Pemimpin
Visioner
Gun Gun Heryanto ; Dewan Juri Indonesia Visionary Leader KORAN
SINDO
|
KORAN
SINDO, 28 November 2017
INISIATIF untuk memberi ruang dialektika
sekaligus apresiasi pada kemunculan para pemimpin visioner di banyak daerah,
digelar KORAN SINDO pada 28-29 November ini dalam Program Indonesia Visionary
Leader (IVL). Para kepala daerah dan yang berniat menjadi kepala daerah
diundang untuk mempresentasikan gagasannya dalam merumuskan,
mengomunikasikan, dan mengimplementasikan visi mereka di wilayah
kepemimpinannya.
Program ini menjadi momentum uji kompetensi
melalui sejumlah indikator ilmiah untuk memastikan pemimpin di banyak daerah
memiliki gagasan dan orientasi kerja sebagai pemimpin visioner!
Dimensi
Pengukuran
Indonesia saat ini sedang bergerak menuju
konsolidasi demokrasi yang tak hanya berjalan di Jakarta melainkan juga di
banyak daerah. Paradigma pembangunan tak lagi Jakarta Centris melainkan harus
Indonesia Centris. Oleh karena itu, pemerintah di pusat harus bersinergi
dengan pemerintah di daerah yang memiliki visi membangun Indonesia dari
daerah.
Ada dua dimensi yang menjadi pengukuran
IVL, yakni visioner dan operasional. Visioner difokuskan pada empat kemampuan
utama yang akan dikonfirmasi, dikritisi, dicek, dan dibuktikan oleh panel
expert yang bersifat independen.
Pertama, kemampuan menciptakan visi dan
tujuan yang jelas berkenaan dengan pemahaman tentang masa depan
kepemimpinannya yang lebih maju. Kedua, kemampuan untuk mendapatkan dukungan
dan kepercayaan dari warga dalam merealisasikan visi yang telah ditetapkan.
Dalam hal ini, tentu pemimpin yang visioner bukan semata mampu meyakinkan
kelompok pendukungnya, melainkan piawai berkomunikasi secara lintas sektoral
dan bersinergi dengan banyak pihak untuk membangun kepercayaan publik (trust
building).
Pada era seperti saat ini, tak cukup
bergerak sendirian. Pemimpin harus mampu membangun semangat kekitaan dalam
prinsip kebersamaan, bukan keakuan atau ego personal maupun kelompok.
Membangun good seciety di Indonesia perlu
mengukuhkan ulang prinsip komunitarian. Amitai Etzioni pernah menulis di
bukunya The Spirit of Community: Reinvention of American Society (1993),
bahwa prinsip komunitarian ini berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan
moral baru kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan
nilai kebersamaan, tanpa puritanisme dan penindasan.
Yang penting dari prinsip ini, masyarakat
perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai
kekitaan yang bersifat komunitarian. Artinya, kekitaan yang tidak menindas
keakuan dan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Saat pemimpin memiliki
konsep yang jelas dalam membangun berdasarkan prinsip kekitaan, berpotensi
besar mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
kelompok politiknya.
Ketiga, kemampuan mewujudkan visi-misi ke
dalam berbagai program. Sosok transformatif memiliki keunggulan dalam
memadukan dua kesadaran yang sama pentingnya, yakni kesadaran diskursif
(discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness).
Bukan semata pandai berwacana, manis
beretorika, melainkan juga langkah-langkahnya konkret dan dirasakan nyata
kiprahnya. Sosoknya visioner, solutif, dan bukan bagian dari masalah di masa
lalu.
Dalam menjaga performa, tentu saja terkait
dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja.
Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas diri seseorang dengan
segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan rekam jejak kerja
nyatanya. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and
Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai metafora yang
menggambarkan proses simbolik pemahaman tentang perilaku manusia dalam sebuah
organisasi.
Citra perlu, tapi bukan segalanya, karena
jika pemimpin terjebak ke dalam politik citra berlebihan maka akan senantiasa
menghadirkan hiperealitas. Tentu, sosok transformatif tak akan menjadikan
politik citra segalanya karena basis tindakannya selalu mengacu pada agenda
kerja. Citra diposisikan secara proporsional sebagai salah satu bagian
penunjang dalam merealisasikan agenda kerja bukan sebaliknya menjadikan citra
dominan.
Keempat, kemampuan dalam menciptakan
strategi yang inovatif, mengubah pemikiran konvensional dengan pemikiran yang
progresif dan lebih sistematis. Para nominator yang layak diapresiasi sebagai
Indonesia Visionary Leader (IVL) harus memiliki kemampuan refleksivitas
organisasi birokrasi secara memadai.
Poole, Seibold, dan McPhee dalam Hirokawa
RY & MS Poole di bukunya Communication and Group Decision Making
(1986:237-264), memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam
setiap upaya membangun perbaikan organisasi termasuk birokrasi. Refleksivitas
pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan
dan perilaku mereka.
Sebagian besar refleksivitas didasarkan
pada pengalaman masa lalu yang dimiliki seseorang pemimpin daerah. Dengan
membaca masa lalu dan memperbaikinya, sesungguhnya bisa menatap masa depan
yang jauh lebih baik.
Operasional
Penilaian
Secara operasional, IVL difokuskan pada
tiga perspektif. Pertama, perspektif finansial yakni kemampuan pengelolaan
keuangan daerah yang efektif, ekonomis, efisien, transparan, bertanggung
jawab, dan adil.
Kedua, perspektif pelanggan (masyarakat).
Hal ini terkait dengan pemenuhan pelayanan dalam hal efisiensi program yang
dihasilkan, kualitas dan efektivitas program, serta rasio antara usaha
pelayanan yang dilakukan pemerintah dan hasil pelayanan yang dinikmati
masyarakat. Dalam hal ini, termasuk kerja pelayanan komunitas (community
services), yakni rekam jejak untuk melayani banyak orang melalui kerja
profesional maupun gerakan kerelawanan (volunteerism).
Ketiga, perspektif pembelajaran dan
perkembangan (learning and growth). Adanya peningkatan pemberdayaan dan
peningkatan partisipasi masyarakat. Hal ini terkait dengan pemberdayaan
komunitas (community empowerment) yakni turut membantu banyak orang agar
mandiri, dan menggerakkan mereka untuk memiliki keterampilan (skill) serta
sikap atas beragam persoalan dirinya dan publik di mana mereka berada.
Hal lain dari perspektif ini adalah
hubungan komunitas (community relations), yakni rekam jejak hubungan sosial
yang bagus dengan lingkungan di mana para nominator berada. Baik dalam
lingkup sosial maupun profesional terutama yang teridentifikasi dalam
sejumlah publikasi media massa dan laporan masyarakat.
Dalam konteks panel expert, indikator-indikator
penilaian yang lebih rinci diturunkan dari lima kategori utama yakni:
ideologi visioner, kinerja ekonomi, leadership, integritas, dan komunikasi.
Sejumlah orang yang masuk nominasi IVL diharapkan menjadi contoh (role
model), bahwa masih banyak sosok di Indonesia yang sungguh-sungguh bekerja
bukan semata berwacana.
Yang jelas, apresiasi semacam ini bukan
semata gaya-gayaan atau sekadar pencitraan di kulit permukaan. Ada nilai yang
hendak dibangun dari IVL ini, yakni menyemai semangat para pemimpin visioner
yang mendedikasikan diri mereka secara optimal di daerah masing-masing.
Saatnya pemimpin punya gagasan dan bekerja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar