Agama
Jadi Tersangka
Haedar Nashir ; Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2015-2020
|
REPUBLIKA,
26 November
2017
Kasus “hilangnya” Ketua DPR Setya Novanto
pada Rabu malam (15/11/2017) lalu secara gegabah telah dimanfaatkan dua orang
penulis untuk mengarang artikel yang penuh insinuasi terhadap diri Sumitro
Djojohadikusumo. Dua penulis itu adalah Hendri F. Isnaeni, yang menulis
artikel “Dugaan Korupsi Menteri Sumitro” di situs Historiaid; serta Petrik
Matanasi, reporter media daring Tirtoid, yang menulis artikel “Sumitro
Djojohadikusumo Pernah ‘Menghilang’ karena Dituduh Korupsi”. Dua artikel itu
terbit secara bersamaan pada Jumat, 17 November 2017.
Framing dua artikel itu kurang lebih sama:
hilangnya tersangka kasus korupsi bukan baru kali pertama terjadi, tapi telah
terjadi sejak lama, di mana Sumitro Djojohadikusumo adalah salah satunya. Dua
artikel itu bagi saya sama sekali tak memuat perbandingan yang tepat,
sehingga bersifat sangat tendensius. Ini adalah reproduksi propaganda PKI
akhir tahun 1950-an yang disebarkan secara gegabah karena Sumitro sebagai
tokoh PSI dianggap antikomunis. Secara kebetulan, Sumitro juga dekat dengan
tokoh-tokoh Partai Masyumi yang juga anti-PKI.
Artikel tendensius tadi sepertinya sengaja
diproduksi untuk mendegradasi rekam jejak Sumitro yang juga merupakan ayah
Prabowo Subianto, tokoh yang kini menjadi harapan rakyat Indonesia dalam Pemilihan
Presiden 2019.
Ada dua alasan mengapa artikel-artikel itu
bermasalah dan ngawur.
Pertama, menyandingkan hilangnya SN yang
berstatus sebagai tersangka dengan menghilangnya Sumitro yang tak pernah
mendapat status hukum apapun, kecuali label buruk--yang itupun hanya
diproduksi oleh golongan komunis, jelas tak sepadan. Itu sama sekali bukanlah
pembandingan.
Satu-satunya persamaan yang dijadikan
benang merah oleh tulisan di Tirto, misalnya, hanyalah kondisi sama-sama
“menghilang”. Ini sebuah pembandingan yang bodoh, cacat secara metodik, dan
tendensius. Apalagi, dalam artikel di Tirto secara jelas ditulis, “Ayahanda
Prabowo Subianto, Sumitro Djojohadikusumo, juga pernah kena tuduhan terlibat
korupsi.”
Jika ingin menulis feature sejarah, kenapa
tak membandingkan hilangnya tersangka korupsi hari ini dengan hilangnya Eddy
Tansil di masa lalu, misalnya?! Atau, penulis bisa juga membandingkannya
dengan hilang dan buronnya sejumlah tersangka dan terpidana kasus Skandal
BLBI. Itu pembandingan yang lebih masuk akal.
Kedua, dua artikel tadi sama-sama mengulang
tuduhan dalam bentuk “dugaan korupsi yang dilakukan Sumitro”. Masalahnya
adalah tuduhan berupa “dugaan” itu terjadi pada dekade 1950-an, tepatnya pada
tahun 1957. Sesudah bertahun-tahun lewat, di mana hingga hari ini jaraknya
kurang lebih telah enam puluh tahun, semua tuduhan tadi sebenarnya telah
selesai dijawab oleh banyak catatan sejarah.
Tetapi, dua artikel di Tirto dan Historia
tadi, secara jahat telah memenggal konteks dan narasi sejarahnya hanya
berhenti di fase awal munculnya tuduhan terhadap Sumitro tersebut, sembari
mengabaikan bagaimana duduk perkaranya secara lengkap, baik seturut fakta
yang berkembang pada saat kejadian itu sendiri berlangsung, maupun dari
fakta-fakta yang baru terbuka pada masa sesudahnya.
Sebagaimana bisa kita baca dari berbagai
buku sejarah, tuduhan bahwa Sumitro melakukan tindak korupsi sebenarnya hanya
berasal dari tuduhan yang dilontarkan oleh koran-koran komunis, seperti
Harian Rakjat dan Bintang Timur. Ini dua koran propaganda PKI yang sadis. Dan
dugaan itu tak pernah terbukti. Kesaksian mengenai hal itu bisa kita baca
dari banyak buku. Biografi Sumitro Djojohadikusumo sendiri, “Jejak Perlawanan
Pejuang” (2000), yang juga dikutip oleh dua artikel di Tirto dan Historia,
sudah merangkumkan berbagai kesaksian tersebut.
Baca juga misalnya buku “Lari, Sebuah
Catatan Perjuangan, Pelarian dan Keimanan: Dari Permesta—Orde Baru Soeharto”
2011), yang ditulis Jopie Lasut, salah satu gerilyawan Permesta. Dalam
bukunya Jopie menulis sebuah kesaksian penting. Pada awal 1957 (yang dimaksud
sepertinya Mei 1957—FZ), demikian tulis Jopie, Priyatna Abdurrasyid—yang
kemudian pernah menjadi Jaksa Agung—mendatangi rumah Sumitro di Jalan
Sisingamangaraja, Kebayoran. Dia waktu itu ditugaskan untuk menangkap
Sumitro. Namun, tulis Jopie, penangkapan itu tak pernah dilakukan oleh
Priyatna.
Priyatna sendiri saat itu sudah dikenal
sebagai jaksa dengan reputasi terhormat dalam pemberantasan korupsi. Ia telah
mengibarkan namanya dalam gerakan pemberantasan korupsi sejak masih bertugas
di Kejaksaan Tinggi Bandung. Saat menyambangi Sumitro, Priyatna datang
sebagai aparat PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara), sebuah lembaga
antikorupsi yang didirikan pada 1957 dan dipimpin oleh A.H. Nasution.
Secara terus terang Priyatna menyampaikan
jika dia datang sebenarnya hanya karena disuruh oleh atasannya saja. Namun,
sebagaimana yang telah diperoleh oleh para pemeriksa CPM, Sumitro memang
bersih, sehingga tak ada alasan untuk menangkap atau menahannya. Pada saat
itulah Priyatna kemudian menyarankan agar Bung Cum, demikian panggilan
Sumitro kala itu, untuk menghilang. Menurut Abdul Muis Chandra, mantan
anggota Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), diceritakan jika Priyatna
sendirilah, dengan ditemani Batara Simatupang, yang kemudian akhirnya
mengantarkan Sumitro ke Merak, Banten.
Sebagaimana yang kemudian dicatat oleh
berbagai buku, dari Merak Sumitro kemudian naik perahu motor ke Lampung, lalu
naik kereta api ke Palembang, dan perjalanannya kemudian berakhir di Padang,
yang saat itu menjadi pusat gerakan PRRI. Jadi, Priyatna membiarkan Sumitro
pergi karena yakin tokoh Partai Sosialis Indonesia itu tak bersalah. Dan
bukan hanya membiarkannya pergi, ia bahkan disebut ikut mengantarkannya.
Dua
tulisan di Tirto dan Historia tadi, secara umum saya nilai memang bersifat
tendensius, karena mengabaikan konstruksi peristiwa secara lengkap dan tak
memiliki itikad untuk menguji asumsi-asumsi yang dibangunnya.
Tulisan Hendri F. Isnaeni di Historiaid
secara jelas bahkan bisa dianggap sengaja mengaburkan fakta. Ia menulis bahwa
Sumitro tidak pernah memenuhi panggilan CPM (Corps Polisi Militer) hingga
tiga kali, di mana pada pemanggilan ketiga ia kemudian bukan hanya mangkir,
tapi bahkan melarikan diri. Tulisan ini bertendensi fitnah dan cenderung
bersifat disinformatif.
Sebab, jika Hendri memang benar-benar
membaca buku biografi Sumitro Djojohadikusumo, “Jejak Perlawanan Begawan
Pejuang” (2000), sebagaimana yang dikutip dalam artikelnya itu, bagian yang
dikutip Hendri, yaitu saat Sumitro berpamitan kepada Sjahrir (hal. 209),
hanya berselang dua halaman saja dari cerita bahwa Sumitro pertama kali
menghadiri panggilan CPM Bandung pada 23 Maret 1957. Panggilan kedua terjadi
saat Sumitro baru kembali dari Tokyo. Ia diperiksa pada 6-7 Mei 1957. Dari
dua pemeriksaan itu, karena para pemeriksa menemukan tak ada dasar dan alasan
untuk menahan, iapun diizinkan kembali ke rumah. Jadi, tidak benar jika
ditulis bahwa Sumitro selalu mangkir dari panggilan.
Cerita tentang dua panggilan itu tertulis
di halaman 207 dan 208 buku biografi Sumitro yang dirujuk Hendri. Tapi secara
gegabah (atau sengaja?), ia menulis bahwa Sumitro telah mangkir dari seluruh
pemeriksaan. Bagian ini, bagi saya, menunjukkan unsur insinuatif dari
tulisannya. Apalagi, hampir semua sumber yang dirujuk, baik oleh artikel
Tirto maupun Historia, sebenarnya adalah sumber-sumber yang telah dirangkum
oleh buku biografi Sumitro sendiri. Mereka sebagian besar hanya menyalinnya.
Sayangnya, penulis dua artikel itu hanya memilih narasi yang berkaitan dengan
tuduhan insinuatif tulisannya saja, dan mengabaikan sanggahan serta fakta
lain yang sebenarnya telah mementahkan tuduhan tak berdasar tersebut.
Tulisan yang dimuat Tirto juga miskin
referensi terkait peristiwa yang diceritakan dan hanya mengandalkan asumsi
saja. Misalnya, Tirto menulis, “Sumitro adalah tokoh PRRI yang tampaknya jauh
dari desingan peluru. Dia turut melibatkan diri dalam PRRI dari
pengasingannya di luar negeri.”
Dalam biografi Ventje Sumual, Memoar (2011),
tokoh utama Permesta tersebut menulis bahwa sesudah PRRI di Sumatera berhasil
dilumpuhkan, pada 1958 PRRI Sulawesi juga harus masuk ke tahap gerilya di
hutan-hutan. Sumual kemudian meminta Sumitro untuk meninggalkan tentara yang
sedang gerilya. Namun Sumitro, tulis Sumual, berkeras menolak permintaan itu.
Ia ingin tetap berjuang di hutan-hutan, meskipun posisi mereka sudah kian
terdesak.
Untuk membujuk Sumitro, Sumual menyampaikan
bahwa sayang sekali jika nantinya seorang intelektual seperti Sumitro harus
mati di hutan. Ia terus meminta agar Sumitro mengasingkan diri ke luar
negeri, sebab dengan berada di luar negeri Sumitro dianggap akan lebih bisa
membantu perjuangan PRRI/Permesta. Sesudah dibujuk berkali-kali, Sumitro
akhirnya luluh. Dengan diantar Sumual, dari Tasuka, sebuah daerah di tepi
danau Tondano, Sumitro kemudian menyingkir dengan pesawat Catalina (hal.
503). Cerita dan kesaksian Sumual itu dengan jelas menunjukkan bahwa Sumitro
bukanlah seorang pengecut.
Sumitro meninggalkan Jawa untuk berjuang
menuntut keadilan hubungan pusat-daerah sekaligus menegur Presiden Soekarno
yang terlalu dekat pada PKI. Saat menjadi menteri, baik pada masa Soekarno
maupun Orde Baru, ia tak pernah memperkaya diri maupun keluarganya. Ia bahkan
melarang keras anak-anaknya untuk berbisnis saat dirinya masih menjadi
pejabat pemerintah.
Baik di kalangan kawan-kawan maupun
lawan-lawan politiknya, Sumitro dianggap sebagai orang yang konsisten dengan
prinsipnya. Itu sebabnya, menyamakan “hilangnya” Sumitro dalam gerakan PRRI
dengan menghilangnya para tersangka korupsi adalah sebuah penghinaan. Ini
sekali lagi merupakan reproduksi propaganda PKI
di jaman now oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Sumitro adalah
seorang yang kokoh anti-komunis (anti-PKI) dan dekat tokoh-tokoh Partai
Masyumi--partai Islam terbesar waktu itu--yang berhaluan sama, yaitu Mohammad
Natsir, Mr. Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, dan
lain-lain. Atas hasutan PKI, kedua partai ini dibubarkan oleh Soekarno secara
sepihak tahun 1960 dan para tokohnya dipenjarakan dengan tuduhan makar tanpa
bukti dan tanpa proses hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar