Kamis, 30 November 2017

Dari Daging Sapi ke Bela Pribumi

Dari Daging Sapi ke Bela Pribumi
Iqbal Aji Daryono ;  Esais
                                                DETIKNEWS, 28 November 2017



                                                           
Sebentar lagi kami pulang, meninggalkan negeri yang sudah empat tahun kami tumpangi ini. Kembali ke Bantul, salah satu kota kecil paling romantis yang pernah tercatat di muka bumi.

Barang-barang sudah kami kemasi, untuk kami berangkatkan lebih dulu. Mulai buku-buku, perkakas, hingga baju-baju.

Namun ada satu yang saya tahan, agar tidak dikirim sekarang. Slow cooker. Alat masak andalan yang sering menolong istri saya untuk menghemat waktu di sela kesibukan studinya, dan selalu berhasil jadi pelunak daging yang sakti mandraguna.

"Kita masih beberapa waktu di sini, lho. Ini saatnya slow cooker-mu dipakai sepuas-puasnya. Ingat, di Bantul daging mahal," kata saya.

Australia memang surganya daging. Segala mimpi masa kecil saya buat makan daging empuk setebal bantal terpenuhi di sini. Lha gimana, murahnya minta ampun! Sekilo daging dengan sedikit campuran lemak rata-rata 10 dolar saja, kalau dirupiahkan ya 100 ribu. Itu cuma setara satu porsi makan siang, atau dua gelas kopi, atau separuh ongkos tambal ban.

Coba, sekilo daging di Indonesia sekarang berapa? Bisa 120 ribu, kan? (Sudah, sudah, nggak usah dibawa-bawa ke target 80 ribu perkilo seperti tekad Pak Jokowi pada Lebaran lalu. Nanti kalian malah berantem lagi.)

Dengan realitas perdagingan yang sungguh njomplang antara Australia dan Indonesia, apalagi dengan kebelumsiapan hati kami menghadapi mahalnya harga daging di negeri sendiri, saya tergoda pula untuk berpikir, "Ah, Indonesia itu subur sekali, masak to nggak bisa produksi daging murah sendiri, kalah jauh sama Australi. Dasar negara gagal!"

Namun tiba-tiba Tuhan mengirimkan seorang lelaki saleh ke Perth. Dia temannya guru saya, Mbak Evi Ghozaly. Karena saya belum meminta izin kepada sang lelaki saleh itu, kita sebut saja namanya Mas Ahmad.

Mas Ahmad pengusaha hebat, importir sapi untuk penggemukan. Saat kami berbincang pada malam itu, dia tertawa mendengar cara pikir yang terlintas di kepala saya dan kepala banyak orang lainnya.

"Hahaha. Begini, Mas Iqbal. Pertama, peternakan sapi itu nggak butuh tanah subur. Keliru kalau wilayah suburnya Indonesia kok mau digenjot buat peternakan. Sapi tuh makan jerami kering aja nggak masalah, kok."

Makanya, sambung Mas Ahmad, daerah timur semacam NTT lebih cocok buat produksi sapi daripada Jawa. Masalahnya, pengiriman ke Jawa dari NTT mahal karena fasilitas transportasi yang buruk. Begitu jalan sudah dibangun dengan program infrastrukturnya pemerintah saat ini, krisis dunia sedang anget-angetnya. Jalannya sih sudah jadi, tapi komoditasnya yang belum siap dikirim.

"Dan jangan dibandingkan dengan Australia. Di sini lahan peternakan bisa dikatakan gratis. Hak guna lahan diberikan oleh pemerintah selama 99 tahun!" Mas Ahmad menambahkan.

Itu bikin kepala saya langsung terang. Selama ini, saya sering blusukan ke daerah-daerah pelosok. Baik di sekitar Perth sendiri, maupun di beberapa kota lain di Australia yang sempat saya kunjungi. Selama blusukan itu saya menjumpai lahan-lahan pertanian dan peternakan seluas belasan kali lipat lapangan bola, dengan sapi-sapi yang berlarian leluasa.

Dari situ saya berpikir, bagaimana HPP para peternak itu? Lahan seluas itu pastinya masuk ke dalam beban pembiayaan dong. Lha tapi kok bisa harga daging sangat murah?

Fasilitas dari pemerintah untuk petani dan peternaklah jawabannya. Pemerintah Australia bisa memberikan fasilitas itu karena memang lahan kosong di negeri ini begitu banyak. Coba bayangkan, satu benua cuma diisi 25 juta manusia. Ya jangan dibandingkan dengan Indonesia yang 260 juta jiwa, apalagi dengan Jawa yang meski subur tapi menggenggam prestasi sebagai salah satu pulau terpadat sedunia.

Obrolan yang tampaknya remeh itu berhasil menyelamatkan saya dari sejenis pembacaan masalah dengan komparasi asal-asalan. Problemnya memang tidak sesimpel negara sukses vs negara gagal. Ada berbagai variabel lain yang mesti dicermati dengan landasan pengetahuan, dan Mas Ahmad datang membawakan.

Itu semua penting buat saya, sebab sebentar lagi saya akan jadi "alumni Australia". Bakalan memalukan kalau nantinya saya pulang kampung sambil sedikit-sedikit membandingkan fenomena apa pun dengan negara "almamater" saya hahaha.

Godaan pembacaan masalah dengan pola agak-agak norak begitu tak cuma sekali dua kali muncul. Tempo hari, cara baca seperti itu datang pula dari salah seorang kawan.

Waktu itu lagi ramai-ramainya isu pribumi, gara-gara pidato Gubernur Anies. Ketika saya ikut menolak dikotomi pri vs nonpri, kawan saya itu mengajak membandingkannya dengan Australia. "Lho, nyatanya di Australia orang-orang Aborigin juga terdesak. Itu bukti bahwa pembelaan atas kaum pribumi wajib dilakukan, biar nasib kita tidak seperti orang Aborigin!"

Sekilas memang kelihatannya benar. Tapi ada konteks historis yang dilupakan. Penduduk lokal di benua yang belakangan disebut Australia itu sudah tinggal di sana selama 50.000 tahun. Kemudian pada abad ke-18 orang-orang Inggris datang, merampas tanah orang-orang Noongar alias Aborigin, membunuhi mereka, memisahkan mereka dari anak-anak mereka. Dengan jalan seperti itulah orang-orang kulit putih mendirikan negara Australia.

Indonesia jelas beda. Kalau mau dengan blak-blakan bicara bahwa nonpri yang dimaksud adalah etnis keturunan Tionghoa, mereka sudah ada di Nusantara sejak abad ke-15. Kedatangan mereka hampir bersamaan dengan gelombang kedatangan orang-orang Islam.

Lantas mereka berasimilasi, budaya mereka melebur dengan budaya lokal, lalu menciptakan apa yang disebut osmosis oleh Denys Lombard dalam mahakarya Nusa Jawa Silang Budaya. Yakni ketika suatu budaya pendatang menata varian baru yang berbeda dengan akarnya, sehingga membentuk satu entitas budaya baru yang genuine.

Proses tersebut berjalan berabad-abad, hingga kemudian di awal abad ke-20 barulah muncul ide nasionalisme Indonesia. Praktis, ketika Indonesia digagas kemudian didirikan, tidak ada situasi aneksasi sebagaimana terjadi pada orang-orang Noongar. Lalu dengan landasan apa istilah 'pribumi' masih relevan dibicarakan dalam konteks keindonesiaan pascakolonial?

Cara ceroboh dalam memandang sejarah terjadi lagi tatkala kita disibukkan dengan perdebatan panas seputar Tragedi 1965-1966. Banyak aktivis depresi, kenapa negara tak kunjung meminta maaf kepada para korban. (Baca lagi baik-baik: meminta maaf kepada para korban, bukan meminta maaf kepada PKI).

Dalam depresi itu, tak cuma sekali dua kali saya mendengar mereka membandingkan dengan kasus Australia. Betapa agungnya pemerintah Australia, bahkan Perdana Menteri Kevin Rudd waktu itu sudah meminta maaf kepada orang-orang Aborigin atas genosida 200 tahun lalu oleh orang-orang kulit putih. "Lalu kita kapan? Bagaimana dengan genosida yang terjadi di Indonesia? Kenapa sampai sekarang bahkan untuk meminta maaf kepada para korban kejahatan HAM pun negara tak berani?"

Sabar, Mas, duduk dulu. Saya kira naif sekali kalau kita membandingkan mentah-mentah antara pembantaian massal 1965-1966 dengan pembantaian orang-orang Aborigin. Jelas kedua kasus itu tidak setara dalam banyak aspeknya.

Pertama, kasus Australia jelas para aktornya. Orang-orang lokal Aborigin dibantai oleh orang-orang kulit putih pendatang dari Eropa. Tak ada perdebatan di situ, kecuali dari segelintir politisi rasis penyokong white supremacy yang jumlahnya sangat tidak seberapa.

Bandingkan dengan kasus setengah abad silam di Indonesia. Baik pelaku maupun korban sama warna kulitnya, sama bahasanya, dan masing-masing pihak memiliki versi sejarah yang mereka yakini sendiri. Kedua kubu sama-sama merasa sebagai korban, dan sama-sama tidak terima bila negara membela pihak lawan. Ruwet sekali.

Jangankan perdebatan di level massa awam. Bahkan pada level sejarawan pun mereka berbaku hantam teori, menyajikan data yang bertentangan satu sama lain, dan semua itu lebih rumit lagi karena ada sentimen agama yang turut serta.

Nah, kasus Australia jauh dari karakter semacam itu, bukan?

Kedua, semua pelaku sejarah di kasus Australia sudah bersemayam di alam kubur sejak lama. Bahkan tulang belulang mereka pun sudah lenyap dimakan tanah. Sementara di kasus Indonesia masih banyak sekali saksi sejarah. Mereka menggenggam erat versi mereka, menyimpan trauma mereka, bahkan sampai detik ini masih belum lupa dengan perih yang tersisa pada luka-luka mereka.

Ketika proses rekonsiliasi di Australia membutuhkan 200 tahun, saya anggap agak lebay kalau ada yang ngotot proses Indonesia harus tuntas pada 50 tahun selepas peristiwa, dengan damai aman tenteram kertaraharja.

Sudah, sudah. Saya cuma ingin pulang tanpa membawa beban kejiwaan sebagai "alumni Australia" yang gagal move on hehehe. Mari selalu jaga tensi skeptisisme dalam memahami peristiwa demi peristiwa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar