Defisit
Guru Bangsa
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah
dan UMJ
|
MEDIA
INDONESIA, 25 November 2017
SETIAP 25 November diperingati sebagai Hari
Guru Nasional (HGN), bersamaan dengan hari ulang tahun PGRI. HGN dimaknai
dalam rangka memberikan apresiasi terhadap jasa para guru yang luar biasa
besar bagi pencerdasan kehidupan bangsa meskipun guru dipandang sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa.
Menurut Ikhtisar Data Pendidikan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 2016/2017, jumlah guru di RI
dari TK hingga SMA berjumlah 3.128.708 orang.
Data ini belum termasuk ustaz (guru) di 28
ribu lebih pondok pesantren di seluruh Indonesia, majelis taklim, masjid-masjid,
dan sebagainya.
Dengan kata lain, jumlah guru sekolah di
Indonesia, minus dosen dan guru besar (profesor), hanyalah sekitar 1,5% dari
total penduduk Indonesia.
Permasalahan guru dewasa ini sangat
kompleks. Sebagian mereka tidak memiliki kompetensi profesional yang memadai
sehingga di sana sini masih dijumpai guru yang mismatch (mengajar tidak
sesuai dengan bidang keahliannya).
Program sertifikasi guru (sergur) dan
Pendidikan Profesi Guru (PPG) telah digulirkan pemerintah, tetapi hasilnya
belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat.
Guru yang telah mengikuti PLPG (Pendidikan
dan Latihan Profesi Guru) maupun PPG belum berbanding lurus dengan
peningkatan kinerja keguruan mereka.
Bahkan, ada kecenderungan bahwa setelah
meraih sertifikat guru profesional dan memperoleh tunjangan sergur, sebagian
guru memasuki zona nyaman sehingga kinerja dan kreativitasnya malah menurun.
Selain itu, kesejahteraan guru pada umumnya
masih rendah, bahkan tidak sedikit yang berada di bawah upah minimum provinsi
(UMP).
Meski demikian, di atas semua itu,
Indonesia dewasa ini mengalami defisit guru bangsa.
Tidak sedikit pemimpin penyelenggara
pemerintah (dari pusat hingga daerah), pejabat publik, pemimpin parpol, dan
lainnya gagal menjadi guru bangsa, tapi sukses menjadi pengkhianat bangsa
karena integritas moralnya rendah dan tidak layak dijadikan sebagai teladan
yang baik bagi warga bangsa. Defisit guru bangsa itu ditandai dengan maraknya
kasus korupsi yang dilakukan mereka.
Sungguh dahsyat kebobrokan moral sebagian
elite bangsa akibat gagal menjadi guru bangsa.
Nasionalisme dan keberpihakan kepada
kepentingan dan kedaulatan bangsa juga cenderung merosot. Korupsi semakin
mendarah daging.
Mindset sebagian mereka yang seharusnya
menjadi guru bangsa itu cenderung 'aji mumpung': membeli kekuasaan demi
mengeruk kekayaan.
Kekayaan yang diraih dengan 'kolusi
politik' itu lalu digunakan untuk membeli kemewahan dan kekebalan hukum.
Akibatnya, rakyat dan kepentingan bangsa
menjadi korban keserakahan kolusif dan kolektif atas nama demokrasi.
Defisit guru bangsa dewasa ini terjadi
karena beberapa faktor. Pertama, rendahnya komitmen kebangsaan. NKRI harga
mati masih sekadar lips service, belum dibuktikan dengan mengedepankan
kedaulatan bangsa.
'Aku Pancasila' baru sebatas slogan
seremonial yang belum mengaktual menjadi karakter dan kebiasaan positif dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nasionalisme cenderung digadaikan untuk
mengeruk kekayaan dari para pembeli dan 'investor' ekonomi bangsa.
Akibatnya, tujuan didirikannya NKRI
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 cenderung diabaikan, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya.
Kedua, sistem demokrasi dan politik semakin
kapitalistis, transaksional, dan menghalalkan segala cara. Jeffrey Winters
(2011), dari University of Northwestern USA, bahkan menilai RI itu negara
demokrasi tanpa hukum (Indonesia is a democratic state without law).
Karena sistem demokrasi di Indonesia
cenderung mengarah kepada sistem oligarki, hukum yang diharapkan bisa membatasi
dan menjaga pemerintah tidak berfungsi sama sekali.
Efek demokrasi tanpa hukum, lanjut Winters,
ialah demokrasi kriminal.
Tentu saja, dalam situasi 'demokrasi
kriminal', spirit menjadi guru bangsa semakin padam.
Ketiga, minda dan mentalitas pecundang
cenderung menjadi karakter pemimpin daripada minda dan mentalitas pemenang
dan penabung aset dan masa depan bangsa.
Minda dan mentalitas ini dapat menyebabkan
ketergantungan (dependensi) kepada asing, ketidakmandirian, dan
ketidakpercayaan kepada diri sendiri.
Atau meminjam istilah Bung Karno tidak
berdikari, dalam membangun dan menyejahterakan kehidupan bangsa.
Akibatnya, kiblat kemandirian dan
kedaulatan bangsa sering belok arah. Guru bangsa mestinya berminda dan
bermental pemenang dan pengembang segenap potensi dan kekayaan bangsa demi
kemakmuran dan kesejahteraan sosial yang setinggi-tingginya.
Defisit guru bangsa ini tentu tidak boleh
dibiarkan saja.
Kita semua mendambakan tidak hanya guru
bidang studi, guru kelas, guru besar, tetapi juga memerlukan guru
kemanusiaan, guru peradaban, guru kehidupan, dan guru bangsa.
Guru bangsa tidak ada 'sekolah dan
ijazahnya', tetapi medan perjuangan, pelayanan, pengorbanan, pembelaan, dan
keberpihakannya jelas: kepentingan dan kedaulatan bangsa.
Menjadi guru bangsa mengharuskan pengabdian
yang tulus dengan spirit nasionalisme dan jiwa kenegarawanan yang terus
membara.
Guru bangsa itu teladan kebaikan terdepan
dalam menjaga kedaulatan NKRI, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya, agar jangan sampai
dijajah lagi dan dikuasai asing.
Selain menjadi figur teladan moral, mental
spiritual, dan sosial-intelektual, guru bangsa itu idealnya memiliki
kapabilitas memadai, integritas tinggi, profesionalitas mumpuni, dan aksesibilitas
luas dalam memajukan peradaban bangsa.
Dengan kata lain, guru bangsa harus menjadi
guru kemanusiaan, kehidupan, dan peradaban.
Guru bangsa selalu mengedepankan
kepentingan bangsa daripada kepentingan partai politik, golongan, kelompok,
apalagi keluarga dan dirinya sendiri.
Guru bangsa selalu meniti dan mengawal
jalan terjal menuju masa depan bangsa yang tetap merdeka, bersatu, berdaulat,
berdikari, berdemokrasi, berkesejahteraan, dan berkeadilan sosial.
Tampaknya kita belum terlambat untuk mengatasi
defisit guru bangsa jika semua pihak berkomitmen kuat untuk menampilkan diri
sebagai uswah hasanah (figur teladan yang baik) di setiap ranah kehidupan
bangsa.
Menjadi teladan kebaikan dan kebenaran
adalah esensi profesi guru karena memang guru itu harus bisa digugu dan
ditiru.
Guru bangsa harus menjadi referensi
patriotisme, heroisme, dan nasionalisme dalam membangun bangsa.
Idealnya guru bangsa harus menginspirasi
dan memotivasi keluarga besar bangsa untuk selalu hidup damai, rukun,
harmoni, toleran, bersatu, berdaulat, dan bermartabat.
Guru bangsa senantiasa menampilkan tindak
tutur yang santun, kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat, dan tidak
hanya mengobral pencitraan, tapi miskin prestasi dan bukti nyata.
Guru bangsa sejatinya selalu berpikir
visioner, kritis, kreatif, inovatif, dan futuristis dalam rangka
mengaktualisasikan tujuan NKRI.
Loyalitas guru bangsa itu didedikasikan
demi kemaslahatan dan kedaulatan bangsa, keutuhan NKRI, dan kemajuan
peradaban bangsa.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar