NU
dan Orde Nasional
Hery Haryanto Azumi ; Sekjen PB-MD Hubbul Wathon;
Wasekjen Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU)/Ketua Umum PB PMII 2005-2008
|
REPUBLIKA,
28 November
2017
Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menggelar
Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di
Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 23-25 November 2017 lalu. Salah satu
rekomendasi penting dalam kegiatan terbesar kedua setelah muktamar itu
terkait bidang ekonomi dan kesejahteraan.
Dalam rekomentasi itu, NU mendorong
pemerintah mendukung program ekonomi warga melalui perluasan kesempatan kerja
untuk mengurangi pengangguran dan ketimpangan dengan menciptakan iklim usaha
mikro-menengah-besar yang kondusif. Pasalnya, NU melihat persoalan
ketimpangan telah menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan nasional.
Berdasarkan data World Bank (2015),
misalnya, Indonesia adalah negara peringkat ketiga tertimpang setelah Rusia
dan Thailand. Rasio Gini mencapai 0,39 dan indeks gini penguasaan tanah
mencapai 0,64. Dan satu persen orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan
nasional, 0,1 persen pemilik rekening menguasai 55,7 persen simpanan uang di
bank.
Di sini, kekayaan Indonesia dimonopoli oleh
segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham
perusahaan, ataupun obligasi pemerintah. Tentu sebagai organisasi terbesar
dan terbukti memiliki kiprah tak terbantahkan dalam mengawal republik ini, NU
tidak boleh hanya diam dan menutup mata melihat realitas itu.
Menjelang usianya yang hampir satu abad,
yakni 91 tahun, NU harus mampu melakukan satu langkah nyata di bidang ekonomi
dan kesejahteraan. Dalam hal ini, saya teringat apa yang disampaikan Wakil
Presiden Jusuf Kalla (2015) terkait sejumlah tantangan NU pasca-reformasi.
Pertama, tantangan ideologis, yakni
bagaimana peran NU dalam menjaga Pancasila dari rongrongan ideologi asing.
Kedua, tantangan kemajuan, yakni peran NU dalam konteks memajukan bangsa,
mengubah masyarakat kita yang konsumen menjadi produsen, unggul secara
ekonomi, sejahtera, dan mampu bersaing di kancah global.
Tentu untuk tantangan yang pertama, menurut
hemat saya, peran NU sudah cukup dominan. Namun, belum untuk tantangan kedua.
Secara internal, saya justru melihat adanya kecenderungan dari kelompok muda
NU masih terjebak pada nostalgia sejarah emas masa lalu.
Padahal, selain soal ekonomi dan
kesejahteraan, mengutip Greg Barton (2015), tantangan besar NU mendatang
adalah bagaimana mampu menerjemahkan apa yang disebut Islam sebagai rahmat
bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Artinya, NU yang merupakan organisasi
dengan sumber daya manusia (SDM) berlimpah memiliki tanggung jawab sebagai
primus interpares dalam menjawab tantangan kemajuan (ekonomi dan
kesejahteraan) di satu sisi, dan menerjemahkan Islam sebagai rahmat bagi
semesta alam ke dalam tataran lebih konkret di sisi lain.
Orde nasional
Guna mewujudkan itu, generasi NU mendatang
perlu memprakarsai sebuah tatanan nasional atau orde nasional. Orde nasional
ini merupakan bentuk follow-up terhadap rekomendasi Munas dan Konbes NU.
Dalam hal ini, gagasan Henry Kissinger dalam World Order: Reflections on the
Character of Nations and the Course of History (2014) bisa menjadi inspirasi.
Menurut Kissinger, untuk membangun sebuah
tatanan dunia, setiap individu masyarakat harus memiliki kesadaran sebagai
warga dunia dengan segala perannya masing-masing. Dengan kata lain, untuk
membangun tatanan nasional, setiap masyarakat NU harus punya kesadaran sebagai
warga Indonesia sekaligus warga dunia dengan peran strategis masing-masing di
mana pun mereka berada. Secara perinci, proyeksi tatanan nasional itu dapat
diwujudkan ke dalam dua hal.
Pertama, meneguhkan kembali sikap progresif
NU. Progresif di sini berarti NU harus mampu bergerak maju ke depan, tampil
menjadi pionir dan dinamisator dari setiap perubahan yang ada. Di sini NU
tidak sekadar mengandalkan sumber daya manusia (SDM) dari aspek kuantitas
(jumlah).
Namun, secara kualitas menjadi pelopor
gerakan transformasi perubahan yang sistematis, terencana, aplikatif, dan
implementatif. Ini penting sebagai upaya NU menjawab tantangan kemajuan.
Kedua, mendorong perubahan paradigma warga
NU untuk memiliki tanggung jawab sebagai masyarakat dunia yang berpikir dan
bertindak secara global, tapi tetap berpijak pada tradisi dan kearifan lokal.
Artinya, generasi NU harus mampu menjadikan segala perbedaan dan keragaman
sebagai kekuatan dan energi besar dalam membangun bangsa. Dan pada saat
bersamaan mampu memberi kontribusi praksis bagi peradaban dunia. Ini
merupakan bentuk penerjemahan Islam rahmatan lil ‘alamin.
Karena itu, saya sepakat dengan Rais ‘Aam
PBNU Prof Dr (HC) KH Ma’ruf Amin yang menawarkan modifikasi kaidah
“al-muhafadhah ‘alal qodim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah wal ishlah
ila ma huwal aslah tsummal ashlah fal ashlah” (mempertahankan nilai-nilai
lama yang baik dan bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang terbukti
lebih baik serta berupaya melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik dan
semakin lebih baik lagi).
Penambahan kalimat “wal ishlah ila ma huwal
aslah tsummal ashlah fal ashlah” merupakan satu pesan penting bahwa NU adalah
organisasi yang terus menancapkan semangat perubahan. NU juga organisasi yang
mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan bangsa.
Akhir kata, sudah saatnya NU menjawab
tantangan kemajuan dan mengejawantahkan Islam sebagai rahmat bagi semesta
alam. Mari bersama-sama menjalankan rekomendasi Munas dan Konbes NU! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar