Universitas
Korporasi
Budi Santosa ; Profesor di Teknik Industri ITS, Surabaya
|
KOMPAS,
24 November
2017
Kita menyaksikan dalam beberapa
tahun terakhir berdiri beberapa universitas baru yang didukung oleh
perusahaan atau korporasi besar. Beberapa di antaranya didirikan oleh badan
usaha milik negara dan yang lain perusahaan swasta.
Kehadiran
universitas-universitas ini menjadi pembicaraan beberapa pihak sebagai hal
yang mestinya tidak terjadi, terutama yang didirikan oleh BUMN. Di sisi lain
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) juga sedang melakukan
langkah penutupan dan penggabungan perguruan tinggi swasta (PTS) kecil yang
kurang kapasitas, yang jumlahnya mencapai ratusan hingga ribuan. Kedua
fenomena ini perlu dilihat sebagai hal menarik dalam pemenuhan kapasitas
penyediaanjasa dan peningkatan kualitas layanan pendidikan tinggi.
Penambahan kapasitas
Berdirinya universitas yang
didukung korporasi, sebut saja corporate university (universitas korporasi),
bisa jadi adalah angin segar bagi perkembangan pendidikan tinggi kita. Karena
kehadirannya akan meningkatkan kompetisi di kalangan PT dan juga memperbanyak
pilihan bagi masyarakat. Fenomena berkembangnya universitas korporasi bukan
hanya terjadi di Indonesia. Tetangga dekat kita, Malaysia, juga melakukan hal
yang sama. Mereka punya Universitas Petronas, Universitas Tenaga Nasional
(milik “PLN”-nya Malaysia). Jadi, dari sisi ini tidak ada yang luar biasa.
Dalam hal paling mudah, kita
senang melihat munculnya universitas-universitas ini sebagai penambah
kapasitas penyediaan layanan pendidikan tinggi yang berkualitas. Berdirinya
universitas ini tentu saja menyerap banyak mahasiswa baru, yang umumnya tidak
diterima di PTN. Mereka yang tak tertampung di universitas negeri biasanya
akan memilih tempat lain dengan kualitas yang baik, kecuali yang memang dari
awal tidak berminat masuk PTN. Universitas seperti ini mestinya tidak
mengandalkan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) sebagai satu-satunya
sumber dana. Keberlanjutannya akan lebih terjaga daripada
universitas-universitas kecil tanpa dukungan dana yang cukup. Masyarakat
sebagai pengguna jasa tentu saja tidak dirugikan dari sisi tersedianya
pilihan yang lebih banyak dengan kualitas yang tidak buruk.
Universitas dengan dukungan
dana dan fasilitas yang memadai seperti universitas korporasi ini seharusnya
mampu merekrut sumber daya manusia (SDM) berkualitas untuk tenaga dosen,
tenaga manajemen maupun staf kependidikan dengan gaji yang lebih baik. Dari
sisi penyerapan tenaga kerja, berdirinya universitas korporasi sangat positif
karena memberi kesempatan bagi mereka yang ingin bekerja di dunia pendidikan.
Seiring dengan mulai lulusnya para peserta beasiswa Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) yang memulai belajar beberapa tahun lalu, baik di dalam
maupun di luar negeri, maka berdirinya
universitas korporasi adalah salah satu tempat berkarier yang bagus.
Sebenarnya, dari sisi jumlah,
banyaknya universitas di Indonesia sudah
berlebihan. Data dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Kemristek dan Dikti) menyatakan ada sekitar 4.504 PTS, baik berbentuk
universitas, institut, politeknik maupun sekolah tinggi. Sebagian besar
adalah universitas akademik. Dengan demikian, berdirinya universitas
korporasi ini menambah deretan panjang daftar PT. Untuk tidak sekadar
menambah daftar, universitas korporasi harus punya kelebihan tertentu dibandingkan PTS yang sudah ada.
Dengan demikian, universitas korporasi baru punya kontribusi nyata untuk
mendukung kemajuan dunia pendidikan tinggi kita.
Bisa jadi sebuah universitas
korporasi didirikan dengan tujuan yang
lebih dari sekadar meraup keuntungan dari bisnis pendidikan. Bisa jadi mereka
ingin menghasilkan lulusan yang punya kompetensi istimewa sesuai yang mereka butuhkan untuk mendukung
bisnis utama mereka. Dengan dukungan fasilitas dan studi kasus yang mereka
miliki di perusahaan, sebagai laboratorium industri, mestinya mereka bisa
memberi bekal lebih dibandingkan universitas lain. Meskipun tidak jarang juga
mereka membuka berbagai program studi (prodi) di luar bisnis utama perusahaan
pendirinya. Mereka harus tetap berpikir bisnis untuk mencari keuntungan.
Tidak masalah, asal saat pendirian semua syarat dipenuhi sesuai standar yang
ditetapkan oleh Kemristek dan Dikti.
Di sisi lain, berdirinya
universitas korporasi juga mulai dilihat sebagai kompetitor bagi universitas
yang sudah terlebih dahulu ada, terutama PTN yang selama ini banyak
mendapatkan dukungan dana lewat dana CSR maupun kerja sama dari perusahaan
tersebut. PTS yang selama ini menduduki peringkat tinggi dalam hal kualitas
tentu juga merasakan dengan cepat bahwa universitas korporasi adalah pesaing
berat dalam menjaring mahasiswa. Ini hal positif dalam rangka meningkatkan
persaingan antar-PTS, juga bagi konsumen.
Akademik vs vokasi
Jumlah PT di Indonesia lebih
banyak dibandingkan jumlah PT di China yang hanya berjumlah 2.825. Padahal,
China memiliki penduduk hampir lima kali lipat dari penduduk kita. Bisa dibandingkan
jumlah universitas per kapita. Menristek dan Dikti berharap agar PT di
Indonesia senantiasa meningkatkan kualitasnya, bukan hanya unggul dalam
kuantitas sehingga dapat bersaing di tingkat dunia.
Di indonesia, dari jumlah
keseluruhan PT tersebut, hanya 5,4 persen yang berbentuk vokasi/politeknik.
Dari angka 5,4 persen tersebut, hanya ada satu yang memiliki akreditasi A,
mayoritas B atau C. Bahkan, masih ada politeknik yang tidak punya akreditasi
sama sekali. Fakta ini tentu saja menyedihkan, mengingat kita butuh banyak
tenaga terampil yang siap bekerja. Sering kali ada keluhan jurang antara
kebutuhan tenaga kerja di satu bidang dan lulusan yang siap. Hal ini tentu
jadi tantangan bagi PT untuk menyediakan lebih banyak tenaga yang siap kerja.
Angin segar datang baru-baru
ini mengenai langkah tegas pemerintah dalam memperbaiki penyelenggaraan PT di
Indonesia. Kemristek dan Dikti akan menertibkan PTS yang tak sesuai standar
minimal pendidikan tinggi. Bagi PT yang tidak sesuai kriteria bakal langsung dicabut
izinnya pada 2019. Kemristek dan Dikti memberi kesempatan PTS untuk merger
atau bergabung dengan PTS lain untuk menghindari pencabutan izin. Hingga 2019
nanti Kemristek dan Dikti berencana menutup sekitar 1.000 PTS. Hanya PTS yang
layak menjalankan pendidikan tinggi yang akan dipertahankan.
Kehadiran universitas korporasi
mestinya bisa mengisi kekosongan dalam dua hal, yaitu menyediakan kapasitas dalam pendidikan
vokasi dan pendidikan di daerah terpencil. Daerah di mana belum tersedia
layanan pendidikan tinggi yang cukup berkualitas, universitas korporasi bisa
hadir. Jangan justru universitas korporasi ikut meramaikan persaingan di
tempat yang sudah tersedia banyak pasokan. Sebab, di tempat terpencillah
pemerintah belum mampu menyediakan layanan pendidikan tinggi.
Di banyak daerah kondisi PT
atau prodi yang terengah-engah mencari tenaga pendidik yang memenuhi
kualifikasi maupun kompetensi. Mereka tidak saja sulit memenuhi minimum tingkat pendidikan, juga
sulit mencari yang bidangnya sesuai dengan bidang prodi yang didirikan. Ini
masalah besar. Ketika suatu prodi kekurangan dosen, maka akan sulit untuk
mendapatkan akreditasi. Jika tidak mendapatkan akreditasi, maka nasib
lulusannya yang akan dikorbankan dan sulit mendapatkan pekerjaan.
Di tempat tertentu di mana
pemerintah belum mampu menyediakan layanan pendidikan tinggi, peran swasta
sangat penting. Namun, PTS yang benar-benar ingin membantu kekosongan layanan
pendidikan ini tidak mudah memenuhi syarat. Sementara di kota-kota besar di
Pulau Jawa atau Sumatera dan Sulawesi banyak berkembang universitas abal-abal
yang proses pembelajaran, sarana, dan SDM-nya tidak memenuhi syarat. Jadi,
mesti dibedakan jenis PTS nakal dan yang memang dalam kesulitan.
Ditjen Dikti sudah merespons
dengan baik kondisi ini. Beberapa usulan pendirian universitas akademik oleh
perusahaan ditolak dan disarankan mendirikan universitas vokasi. Syarat
pendirian PT vokasi lebih berat dari sisi fasilitas dan syarat kerja sama
dengan industri. Tidak mudah mengharapkan yayasan kecil membangun pendidikan
tinggi vokasi. Maka, korporasilah yang diharapkan hadir untuk mengisi
kekosongan itu sehingga kebutuhan tenaga kerja siap pakai bisa dipenuhi.
Pemerataan dan infrastruktur
Masalah PT di Indonesia tidak
hanya masalah kuantitas dan kualitas, tetapi juga masalah pemerataan. Umumnya
PT bagus sebagian besar berada di Pulau Jawa. Sementara PT di luar Jawa hanya
sedikit yang bagus dan masih didominasi oleh PT negeri. Jika suatu daerah
belum ada PTN, maka swasta sangat berperan di sana dalam menyediakan layanan
pendidikan tinggi. Namun, PTS di daerah terpencil pasti mengalami masalah
dengan SDM. Minimnya fasilitas menjadi alasan utama SDM yang bagus untuk
mengabdi pada PTS kecil di daerah terpencil atau pelosok. Pengalaman sebagai
asesor maupun tim evaluasi kinerja PT memberi tambahan informasi soal ini.
Sebuah PTS sulit maju karena
SDM-nya kurang berkualitas. Ingin merekrut SDM berkualitas masalahnya pada
dana dan kondisi daerah. SDM berkualitas menuntut upah yang memadai serta
kenyamanan tempat dan fasilitas untuk tinggal. Dalam kondisi begitu,
sebenarnya universitas korporasi perlu hadir. Mereka diharapkan mampu membuat
perubahan dengan hadir di tempat yang sepi dan ketinggalan.
Seperti umumnya sekolah di AS,
beberapa unversitas besar justru dibangun di daerah yang sepi sehingga akan
membuat kota itu hidup karena akan didatangi mahasiswa dan para pengajar.
Tentu saja pemerintah perlu menyediakan infrastruktur yang memadai. Dalam
konteks ini, sebenarnya pembangunan infrastruktur oleh pemerintahan Joko
Widodo sangat diperlukan. Karena dari sanalah pergerakan manusia akan
dimulai. Orang- orang ingin bekerja di tempat yang tidak padat dan sibuk,
tetapi tetap layak dan nyaman untuk bisa berkembang.
Tak benar bahwa pembangunan
infrastruktur mengesampingkan pendidikan. Pendidikan memang penting, tetapi
pendidikan tanpa dukungan infrastruktur juga akan kehilangan kekuatannya.
Sebab, justru infrastruktur yang baik akan menjadi daya tarik agar manusia
berkualias mau bekerja di daerah-daerah. Infrastruktur jalan, bandara, dan
pelabuhan jelaslah sangat penting dalam rangka memeratakan dan memajukan
pendidikan. Selain itu, dukungan teknologi informasi yang baik berupa
sambungan internet akan memudahkan SDM dalam bekerja di bidang akademik di
daerah. Dari situ kualitas dan pemerataan pendidikan tinggi bisa lebih cepat
diperbaiki. Universitas korporasi bisa membantu mengisi kekurangan penyediaan
layanan pendidikan di daerah dan memperbanyak pendidikan vokasi dengan tetap
berhitung dari sisi keuangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar