Dari
Daging Sapi ke Bela Pribumi
Iqbal Aji Daryono ; Esais
|
DETIKNEWS,
28 November
2017
Sebentar lagi kami pulang, meninggalkan
negeri yang sudah empat tahun kami tumpangi ini. Kembali ke Bantul, salah
satu kota kecil paling romantis yang pernah tercatat di muka bumi.
Barang-barang sudah kami kemasi, untuk kami
berangkatkan lebih dulu. Mulai buku-buku, perkakas, hingga baju-baju.
Namun ada satu yang saya tahan, agar tidak
dikirim sekarang. Slow cooker. Alat masak andalan yang sering menolong istri
saya untuk menghemat waktu di sela kesibukan studinya, dan selalu berhasil
jadi pelunak daging yang sakti mandraguna.
"Kita masih beberapa waktu di sini,
lho. Ini saatnya slow cooker-mu dipakai sepuas-puasnya. Ingat, di Bantul
daging mahal," kata saya.
Australia memang surganya daging. Segala
mimpi masa kecil saya buat makan daging empuk setebal bantal terpenuhi di
sini. Lha gimana, murahnya minta ampun! Sekilo daging dengan sedikit campuran
lemak rata-rata 10 dolar saja, kalau dirupiahkan ya 100 ribu. Itu cuma setara
satu porsi makan siang, atau dua gelas kopi, atau separuh ongkos tambal ban.
Coba, sekilo daging di Indonesia sekarang
berapa? Bisa 120 ribu, kan? (Sudah, sudah, nggak usah dibawa-bawa ke target
80 ribu perkilo seperti tekad Pak Jokowi pada Lebaran lalu. Nanti kalian
malah berantem lagi.)
Dengan realitas perdagingan yang sungguh
njomplang antara Australia dan Indonesia, apalagi dengan kebelumsiapan hati
kami menghadapi mahalnya harga daging di negeri sendiri, saya tergoda pula
untuk berpikir, "Ah, Indonesia itu subur sekali, masak to nggak bisa
produksi daging murah sendiri, kalah jauh sama Australi. Dasar negara
gagal!"
Namun tiba-tiba Tuhan mengirimkan seorang
lelaki saleh ke Perth. Dia temannya guru saya, Mbak Evi Ghozaly. Karena saya
belum meminta izin kepada sang lelaki saleh itu, kita sebut saja namanya Mas
Ahmad.
Mas Ahmad pengusaha hebat, importir sapi
untuk penggemukan. Saat kami berbincang pada malam itu, dia tertawa mendengar
cara pikir yang terlintas di kepala saya dan kepala banyak orang lainnya.
"Hahaha. Begini, Mas Iqbal. Pertama,
peternakan sapi itu nggak butuh tanah subur. Keliru kalau wilayah suburnya
Indonesia kok mau digenjot buat peternakan. Sapi tuh makan jerami kering aja
nggak masalah, kok."
Makanya, sambung Mas Ahmad, daerah timur
semacam NTT lebih cocok buat produksi sapi daripada Jawa. Masalahnya,
pengiriman ke Jawa dari NTT mahal karena fasilitas transportasi yang buruk.
Begitu jalan sudah dibangun dengan program infrastrukturnya pemerintah saat
ini, krisis dunia sedang anget-angetnya. Jalannya sih sudah jadi, tapi
komoditasnya yang belum siap dikirim.
"Dan jangan dibandingkan dengan
Australia. Di sini lahan peternakan bisa dikatakan gratis. Hak guna lahan
diberikan oleh pemerintah selama 99 tahun!" Mas Ahmad menambahkan.
Itu bikin kepala saya langsung terang.
Selama ini, saya sering blusukan ke daerah-daerah pelosok. Baik di sekitar
Perth sendiri, maupun di beberapa kota lain di Australia yang sempat saya
kunjungi. Selama blusukan itu saya menjumpai lahan-lahan pertanian dan
peternakan seluas belasan kali lipat lapangan bola, dengan sapi-sapi yang
berlarian leluasa.
Dari situ saya berpikir, bagaimana HPP para
peternak itu? Lahan seluas itu pastinya masuk ke dalam beban pembiayaan dong.
Lha tapi kok bisa harga daging sangat murah?
Fasilitas dari pemerintah untuk petani dan
peternaklah jawabannya. Pemerintah Australia bisa memberikan fasilitas itu
karena memang lahan kosong di negeri ini begitu banyak. Coba bayangkan, satu
benua cuma diisi 25 juta manusia. Ya jangan dibandingkan dengan Indonesia
yang 260 juta jiwa, apalagi dengan Jawa yang meski subur tapi menggenggam
prestasi sebagai salah satu pulau terpadat sedunia.
Obrolan yang tampaknya remeh itu berhasil
menyelamatkan saya dari sejenis pembacaan masalah dengan komparasi
asal-asalan. Problemnya memang tidak sesimpel negara sukses vs negara gagal.
Ada berbagai variabel lain yang mesti dicermati dengan landasan pengetahuan,
dan Mas Ahmad datang membawakan.
Itu semua penting buat saya, sebab sebentar
lagi saya akan jadi "alumni Australia". Bakalan memalukan kalau
nantinya saya pulang kampung sambil sedikit-sedikit membandingkan fenomena
apa pun dengan negara "almamater" saya hahaha.
Godaan pembacaan masalah dengan pola
agak-agak norak begitu tak cuma sekali dua kali muncul. Tempo hari, cara baca
seperti itu datang pula dari salah seorang kawan.
Waktu itu lagi ramai-ramainya isu pribumi,
gara-gara pidato Gubernur Anies. Ketika saya ikut menolak dikotomi pri vs
nonpri, kawan saya itu mengajak membandingkannya dengan Australia. "Lho,
nyatanya di Australia orang-orang Aborigin juga terdesak. Itu bukti bahwa
pembelaan atas kaum pribumi wajib dilakukan, biar nasib kita tidak seperti
orang Aborigin!"
Sekilas memang kelihatannya benar. Tapi ada
konteks historis yang dilupakan. Penduduk lokal di benua yang belakangan
disebut Australia itu sudah tinggal di sana selama 50.000 tahun. Kemudian
pada abad ke-18 orang-orang Inggris datang, merampas tanah orang-orang
Noongar alias Aborigin, membunuhi mereka, memisahkan mereka dari anak-anak
mereka. Dengan jalan seperti itulah orang-orang kulit putih mendirikan negara
Australia.
Indonesia jelas beda. Kalau mau dengan
blak-blakan bicara bahwa nonpri yang dimaksud adalah etnis keturunan
Tionghoa, mereka sudah ada di Nusantara sejak abad ke-15. Kedatangan mereka
hampir bersamaan dengan gelombang kedatangan orang-orang Islam.
Lantas mereka berasimilasi, budaya mereka
melebur dengan budaya lokal, lalu menciptakan apa yang disebut osmosis oleh
Denys Lombard dalam mahakarya Nusa Jawa Silang Budaya. Yakni ketika suatu
budaya pendatang menata varian baru yang berbeda dengan akarnya, sehingga
membentuk satu entitas budaya baru yang genuine.
Proses tersebut berjalan berabad-abad,
hingga kemudian di awal abad ke-20 barulah muncul ide nasionalisme Indonesia.
Praktis, ketika Indonesia digagas kemudian didirikan, tidak ada situasi
aneksasi sebagaimana terjadi pada orang-orang Noongar. Lalu dengan landasan
apa istilah 'pribumi' masih relevan dibicarakan dalam konteks keindonesiaan
pascakolonial?
Cara ceroboh dalam memandang sejarah
terjadi lagi tatkala kita disibukkan dengan perdebatan panas seputar Tragedi
1965-1966. Banyak aktivis depresi, kenapa negara tak kunjung meminta maaf
kepada para korban. (Baca lagi baik-baik: meminta maaf kepada para korban,
bukan meminta maaf kepada PKI).
Dalam depresi itu, tak cuma sekali dua kali
saya mendengar mereka membandingkan dengan kasus Australia. Betapa agungnya
pemerintah Australia, bahkan Perdana Menteri Kevin Rudd waktu itu sudah
meminta maaf kepada orang-orang Aborigin atas genosida 200 tahun lalu oleh
orang-orang kulit putih. "Lalu kita kapan? Bagaimana dengan genosida
yang terjadi di Indonesia? Kenapa sampai sekarang bahkan untuk meminta maaf
kepada para korban kejahatan HAM pun negara tak berani?"
Sabar, Mas, duduk dulu. Saya kira naif
sekali kalau kita membandingkan mentah-mentah antara pembantaian massal
1965-1966 dengan pembantaian orang-orang Aborigin. Jelas kedua kasus itu
tidak setara dalam banyak aspeknya.
Pertama, kasus Australia jelas para
aktornya. Orang-orang lokal Aborigin dibantai oleh orang-orang kulit putih
pendatang dari Eropa. Tak ada perdebatan di situ, kecuali dari segelintir
politisi rasis penyokong white supremacy yang jumlahnya sangat tidak
seberapa.
Bandingkan dengan kasus setengah abad silam
di Indonesia. Baik pelaku maupun korban sama warna kulitnya, sama bahasanya,
dan masing-masing pihak memiliki versi sejarah yang mereka yakini sendiri.
Kedua kubu sama-sama merasa sebagai korban, dan sama-sama tidak terima bila
negara membela pihak lawan. Ruwet sekali.
Jangankan perdebatan di level massa awam.
Bahkan pada level sejarawan pun mereka berbaku hantam teori, menyajikan data
yang bertentangan satu sama lain, dan semua itu lebih rumit lagi karena ada
sentimen agama yang turut serta.
Nah, kasus Australia jauh dari karakter
semacam itu, bukan?
Kedua, semua pelaku sejarah di kasus
Australia sudah bersemayam di alam kubur sejak lama. Bahkan tulang belulang
mereka pun sudah lenyap dimakan tanah. Sementara di kasus Indonesia masih
banyak sekali saksi sejarah. Mereka menggenggam erat versi mereka, menyimpan
trauma mereka, bahkan sampai detik ini masih belum lupa dengan perih yang
tersisa pada luka-luka mereka.
Ketika proses rekonsiliasi di Australia
membutuhkan 200 tahun, saya anggap agak lebay kalau ada yang ngotot proses
Indonesia harus tuntas pada 50 tahun selepas peristiwa, dengan damai aman
tenteram kertaraharja.
Sudah, sudah. Saya cuma ingin pulang tanpa
membawa beban kejiwaan sebagai "alumni Australia" yang gagal move
on hehehe. Mari selalu jaga tensi skeptisisme dalam memahami peristiwa demi
peristiwa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar