Senin, 27 November 2017

Konspirasi, Nasionalisme, dan Arab Acakadut

Konspirasi, Nasionalisme, dan Arab Acakadut
Ikhwanul Kiram Mashuri ;  Penulis Kolom RESONANSI Republika
                                                 REPUBLIKA, 20 November 2017



                                                           
Ada beberapa hal yang menyebabkan Timur Tengah rawan konflik dan damai semakin menjauh dari kawasan itu. Pertama, adanya konspirasi global. Konspirasi ini telah berlangsung sejak Deklarasi Balfour (the Balfour Declaration).

Deklarasi ini berupa pernyataan dari Arthur James Balfour (1848-1930) kepada pemimpin komunitas Yahudi Inggris Lord Walter Rothschild untuk disampaikan kepada Federasi Zionis ke seluruh Inggris Raya dan Irlandia. Isinya sebuah janji untuk mendukung keinginan Zionis untuk “tanah air Yahudi” di wilayah Palestina.

Deklarasi itu dibuat Balfour pada 2 November 1917 ketika ia menjabat menteri luar negeri Inggris Raya antara 1916-1919. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi perdana menteri (1902-1905). Deklarasi itu berkekuatan dahsyat karena, sebagaimana bunyi sebuah ungkapan “sejarah ditulis oleh para pemenang”, Inggris pada sekitar Perang Dunia I (1914-1918) ibarat penguasa empat penjuru mata angin. Sangat digdaya. Itulah sebabnya mereka menyebut dirinya sebagai Great Britain alias Inggris Raya.

Sejak Deklarasi Balfour itu, terjadilah gelombang hijrah orang-orang Yahudi dari seluruh dunia ke Palestina, apalagi ketika pada 1922 Liga Bangsa-Bangsa (sekarang Perserikatan Bangsa-Bangsa)—yang waktu itu dikuasai negara-negara kolonial—memercayakan mandat atas Palestina kepada Inggris Raya.

Mandat ini diberikan setelah pada Perang Dunia I (PD I) Kesultanan Usmaniyah kalah perang melawan sekutu—Inggris, Prancis, dan Rusia. Akibat dari kekalahan itu, antara lain terlepasnya Palestina dari kekuasaan Kesultanan Turki.

Sebelum PD I, populasi Yahudi di Palestina hanyalah minoritas kecil, sekitar 3 persen. Jumlah terbesar adalah Arab Muslim, lalu Arab Kristen. Namun, berkat Deklarasi Balfour, populasi warga Yahudi di Palestina pun meningkat tajam. Dari 11 persen pada 1922 menjadi 33 persen pada akhir PD II (1939-1945).

Pada November 1947, PBB yang baru saja dibentuk oleh sekutu sebagai pemenang PD II—antara lain Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Uni Soviet, Tiongkok—menyetujui untuk membagi Palestina menjadi dua negara: satu negara Arab dan satu negara Yahudi. Di sinilah untuk pertama kali AS terlibat dalam “persekongkolan” untuk mendukung negara Yahudi.

Namun, pembagian itu langsung ditolak negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab. Di antara alasannya karena kaum Yahudi mendapatkan 55 persen wilayah Palestina meski mereka hanya 33 persen dari seluruh penduduk di daerah ini.

Namun, bagi kaum Yahudi, pembagian ini jelas bagai durian runtuh. Mereka pun segera memproklamasikan kemerdekaan Negara Israel pada 14 Mei 1948. Sejak itu, populasi Israel pun meningkat drastis, dari 800 ribu menjadi 2 juta jiwa dalam kurun waktu 10 tahun (1948-1958). Kini, jumlah penduduk Israel sudah lebih dari 8 juta jiwa.

Keberadaan negara Zionis Israel persis di jantung Arab ini tentu tak terlepas dari dukungan penuh negara-negara besar, terutama Barat dan khususnya AS yang telah menjelma menjadi kekuatan dunia. Dukungan yang tentu saja dimaksudkan untuk mengacakadut kawasan Timur Tengah. Tepatnya untuk tetap “mengendalikan” negara-negara di kawasan yang kaya minyak dan gas itu.

Hebatnya lagi, konflik Arab-Israel itu pun mulai digeser atau dipersempit menjadi konflik Palestina-Israel. Bahkan, kini Israel dikesankan sebagai “anak manis”. Israel bukanlah biang persoalan di Timur Tengah. Yang menjadi persolan utama justru Iran, kelompok-kelompok radikal dan teroris, serta rakyat dihasut yang kemudian melawan penguasa.

Jadi, inilah yang disebut konspirasi global itu. Hanya bisa diraba siapa dan di mana otaknya, tetapi sangat nyata pengaruhnya.

Bentuk lain konspirasi global di Timur Tengah juga terwujud dalam sebuah perjanjian rahasia pada 1916 antara Inggris Raya dan Prancis yang disetujui Kerajaan Rusia. Perjanjian itu dikenal dengan the Sykes-Picot Agreement.

Sykes diambil dari nama diplomat Inggris Sir Mark Sykes, sedangkan Picot adalah dari nama diplomat Prancis Francois Georges-Picot. Perjanjian berisi pembagian pengaruh dan kendali wilayah-wilayah di Timur Tengah setelah runtuhnya Kesultanan Usmaniyah itu telah memaksa perbatasan wilayah negara-negara Arab berdasarkan kepentingan kolonial.

Akibatnya, sebuah suku bangsa seperti Kurdi harus hidup terpecah dalam beberapa negara—Turki, Suriah, Irak, dan Iran. Sebuah referendum di wilayah Kurdistan yang menuntut kemerdekaan bangsa Kurdi pun ditentang ramai-ramai oleh empat negara tersebut. Juga ketika Presiden Saddam Husein menginvasi Kuwait pada 1991. Salah satu alasannya karena Kuwait pernah menjadi bagian dari Irak jauh sebelum the Sykes-Picot Agreement.

Pun yang terjadi di Lebanon sekarang ini tak terlepas dari the Sykes-Picot Agreement itu. Salah satu pihak yang merancang pembagian kekuasaan yang sangat aneh dan sekaligus rawan konflik adalah kolonialis Prancis yang waktu itu mendapatkan bagian wilayah jajahan Lebanon.

Pembagian kekuasaan itu adalah presiden menjadi jatah Kristen Maronit, perdana menteri jatah Muslim Suni, ketua parlemen Muslim Syiah. Begitu pula para menteri yang dijatah untuk semua kelompok di Lebanon.

Pembagian kekuasaan yang diharapkan untuk mencapai persatuan ini pada kenyataannya justru menjadi ajang konflik berkepanjangan dan bahkan perang saudara. Masing-masih ingin berebut kue kekuasaan, apalagi kelompok-kelompok itu pun masih terbagi-bagi lagi dalam kelompok yang lebih kecil.

Hal kedua yang menyebabkan Timur Tengah rawan konflik adalah munculnya negara-negara nasional setelah PD II. Di satu sisi, kemunculan negara-negara nasional itu menjadi penting untuk menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajahan.

Namun, di sisi lain, kepentingan nasional tidak jarang memunculkan konflik dengan negara-negara lain, apalagi bila negara nasional itu dipimpin oleh seorang tokoh yang mempunyai ego besar. Ego yang ingin mengangkangi negara lain. Nama-nama seperti Gamal Abdul Nasir, Anwar Sadat, Muammar Qadaffi, Hafid Assad, dan Saddam Husein, sekadar menyebutkan contoh.

Akibatnya, Liga Arab pun gagal mempersatukan 22 negara anggotanya. Saling kritik dan adu mulut para pemimpin kerap berlangsung di setiap pertemuan puncak Liga Arab, termasuk ketika mereka membahas negara Palestina sekali pun.

Pengucilan Qatar oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir adalah contoh lain bahwa kepentingan nasional lebih menonjol daripada kepentingan bersama. Begitu pula Qatar yang tidak mau tunduk kepada tuntutan keempat negara tersebut. Juga dengan alasan untuk kepentingan nasional.

Demi kepentingan nasional pula ketika Turki, Iran, Irak, dan Suriah mengancam menyerang Kurdistan bila bangsa Kurdi itu ingin memerdekakan diri dari Irak. Perang mulut dan saling mengancam antara para pemimpin Saudi dan pemimpin Iran juga tidak terlepas dari kepentingan nasional masing-masing.

Kepentingan nasional tampaknya telah mengalahkan kesamaan agama, bahasa, dan budaya. Lihatlah, 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab mempunyai kesamaan dalam tiga hal tadi. Namun, berbagai kesamaan itu tidak mampu mencegah konflik di antara mereka.

Para pemimpin di Timur Tengah tampaknya perlu belajar dari negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN (Association of South-East Asian Nations). Sepuluh negara yang kini berhimpun dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ini bisa dikatakan dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis meski masing-masing negara berbeda sejarah, ideologi, bahasa, agama, dan budaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar