Mengkritisi
Kompetensi Guru
Syarifudin Yunus ; Dosen Universitas Indraprasta PGRI
|
DETIKNEWS,
24 November
2017
Tanggal 25 November diperingati
sebagai Hari Guru. Guru adalah elemen penting dalam pendidikan. Akan seperti
apa dan bagaimana bangsa Indonesia di masa depan sangat bergantung pada
kualitas guru. Saking pentingnya peran dan tanggung jawab guru, UU No. 14/2005
tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru sebagai agen pembelajaran yang harus
menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi
inspirasi belajar bagi peserta didik.
Konsekuensi logisnya, anggaran
pendidikan tahun 2017 alokasinya 20% dari total APBN. Nilainya mencapai Rp
419 triliun. Walau agak ironis, karena sebagian besar anggaran pendidikan
tersebut digunakan untuk gaji dan tunjangan guru. Maka wajar, rata-rata
tingkat penghasilan guru mengalami lonjakan tiga kali lipat. Sementara
alokasi untuk pembangunan maupun renovasi sekolah masih sangat kecil.
Ironisnya lagi, data UNESCO
dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 memperlihatkan,
pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara
berkembang. Sedangkan komponen penting dalam pendidikan yaitu guru menempati
urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.
Kualitas pendidikan di
Indonesia masih jauh dari memadai. Besarnya anggaran pendidikan pun tidak
serta merta menjadikan kualitas pendidikan meningkat. Mengapa? Karena
kualitas guru masih bermasalah. Suka tidak suka, hasil Uji Kompetensi Guru
(UKG) tahun 2015, rata-rata nasional hanya 44,5 --jauh di bawah nilai standar
75. Bahkan kompetensi pedagodik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum
menggembirakan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya kurang baik, cara
mengajar di kelas membosankan. Inilah momentum yang tepat untuk mengkritisi
soal kompetensi guru.
Kompetensi Guru
Patut disepakati, persoalan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab dengan
cara mengubah kurikulum. Atau, bahkan mengganti menteri atau dirjen. Kualitas
pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang profesional, guru
yang berkualitas adalah jaminannya. Tanpa perbaikan kualitas guru maka
kualitas pendidikan akan tetap "jauh panggang dari api", akan tidak
memadai.
Bayangkan saja, dari 3,9 juta
guru yang ada saat ini, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi syarat
kualifikasi akademik, dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi. Di sisi
lain, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki standar
kompetensi yang mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional.
Kita masih ingat, penerapan
sekolah lima hari yang menimbulkan polemik. Bahkan penerapan Kurikulum 2013
yang "terpaksa" dibatalkan akibat guru yang belum paham betul.
Banyak guru yang bingung sehingga pembelajaran tidak berjalan optimal. Maka
upaya meningkatkan kompetensi guru sebagai pelaksana kurikulum di kelas
sangatlah penting. Karena sebaik apapun kurikulum yang ada, tidak akan bisa
berjalan dengan baik tanpa didukung guru yang berkualitas.
Persoalan guru memang tidak
sederhana. Walau jangan pula dinyatakan terlalu kompleks. Membahas kompetensi
guru, prinsip dasarnya adalah memetakan faktor-faktor yang menyebabkan
rendahnya kompetensi guru. Dalam konteks ini, setidaknya dapat diduga ada
empat penyebab rendahnya kompetensi guru.
Pertama, ketidaksesuaian
disiplin ilmu dengan bidang ajar. Masih banyak guru di sekolah yang mengajar
mata pelajaran yang bukan bidang studi yang dipelajarinya. Hal ini terjadi
karena persoalan kurangnya guru pada bidang studi tertentu.
Kedua, kualifikasi guru yang
belum setara sarjana. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru
menjadi tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya.
Bahkan tidak sedikit guru yang sarjana, namun tidak berlatar belakang sarjana
pendidikan sehingga "bermasalah" dalam aspek pedagogik.
Ketiga, program peningkatan
keprofesian berkelanjutan (PKB) guru yang rendah. Masih banyak guru yang
"tidak mau" mengembangkan diri untuk menambah pengetahuan dan
kompetensinya dalam mengajar. Guru tidak mau menulis, tidak membuat publikasi
ilmiah, atau tidak inovatif dalam kegiatan belajar. Guru merasa hanya cukup
mengajar.
Keempat, rekrutmen guru yang
tidak efektif. Karena masih banyak calon guru yang direkrut tidak melalui
mekanisme yang profesional, tidak mengikuti sistem rekrutmen yang
dipersyaratkan. Kondisi ini makin menjadikan kompetensi guru semakin rendah.
Mutu Pendidikan
Fakta di tahun 2016, kualitas
pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 69 negara. Hal ini
menjadi cermin konkret akan kualitas dan kuantitas guru di Indonesia. Maka
harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas guru. Karena nyatanya,
tidak sedikit guru yang hari ini tetap saja menjalankan proses
belajar-mengajar dengan pola "top-down". Guru seolah berada
"di atas" dan siswa berada "di bawah", guru bertindak
sebagai subjek dan siswa sebagai objek belajar.
Guru merasa berkuasa untuk
"membentuk" siswanya. Ibaratnya, guru menjadi "teko" dan
siswa sebagai "gelas" sehingga siswa berstatus hanya menerima
apapun yang dituangkan guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi
kemampuan dirinya. Siswa hanya bisa disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal
dirinya lalu mampu bertahan hidup.
Belajar bukanlah proses untuk
menjadikan siswa sebagai "ahli" pada mata pelajaran tertentu. Siswa
lebih membutuhkan "pengalaman" dalam belajar, bukan
"pengetahuan". Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama
tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan
"meniadakan" problematika belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru
harus berpijak pada kemampuan dalam mengajarkan materi pelajaran secara
menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam
belajar.
Maka, hari ini sangat
dibutuhkan guru-guru yang mampu mengubah kurikulum menjadi unit pelajaran
yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi
guru dan siswa harus menyenangkan. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan
kreativitas. Seharusnya, guru menjadi sosok yang tidak dominan di dalam
kelas. Guru bukan orang yang tahu segalanya. Guru bukan pendidik yang
berbasis kunci jawaban. Tapi, guru penuntun siswa agar tahu bidang pelajaran
yang paling disukainya.
Tujuan besar perubahan
kurikulum tentu akan sia-sia apabila mindset guru tidak berubah. Guru adalah
kreator dan tidak perlu text book terhadap kurikulum. Guru tidak boleh nyaman
dengan cara belajar yang satu arah. Sekali lagi, mutu pendidikan hanya bisa
terjadi bila guru mengajar dengan hati, bukan hanya logika.
Jadi, mutu pendidikan ada di
tangan guru. Kurikulum memang penting, tapi tidak urgen bagi kualitas
pendidikan. Menteri sehebat apapun tidak terlalu penting bagi mutu
pendidikan. Kasihan dunia pendidikan kita. Sudah terlalu banyak diskusi
tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Terlalu banyak berdebat
tentang pelaksanaan kurikulum. Tapi sayang, kita terlalu sedikit bertindak
untuk membenahi kompetensi dan mentalitas guru dalam mendidik.
Ketahuilah, guru akan sulit
menerima perubahan jika kompetensinya rendah. Pendidikan akan semakin rumit
ke depan bila kualitas guru kita memang lemah. Maka kompetensi guru harus
segera ditingkatkan, itulah titik penting mutu pendidikan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar