Kamis, 30 November 2017

NU dan Orde Nasional

NU dan Orde Nasional
Hery Haryanto Azumi ;  Sekjen PB-MD Hubbul Wathon;
Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)/Ketua Umum PB PMII 2005-2008
                                                 REPUBLIKA, 28 November 2017



                                                           
Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 23-25 November 2017 lalu. Salah satu rekomendasi penting dalam kegiatan terbesar kedua setelah muktamar itu terkait bidang ekonomi dan kesejahteraan.

Dalam rekomentasi itu, NU mendorong pemerintah mendukung program ekonomi warga melalui perluasan kesempatan kerja untuk mengurangi pengangguran dan ketimpangan dengan menciptakan iklim usaha mikro-menengah-besar yang kondusif. Pasalnya, NU melihat persoalan ketimpangan telah menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan nasional.

Berdasarkan data World Bank (2015), misalnya, Indonesia adalah negara peringkat ketiga tertimpang setelah Rusia dan Thailand. Rasio Gini mencapai 0,39 dan indeks gini penguasaan tanah mencapai 0,64. Dan satu persen orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional, 0,1 persen pemilik rekening menguasai 55,7 persen simpanan uang di bank.

Di sini, kekayaan Indonesia dimonopoli oleh segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan, ataupun obligasi pemerintah. Tentu sebagai organisasi terbesar dan terbukti memiliki kiprah tak terbantahkan dalam mengawal republik ini, NU tidak boleh hanya diam dan menutup mata melihat realitas itu.

Menjelang usianya yang hampir satu abad, yakni 91 tahun, NU harus mampu melakukan satu langkah nyata di bidang ekonomi dan kesejahteraan. Dalam hal ini, saya teringat apa yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (2015) terkait sejumlah tantangan NU pasca-reformasi.

Pertama, tantangan ideologis, yakni bagaimana peran NU dalam menjaga Pancasila dari rongrongan ideologi asing. Kedua, tantangan kemajuan, yakni peran NU dalam konteks memajukan bangsa, mengubah masyarakat kita yang konsumen menjadi produsen, unggul secara ekonomi, sejahtera, dan mampu bersaing di kancah global.

Tentu untuk tantangan yang pertama, menurut hemat saya, peran NU sudah cukup dominan. Namun, belum untuk tantangan kedua. Secara internal, saya justru melihat adanya kecenderungan dari kelompok muda NU masih terjebak pada nostalgia sejarah emas masa lalu.

Padahal, selain soal ekonomi dan kesejahteraan, mengutip Greg Barton (2015), tantangan besar NU mendatang adalah bagaimana mampu menerjemahkan apa yang disebut Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Artinya, NU yang merupakan organisasi dengan sumber daya manusia (SDM) berlimpah memiliki tanggung jawab sebagai primus interpares dalam menjawab tantangan kemajuan (ekonomi dan kesejahteraan) di satu sisi, dan menerjemahkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam ke dalam tataran lebih konkret di sisi lain.

 Orde nasional

Guna mewujudkan itu, generasi NU mendatang perlu memprakarsai sebuah tatanan nasional atau orde nasional. Orde nasional ini merupakan bentuk follow-up terhadap rekomendasi Munas dan Konbes NU. Dalam hal ini, gagasan Henry Kissinger dalam World Order: Reflections on the Character of Nations and the Course of History (2014) bisa menjadi inspirasi.

Menurut Kissinger, untuk membangun sebuah tatanan dunia, setiap individu masyarakat harus memiliki kesadaran sebagai warga dunia dengan segala perannya masing-masing. Dengan kata lain, untuk membangun tatanan nasional, setiap masyarakat NU harus punya kesadaran sebagai warga Indonesia sekaligus warga dunia dengan peran strategis masing-masing di mana pun mereka berada. Secara perinci, proyeksi tatanan nasional itu dapat diwujudkan ke dalam dua hal.

Pertama, meneguhkan kembali sikap progresif NU. Progresif di sini berarti NU harus mampu bergerak maju ke depan, tampil menjadi pionir dan dinamisator dari setiap perubahan yang ada. Di sini NU tidak sekadar mengandalkan sumber daya manusia (SDM) dari aspek kuantitas (jumlah).

Namun, secara kualitas menjadi pelopor gerakan transformasi perubahan yang sistematis, terencana, aplikatif, dan implementatif. Ini penting sebagai upaya NU menjawab tantangan kemajuan.

Kedua, mendorong perubahan paradigma warga NU untuk memiliki tanggung jawab sebagai masyarakat dunia yang berpikir dan bertindak secara global, tapi tetap berpijak pada tradisi dan kearifan lokal. Artinya, generasi NU harus mampu menjadikan segala perbedaan dan keragaman sebagai kekuatan dan energi besar dalam membangun bangsa. Dan pada saat bersamaan mampu memberi kontribusi praksis bagi peradaban dunia. Ini merupakan bentuk penerjemahan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Karena itu, saya sepakat dengan Rais ‘Aam PBNU Prof Dr (HC) KH Ma’ruf Amin yang menawarkan modifikasi kaidah “al-muhafadhah ‘alal qodim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah wal ishlah ila ma huwal aslah tsummal ashlah fal ashlah” (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang terbukti lebih baik serta berupaya melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik dan semakin lebih baik lagi).

Penambahan kalimat “wal ishlah ila ma huwal aslah tsummal ashlah fal ashlah” merupakan satu pesan penting bahwa NU adalah organisasi yang terus menancapkan semangat perubahan. NU juga organisasi yang mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan bangsa.
Akhir kata, sudah saatnya NU menjawab tantangan kemajuan dan mengejawantahkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Mari bersama-sama menjalankan rekomendasi Munas dan Konbes NU! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar