Selasa, 28 November 2017

Aspek Prudent Dana Desa dan Potensi Konflik

Aspek Prudent Dana Desa dan Potensi Konflik
Bambang Soesatyo ;  Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar;
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
                                              KORAN SINDO, 27 November 2017



                                                           
INDIKASI penyelewengan dana desa sudah meluas. Maka, selain mengubah disain, pemerintah juga harus memberi perhatian ekstra pada aspek pencegahan penyelewengan dan potensi konflik dalam pemilihan kepala desa.

Hingga September 2017, Satuan Tugas (Satgas) Dana Desa sudah menerima 10.000 laporan masyarakat mengenai dugaan penyalahgunaan dana desa dari seluruh Indonesia.  Dari jumlah laporan itu, tergambar cukup nyata bahwa masyarakat sangat responsif, mengingat Satgas baru mulai bekerja pada Juli 2017. 

Ketua Satgas Dana Desa Bibit Samad Rianto telah membawa catatan persoalan ini ke Kantor Staf Presiden (KSP). Satgas berharap, kantor Presiden semakin memahami potensi penyelewengan dana desa. Persoalan lain yang juga dilaporkan ke KSP adalah potensi konflik pada momentum pemilihan kepala desa.  Satgas merekam munculnya keresahan warga desa atas potensi konflik itu.

Sebelumnya. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) juga sudah menerima tidak kurang dari 11.000 aduan masyarakat tentang penyelewengan dana desa. Dari jumlah itu, 300 kasus telah ditangani melalui proses hukum.

Salah satu contoh kasusnya adalah pemotongan dana desa secara ilegal yang terjadi di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Tiga orang pegawai yang bertugas pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan (BPMPK) menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana desa di Kabupaten Pegunungan Bintang. Para tersangka dituduh melakukan tindak pidana dana desa yang menyebabkan negara rugi Rp4,1 miliar dari anggaran Dana Desa Tahun 2016. Mereka memotong anggaran dana desa sebesar Rp 15 juta per desa dari 277 desa di Kabupaten Pegunungan Bintang. 

Satgas Dana Desa juga menemukan fakta tentang banyaknya kepala desa yang belum bisa membuat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPB) Desa. Faktor ini menjadi salah satu sebab  sejumlah kepala desa tersandung masalah hukum. Satgas pun memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membuat pelatihan berskala nasional bagi para kepala desa tentang metode menyusun perencanaan penggunaan anggaraan Dana Desa. Tujuannya, pemanfaatan dana  desa tepat sasaran dan tepat guna, serta memperkecil potensi kesalahan dalam pengelolaan dana desa. 

Berdasarkan laporan yang diterima Satgas Dana Desa dan Kementerian Desa itu, pemerintah secara tidak langsung dipaksa untuk lebih menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent) dalam kebijakan pencairan dan pengalokasian dana desa. Tidak ada yang salah dari kebijakan atau pendekatan pembangunan dengan mengalirkan dana ke desa-desa.  Namun, agar kebijakan itu tepat sasaran dan tepat guna, harus ada kepastian bahwa aparatur desa penerima telah siap. 

Puluhan triliun rupiah itu mengalir ke puluhan ribu desa. Masalahnya, tidak semua aparatur pada ribuan desa itu sudah siap atau memahami tata kelola dana pembangunan yang dipercayakan negara kepada mereka. Selain berpotensi menimbulkan salah kelola, ketidaksiapan aparatur desa pun tak jarang membuat dana desa menjadi tidak efektif.  Di Desa Candi Burung, Kecamatan Proppo, Pamekasan, dana desa nyaris tak terserap, karena terjadi konflik antara kepala desa (Kades) dan badan permusyawaratan desa (BPD).

Selain aspek kesiapan aparatur desa, kehatian-hatian dalam menerapkan kebijakan dana desa hendaknya didukung oleh mekanisme pendampingan dan pengawasan. Bukan bertujuan memperlambat proses kerja, tetapi pendampingan dan pengawasan itu semata-mata demi tepat dan dan tepat sasaran dana desa, serta memperkecil potensi kesalahan. Pengawasan yang lebih mengutamakan pencegahan terjadinya penyimpangan. 

Dalam konteks pendampingan dan pengawasan itu, semua instrumen negara yang di provinsi serta kabupaten dan desa bisa dilibatkan. Pendampingan melibatkan dinas-dinas yang ada di provinsi maupun kabupaten, disesuaikan dengan aspek teknis dari proyek yang digagas oleh desa bersangkutan. Sementara untuk aspek pengawasan dan pencegahan terjadinya penyimpangan, negara bisa menugaskan Kepolisian daerah. kejaksaan negeri dan BPK setempat. Kerja sama Kemendes PDTT dengan Polri yang sudah berjalan selama ini hendaknya semakin ditingkatkan efektivitasnya. Prioritasnya bukan pada penindakan melainkan pencegahan.

Potensi Konflik

Mulai Januari 2018, pemerintah berencana menetapkan pola baru dalam pemanfaatan dana desa, dengan fokus pemanfaatan ke sektor padat karya. Utamanya infrastruktur pedesaan, dan dikerjakan secara swakelola agar terbuka peluang kerja bagi angkatan kerja di desa tersebut. Tidak hanya itu, dana desa juga akan dimanfaatkan untuk menyediakan makanan tambahan dan pelayanan bagi masyarakat setempat. Pendekatan baru ini sudah diputuskan Presiden Joko Widodo. 

Selain itu, setiap desa tidak akan menerima jumlah dengan nominal yang sama. Besar kecilnya bergantung pada jumlah warga miskin di desa bersangkutan. Persentase kenaikannya untuk tahun mendatang pun diperbesar. Desa yang jumlah penduduk miskinnya lebih banyak akan dinaikkan dari sebelumnya 20 persen menjadi lebih dari 35 persen.

Akan menjadi lebih ideal jika perubahan disain pemanfaatan desa tahun 2018 itu dipadukan dengan empat program unggulan Kemendes PDTT untuk mewujudkan desa mandiri. Antara lain penetapan produk unggulan desa untuk dikembangkan, mendirikan badan usaha milik desa (BUMDes), pembangunan sarana olah raga desa dan embung desa.  Program mana yang lebih diprioritaskan tentu saja bergantung pada potensi setiap desa. Tercatat ada 74.958 desa dan 8.430 kelurahan yang menjadi sasaran dana desa. Tahun 2017 dan 2018, alokasi dana desa mencapai Rp60 triliun.

Akhirnya, perubahan disain pemanfaatan dana desa saja tidak cukup. Pemerintah harus memberi perhatian khusus pada potensi konflik antarwarga desa, khususnya pada momentum pemilihan kepala desa. Belakangan ini, banyak portal berita dari berbagai daerah melaporkan bahwa pemilihan kepala desa (Pilkades) kini mulai rawan konflik. Bahkan sangat berbeda dengan tahun-tahun terdahulu. Diasumsikan rawan konflik karena perebutan jabatan kepala desa menciptakan medan persaingan yang sangat panas. Alasannya mudah ditebak; karena kepala desa menjadi pengguna anggaran dana desa. Sehingga, tidak mengherankan jika Pilkades di desa sebuah mulai menghadirkan banyak calon.

Negara cq pemerintah tentu saja tidak boleh terlalu jauh mengintervensi proses Pilkades. Namun, pada waktunya nanti, syarat menjadi kepala desa hendaknya diperbarui. Tidak hanya sekadar bisa memimpin warga desa, tetapi kepala desa masa kini dituntut mampu membaca potensi dan kebutuhan desanya, menyusun rencana pembangunan desa, menyusun rencana pembiayaan sampai dengan tahap mengajukan kebutuhan anggaran.  

Untuk periode sekarang ini, yang paling diperlukan adalah kesigapan pemerintah memonitor dan mengamankan pemilihan kepala desa. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, aparat kepolisian setempat perlu hadir untuk mengawal pemilihan kepala desa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar