Demokrasi
Kaum Penjahat
Zuly Qodir ; Sosiolog UMY, Tenaga Ahli UKP Pancasila
|
KOMPAS,
27 November
2017
“Setelah
Indonesia jatuh dari rezim otoriter di bawah Soeharto tahun 1998, kini
demokrasi Indonesia jatuh ke tangan politisi para penjahat.”
(Anders
Uhlin, 2017)
Suatu ketika seorang kawan bercerita bahwa
menurut kawannya, yakni Anders Uhlin-pengamat demokrasi politik Indonesia,
saat ini Indonesia dalam darurat demokrasi. Pasalnya, demokrasi yang
diperjuangkan dan direbut dengan darah dan akal sehat sekarang direbut oleh
para politisi penjahat.
Benarkah yang diceritakan kawan tadi pada
kita? Akan kita lihat fakta-fakta di lapangan, seperti yang saya kemukakan
dalam artikel ini.
Kasus dramatik korupsi kartu tanda penduduk
elektronik (KTP-el) yang menimpa banyak politikus adalah yang paling aktual.
Drama politikus terjerat pidana korupsi akhirnya menyeret pimpinan partai
politik. Bersatunya kuasa dan uang, uang dan kuasa, seakan tidak ada tanding.
Kini politik tersandera oleh kuasa uang dan kekuasaan yang diraih dengan
cara-cara kotor. Kasus yang menjerat pimpinan DPR adalah drama politik para
penjahat yang amat transparan.
Pelajaran
berharga
Kita menyaksikan beberapa persoalan penting
yang memang memprihatinkan akal sehat dan nurani. Politikus menjual nurani
dan akal sehat dengan harga murahan. Pelaku ekonomi bersedia jadi broker
politikus busuk. Para agamawan bersedia menjadi jongos dan pelayan politikus
bramacorah dan tuna-kebangsaan.
Karena itu, dibutuhkan lahirnya para
negarawan bukan politikus. Sebab, negarawan adalah sekaligus politikus,
sedangkan politikus tidak serta-merta jadi negarawan. Kita tidak memiliki
negarawan. Kita hanya memiliki politikus. Itu pun politikus busuk (Syafii
Maarif, 2017).
Kita pikirkan baik-baik agar bangsa ini
tidak dikendalikan para broker politik. Kita juga harus berpikir keras agar
bangsa ini tidak dikuasai oleh politikus penjahat. Syaratnya sederhana:
massa-rakyat harus dicerdaskan dan diberi pengetahuan tentang banyak hal
dengan cara sederhana dan mengenai sasaran. Masyarakat butuh pegangan dan
panduan moral bermasyarakat dan bernegara.
Berharap perbaikan pada para politikus jauh
panggang dari api. Karena itu, yang paling mungkin adalah para pemimpin
agama, pemimpin ormas, dan rakyat biasa yang masih memiliki nalar sehat dan
nurani kebangsaan dan perilaku welas asih.
Ciri-ciri kaum penjahat yang dikatakan
Uhlin tak terlalu jauh dari kenyataan politik Indonesia. Mereka adalah para
politikus yang “rabun ayam” sekaligus tunahati nurani. Oleh sebab rabun ayam
dan tunahati, maka berpolitik tidak memiliki visi jauh ke depan untuk
memajukan bangsanya atau menyejahterakan rakyat banyak yang telah memilihnya.
Bagi mereka berpolitik adalah meraih kekuasaan!
Kaum penjahat ini memanfaatkan modal yang
dimiliki untuk “membeli suara” dalam pilkada atau dalam pemilu legislatif
(pileg) yang tengah berlangsung sejak 1999 hingga 2017. Kita akan terus
saksikan terjadinya pertarungan bebas para politikus rabun ayam dan
tunanurani dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 mendatang. Karena itu, praktik
demokrasi kita akan sangat jelas dipenuhi oleh para penjahat demokrasi kelas
kakap dan hiu.
Politikus bermodal besar karena sokongan
para pelaku ekonomi kakap dan hiu menjadi mantra paling mutakhir dalam
praktik berpolitik Indonesia yang nyaris tak terbendung. Pemberian “uang
saku” politik pada setiap pemilihan dari tingkat desa sampai pusat adalah
fenomena aktual tak terbantahkan. Anehnya, rakyat kere juga bersedia “menari
di atas” genderang politikus penjahat.
Betapa lihainya para penjahat demokrasi
bermain drama. Dia berperan banyak muka (dasamuka), bukan hanya dua wajah,
tetapi sepuluh wajah yang sangat kontekstual bisa berubah-ubah. Inilah wajah
bramacorah politikus para penjahat demokrasi yang menari di atas kesengsaraan
rakyat. Rakyat benar-benar hanya alat mendapatkan kekuasaan tanpa dipedulikan
pascapilihan berlangsung.
Rakyat bahkan dijadikan tunggangan politik
melalui sentimen agama dan dana yang dimilikinya. Rakyat tidak diberi
kesempatan untuk mendapatkan informasi yang benar dan memadai karena turut
beroperasinya para penjahat demokrasi di ruang maya melalui media sosial.
Media sosial seperti Twitter, Instagram,
Facebook, danWhatsapp adalah sarana memanipulasi informasi yang sangat keras
digunakan oleh para penjahat demokrasi di negeri ini. Miliaran rupiah
digelontorkan demi meraih kekuasaan. Mereka tak pernah merasa rugi membayar
para buzzer media sosial untuk menipu massa-rakyat yang sebagian besar tidak
melek media kecuali hanya mendapat informasi satu arah saja.
Dalil-dalil keagamaan pun disuguhkan,
padahal hanya untuk kepentingan politiknya, melalui orang-orang yang pernah
menjadi tokoh agama, tokoh politik bahkan tokoh organisasi keagamaan. Inilah
kehebatan cara para penjahat demokrasi memanipulasi realitas objektif
politik.
Tersebab kuatnya para penjahat demokrasi
berkuasa di ruang maya-serta ruang politik yang nyata, yakni di legislatif,
birokrasi, partai politik, perguruan tinggi, BUMN, swasta, dan pers-maka
rakyat benar-benar tidak dapat berkutik. Bahkan, politikus yang masih
memiliki akal sehat dan nurani malah dituduh politikus yang tak realistis dan
hanya ingin mencitrakan dirinya kalau tidak sebagai penjahat.
Warga yang berani memberikan kritik, peringatan
serta berlawanan arus dengan praktik politikus penjahat demokrasi akan
di-bully di ruang media sosial, dan dalam forum-forum yang mempraktikkan
perbedaan pendapat dan pemahaman. Mereka yang berbeda dengan arus politikus
penjahat akan dituduh sebagai “pengkhianat umat” dan pengkhianatan pada
agama. Sungguh telah terjadi pemutarbalikan logika akal sehat dan nurani,
tetapi yang seperti ini dibenarkan dalam logika penjahat demokrasi.
Segeralah
siuman
Praktik-praktik politisi penjahat demokrasi
jika dibiarkan oleh publik yang jumlahnya lebih besar, maka demokrasi
Indonesia yang mendasarkan pada Pancasila benar-benar dalam situasi darurat
demokrasi. Karena itu, situasi harus segera disadarkan oleh mereka yang masih
memiliki akal sehat dan nurani. Jangan sampai demokrasi Pancasila kemudian
dibajak lalu disingkirkan, diganti dengan praktik demokrasi yang tak
dikehendaki para pendiri bangsa ini.
Jika warga negara tidak segera siuman,
gagasan mengganti Pancasila dengan yang lain bukanlah isapan jempol belaka.
Kita berharap pada dua ormas besar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama (NU) untuk tetap mengawal Pancasila. Akan tetapi, jika dibiarkan
berjuang sendirian, Muhammadiyah dan NU pun akan terkapar oleh gencarnya
kampanye antinegara berdasarkan Pancasila.
Politikus yang masih memiliki akal sehat dan
hati nurani harus didorong melakukan perubahan bersama. Mereka adalah para
akademisi, filosof, agamawan yang bijak bestari, pengusaha bersih, dan
aktivis demokrasi yang tidak mata duitan untuk menyelamatkan Indonesia dari
gerayangan penjahat-penjahat demokrasi yang multiwajah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar