Zimbabwe:
Presiden "Rasa Soeharto",
Kudeta
"Rasa Sukarno"
Ilham Dary Athallah ; Asisten Peneliti DPD Institute of International
Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM
|
DETIKNEWS,
23 November
2017
Dalam benak masyarakat
Indonesia, ingatan kudeta paling awal terlintas kala gelombang komunisme
mengguncang. Gelombang tersebut waktu itu tak hanya berhasil ditumpas, tapi
juga tiba-tiba saja secara de facto memindahkan kekuasaan puncak negeri ini
ke tangan Mayor Jenderal Soeharto. Yang satu tahun berselang, resmi menjadi
satu-satunya Mandataris MPR hingga 32 tahun kemudian.
Namun sepanjang lintasan
sejarah, Soeharto tak pernah sekalipun mengungkapkan bahwa aksinya adalah
kudeta. Sama persis layaknya dalam pidato Mayor Jenderal Sibusiso Moyo, Rabu
(15/11) pagi lalu di stasiun televisi Pemerintah Zimbabwe.
Padahal, sejak pidato itu
terungkap hingga kini, kendaraan lapis baja masih siaga di tiap-tiap sudut
ibukota Zimbabwe. Termasuk di luar istana negara, tempat Robert Mugabe, sang
Presiden Zimbabwe, menjadi tahanan rumah. Sebuah keadaan yang nyaris serupa
dengan penandatanganan Sukarno atas Supersemar, ketika istana sedang dikepung
pengunjuk rasa sekaligus pasukan liar yang tak teridentifikasi.
Dari situlah, gonjang-ganjing
politik yang berlangsung di Zimbabwe ini boleh dikatakan sebagai kudeta
"rasa Sukarno". Apalagi, kedua sosok yang sama-sama dikudeta ini
beda-beda tipis dari segi ketokohan. Walaupun, ia lebih cocok dipanggil
lengkap sebagai "Soeharto milik Zimbabwe" dari segi
kediktatorannya, namun dengan perjuangan sekaligus pengalaman kudeta yang
serupa dengan Sukarno.
Boleh disebut mirip Sukarno,
karena Mugabe sebelumnya harus rela dipenjara 11 tahun pada era kepemimpinan
kolonial Inggris. Namun, dengan konsistensi gelora semangat dan juga
pemikiran-pemikirannya, ia berhasil menggerakkan seisi negeri untuk menolak
kesewenang-wenangan yang telah dilakukan para penjajah selama sekian tahun
lamanya.
Sehingga ketika menjabat
sebagai Perdana Menteri kala negeri itu merebut kemerdekaannya pada 1980,
hingga tujuh tahun kemudian menjabat sebagai Presiden, namanya menjadi begitu
harum dan dihormati. Bukan di kalangan masyarakat Zimbabwe semata, tapi di
penjuru kawasan Afrika, sebagai sosok pahlawan pembebasan.
Namun alih-alih menggunakan
legitimasi dan dukungan rakyatnya untuk memperjuangkan kedaulatan negeri, di
tangan Mugabe, ketokohan tersebut justru menjerumuskannya menjadi sosok
pemimpin yang flamboyan dan tak tahu diri. Memanfaatkan loyalitas rakyat yang
kemudian dipertahankan dengan tangan besi, ia tak pernah peduli atas
kelaparan yang melanda di penjuru negerinya karena hiperinflasi yang pernah
mencapai 500 miliar persen dalam setahun.
Karena yang penting kala itu bagi
sang presiden adalah tetap digelarnya pesta ulang tahun mewah untuk
memperingati hari jadinya, yang pada Februari lalu menginjak usia ke-93. Dan,
kepentingan yang sentral pula sepanjang karier kepemimpinannya adalah tetap
terjaminnya rezim korup berbasis nepotik antarelit. Guna memastikan
keberadaan Zimbabwe sebagai "shadow state", sekaligus tetap
berlangsungnya aliran kekayaan ke segelintir di antara mereka alih-alih
menghadirkannya sebagai kesejahteraan seluruh khalayak.
Sehingga tak salah dalam suatu
demonstrasi di sekitar 1998, Kota Harare terhanyut dalam hiruk pikuk aktivis
setempat yang menyebut sang kepala negara sama korupnya dengan Soeharto.
Namun sialnya, sikap itu ia landasi dan kokohkan dengan rasa cinta dan respek
yang masih dihaturkan banyak warga Zimbabwe maupun pemimpin lain Afrika atas
dirinya. Lagi-lagi karena perjuangan sang presiden sebagai pahlawan
kemerdekaan.
Dilema tak berhenti disana.
Istri muda yang berjarak 41 tahun usia dengan sang presiden tersebut juga
diproyeksikan sebagai Presiden Zimbabwe selanjutnya. Hal inilah kemudian yang
disebut-sebut, sebagai biang keladi kemarahan militer setempat. Mugabe, dituntut
turun, bukan karena kesewenang-wenangan yang selama ini ia lakukan. Tapi
karena persepsi bahwa ia sedang dikelilingi orang "jahat" termasuk
istrinya, layaknya Soekarno yang sempat dianggap terbuai dan terhipnotis oleh
komunisme. Hanya dengan justifikasi demikianlah, kedua pemimpin yang
sama-sama memiliki ketokohan kuat di hati masyarakat akhirnya mampu
diturunkan.
Namun jika apa yang terjadi
Zimbabwe hari ini kemudian disebut sebagai kudeta ala Soekarno, pertanyaan
lanjutan selayaknya muncul. Haruskah Zimbabwe sekali lagi merasakan
kepemimpinan ala Soeharto, kali ini dengan sebenar-benarnya rasa Soeharto?
Dugaan keterlibatan China dalam
kudeta ini menjadi satu biang kekhawatiran. Satu minggu sebelum kudeta
terjadi, pimpinan militer Zimbabwe berkunjung ke China yang memang memiliki
banyak kepentingan di Zimbabwe. Mulai dari pembangunan infrastruktur, hingga
pemberian hutang maupun bantuan luar negeri di tengah status Yuan sebagai
salah satu mata uang yang diakui dan digunakan oleh Zimbabwe.
Tapi di satu sisi yang lain,
Mantan Presiden Emmerson Mnangagwa yang diprediksi akan menjadi orang nomor
satu selanjutnya di Zimbabwe, juga memiliki catatan sejarah yang tak baik
betul sehingga juga layak dikhawatirkan. Kala memimpin militer dan intelijen,
Mnangagwa dikaitkan dengan pembunuhan massal 20.000-an orang dari etnik
tertentu, yang dikenal vokal kepada pemerintah.
Kombinasikan kediktatoran
tersebut dengan indikasi intervensi China yang punya banyak kepentingan di
negeri tersebut. Jikalau memang benar terwujud --dan gagal membuktikan
"Beijing Consensus" yang mendasari janji-janjinya sebagai model
ekonomi berbasis non-intervensionis-- maka seorang pemimpin yang sekali lagi
bertangan besi namun sekaligus menjadi boneka asing, tak akan jauh dari pandangan
warga Zimbabwe.
Dan lagi-lagi, di tengah
ketiadaan praktik demokrasi maupun aturan hukum yang adil, rakyat setempatlah
yang akan bergelimpangan menjadi korban. Warga Zimbabwe yang kini sedang
terbuai dan menggebu-gebu menuntut kejatuhan sang presiden, wajib belajar
dari apa yang terjadi di negara lain. Tak terkecuali dari Indonesia. Hanya
dengan demikianlah, ia mampu melompati zaman. Membuat dirinya terhindar dari
satu lagi rezim kediktatoran yang kerap menawarkan sebuah orde
"kebaruan", sebelum akhirnya memberikan kesempatan pada suatu
negeri untuk menghadirkan sebenar-benarnya reformasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar