Senin, 27 November 2017

Perang Proxy di Lebanon (1)

Perang Proxy di Lebanon (1)
Dinna Wisnu ;  Pengamat Hubungan Internasional
                                              KORAN SINDO, 22 November 2017



                                                           
SEBERAPA besar keinginan rakyat Lebanon untuk damai tampaknya tidak cukup kuat untuk menahan pengaruh intervensi kepentingan negara lain. Gejala ini jelas terasa bersamaan dengan transisi yang terjadi di Arab Saudi, Suriah, serta hubungan dunia Arab dengan Amerika Serikat (AS). Tentu perlu kajian ilmiah lebih dalam untuk menyelidiki hubungan tersebut satu sama lain sehingga dalam kesempatan ini saya hanya mencoba menggambarkan fenomenanya.

Dalam bagian pertama minggu ini, saya mencoba meringkaskan hubungan antara Arab Saudi dan Lebanon serta bagian kedua akan meringkaskan hubungan antara Iran dan Lebanon. Kita mungkin heran mengetahui seorang perdana menteri dari sebuah negara berdaulat mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya saat berkunjung ke negara lain. Ini bukan peristiwa langka, melainkan terjadi di Arab Saudi seminggu lalu.

Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan undur dari jabatannya sebagai perdana menteri di Arab Saudi dengan alasan menjadi sasaran percobaan pembunuhan dari Iran. Dia juga menyatakan alasan pengunduran dirinya karena intervensi Iran di negara-negara Arab seperti Irak, Suriah, Bahrain, dan Yaman. Intinya bahwa pengunduran diri itu memecah kembali koalisi yang terjadi Lebanon sejak terbentuknya pemerintahan yang dianggap relatif stabil sejak 2016.

Peristiwa pengunduran diri Hariri ini menarik karena terjadi bersamaan dengan proses konsolidasi di Arab Saudi dan mulai berkurangnya pengaruh ISIS di wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Pengaruh ISIS yang berkurang juga memberikan makna potensi menguatnya pengaruh Iran di beberapa kawasan.

Apabila kita melihat sepak terjang Arab Saudi yang cukup keras (seperti kepada Qatar) beberapa tahun terakhir, kita mungkin akan melihat kawasan Timur Tengah yang memanas. Harapan bahwa dengan berkurangnya kekuatan ISIS juga akan berkurang konflik di Timur Tengah bisa jadi hanya tinggal harapan.

Lebanon sendiri adalah sebuah negara yang baru setahun belakangan ini menikmati kedamaian. Konflik tampaknya tak pernah benar-benar hilang dari negara ini.

Hal ini mungkin disebabkan Lebanon secara geografis berbatasan langsung di bagian utara dan timur dengan Suriah, sementara wilayah selatan dengan Israel. Pengaruh Syiah sangat dominan di Lebanon terutama yang berasal dari Organisasi Hizbullah.

Pengaruh Hizbullah di Lebanon dapat dikatakan seperti negara dalam negara. Mereka tidak menjelma menjadi negara karena alasan praktis, karena bila itu terjadi dikhawatirkan dukungan dunia terhadap Lebanon yang disimbolkan sebagai negara dengan multiagama dan multietnis akan berkurang.

Simbol multietnis dan agama itu penting bagi Lebanon karena sejak mereka merdeka dari jajahan Prancis, perseteruan antara kekuatan dari agama tertentu dan yang lain tidak pernah berhenti. Perseteruan itu sendiri akhirnya mengundang intervensi dari negara-negara sekitar yang juga masih berkonflik, terutama antara pengaruh dari Israel, Arab Saudi (Sunni), dan Iran (Syiah).

Meski demikian, masyarakat Lebanon pada satu titik juga menginginkan perdamaian sehingga mereka menyepakati pembagian kekuasaan yang dianggap cukup representatif. Beberapa jabatan penting dan tinggi diperuntukkan bagi anggota kelompok agama tertentu.

Presiden, misalnya, harus dari kalangan Kristen Maronite, perdana menteri dari kalangan Muslim Sunni, ketua parlemen dari kalangan Muslim Syiah, wakil perdana menteri dan wakil ketua parlemen dari kalangan Ortodoks Timur. Sistem ini dimaksudkan untuk mencegah konflik sektarian dan upaya untuk mewakili distribusi demografis yang adil dari 18 kelompok agama yang diakui di pemerintahan.

Peran Arab Saudi

Faktor keluarga Kerajaan Arab Saudi tentu sangat terkait dalam peristiwa ini karena pengunduran diri PM Saad Hariri dilakukan di sana. Kerajaan Arab Saudi yang sebetulnya saat ini de facto dipimpin Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) memiliki sikap politik yang lebih agresif dibandingkan ayahnya. Hal ini terlihat dalam aksi di Yaman, pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar, dukungan terhadap oposisi di Suriah, dan yang menarik adalah kedekatan rahasia dengan Israel meski tidak memiliki hubungan diplomatik.

Hampir keseluruhan intervensi yang dilakukan Arab Saudi adalah untuk mencegah meluasnya pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah. Rasa khawatir ini semakin kuat seiring dengan dicapainya kesepakatan perjanjian damai nuklir 5P+1 yang memulai terbukanya ekonomi Iran bagi pasar dan investor internasional.

Oleh sebab itu, Raja Salman cukup bergembira ketika Presiden AS Donald Trump tidak mengesahkan sertifikasi yang diwajibkan oleh kesepakatan tersebut, meskipun masih belum 100% yakin karena pada masa kampanye, Trump mendukung Iran dalam melawan ISIS.

 Hubungan Kerajaan Arab Saudi dengan PM Saad Hariri amat dekat karena selama ini Lebanon mendapat bantuan keuangan dari Arab Saudi untuk menstabilkan ekonominya. Kerajaan Arab Saudi mendepositokan dana USD860 juta di Banque du Liban, bank sentral Lebanon yang diketahui untuk membantu menstabilkan lira Lebanon ketika Rafiq Hariri, almarhum ayah Saad yang mati terbunuh tahun 2005, pertama kali terpilih sebagai perdana menteri pada 1992.

Bantuan itu diberikan pascaperang sipil yang terjadi di Lebanon sejak 1975–1990. Bantuan itu juga memiliki kepentingan politik agar Lebanon tidak 100% dapat dikuasai Hizbullah yang pro kepada Iran.

Populasi Sunni lebih banyak daripada Syiah di Lebanon, tetapi tidak cukup banyak untuk dapat mendikte arah politik di dalam negeri. Kondisi sama kuat ini yang membuat ketegangan terus terjadi dan rasa saling percaya tidak tumbuh di antara dua kelompok, Sunni dan Syiah, di Lebanon.

Tetapi di sisi lain, bantuan itu juga mau tidak mau harus diberikan Arab Saudi kepada Lebanon karena bila tidak ada pihak Sunni––terutama dari negara di Timur Tengah, yang memberikan bantuan, maka kekosongan itu dapat dimanfaatkan oleh Iran lewat Hizbullah. Artinya, pilihan di Lebanon sangat dilematis dan kontradiktif.

Hal ini misalnya pernah diuji ketika Arab Saudi mengumumkan akan membatalkan bantuan USD3 juta untuk militer Lebanon pada 2016 sebagai bentuk protes keterlibatan Hizbullah dalam perang, baik di Suriah maupun Yaman.

Bantuan itu awalnya diberikan dengan harapan agar militer Lebanon dapat lebih kuat dan independen dari milisi Hizbullah. Namun setelah setahun negosiasi, bantuan itu akhirnya dapat dicairkan kembali karena diyakini bahwa semakin lemahnya militer Lebanon tidak akan menguntungkan siapa pun, terutama pihak Sunni.

Namun dengan mundurnya PM Saad Hariri sebagai perdana menteri di tengah konsolidasi MBS menjadi raja, Arab Saudi tampaknya akan mengambil langkah yang lebih keras lagi terhadap Lebanon. Sikap keras ini terutama juga dipicu oleh serangan roket yang diluncurkan dari Yaman, tetapi berhasil digagalkan oleh militer Arab Saudi sehari sebelum berita pengumuman diri tersebut.

Sikap paling keras yang dapat dilakukan oleh Arab Saudi minimal adalah memutus hubungan diplomatik seperti yang dilakukan terhadap Qatar. Apabila hal itu terjadi, ekonomi di Lebanon dapat terguncang karena hampir sebagian besar pendapatan berasal dari remitan pekerja Lebanon yang bekerja di negara-negara Teluk (Arab Saudi, UAE, Bahrain, Kuwait, dll). Jumlahnya mencapai 16% dari GDP nasional Lebanon.

Sebelum krisis ini sendiri terjadi, Arab Saudi sudah mengurangi sejumlah pekerja asing sebagai bagian dari visi 2030. Guncangan itu semakin bertambah kuat apabila Arab Saudi benar-benar mengambil deposito yang ada di Bank Sentral Lebanon. Nilai mata uang lira Lebanon minimal terguncang apabila tidak jatuh dalam.

Investasi di Lebanon juga akan terkena pengaruh karena hampir lebih dari 80% berasal dari negara-negara Teluk. Investasi itu sendiri sebetulnya juga tidak bertambah sejak 2012 ketika peran Suriah mulai berkecamuk, namun ekonomi Lebanon akan semakin runyam apabila terisolasi seperti yang dialami oleh Qatar.

Dari sepintas gambaran tersebut, kita bisa melihat dan memperhatikan kebijakan apa yang akan diambil oleh Lebanon seusai pengunduran diri PM Saad Hariri. Apakah Lebanon akan berusaha menjaga jarak hubungan dengan Irak dan Hizbullah, atau justru semakin mendekatkan diri dengan mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar