terus memburuk tentu akan berdampak negatif kepada kegiatan perekonomian daerah. Mengapa? Karena masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang mampu dicapainya. Sehingga, secara agregat, pengangguran akan menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat menjadi lebih rendah dibandingkan pendapatan potensial (pendapatan yang seharusnya).

Akibatnya, kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah. Oleh karena itu, kebijakan fiskal di tingkat daerah pun harus mengarah kepada belanja produktif yang mampu membuka keran kesempatan bagi masyarakat untuk berkembang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar