NU
Sebagai Jangkar Negara
Wardi Taufiq ; Pengurus Pusat LP Ma'arif NU & Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta
|
DETIKNEWS,
24 November
2017
Musyawarah Nasional Alim Ulama
dan Konferensi Besar NU tengah berlangsung di Nusa Tenggara Barat (NTB)
dengan mengangkat tema "Memperkokoh Nilai Kebangsaan Melalui Gerakan
Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Warga". Gelaran terbesar kedua setelah
Muktamar itu dibuka oleh Presiden Joko Widodo, Kamis (23/11). Pada kesempatan
tersebut, Presiden meminta para ulama NU untuk merumuskan dan menyampaikan
rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah, salah satunya, terkait penanganan
ormas-ormas radikal di Tanah Air.
Bagi NU dan pemerintah, gerakan
ormas yang berwajah Islam radikal di Tanah Air penting untuk terus dicermati.
Sebab, gerakan Islam yang kerap disebut kaum puritan tersebut akhir-akhir ini
cenderung meningkat dan lebih terbuka "menggauli" warga bangsa dengan
seperangkat ide-idenya. Salah satu ide yang menyentak publik adalah sistem
khilafah yang diusung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sistem khilafah ala HTI
tersebut kerap menjadi tema pemantik yang memicu silang pendapat yang panas.
Puncaknya adalah terbitnya PERPPU No. 2/2017 Tentang Ormas, yang sekaligus
melegitimasi pembubaran HTI di Indonesia.
Menguatnya gerakan khilafah dan
formalisasi syariat Islam di Tanah Air ditangkap NU sebagai ancaman yang
penuh bahaya bagi Pancasila dan keutuhan NKRI. NU sebagai salah satu ormas
tertua yang memiliki banyak torehan kontribusi terhadap Kemerdekaan negeri
ini menabuh genderang perlawanan terhadap gerakan Islam puritan tersebut.
Karena itu, NU tidak segan-segan mendukung dikeluarkannya PERPPU Ormas yang
melegitimasi pembubaran HTI. Hampir tidak ada ormas lain yang berani ambil
risiko dikecam dan dicaci maki seperti NU, karena menghadang kelompok ini
bisa dipelintir sebagai anti Islam dan pro komunis. Untungnya, pendiri NU
adalah para ulama kawakan dan sekaligus penumpas PKI di Indonesia.
Sesungguhnya, NU sudah lama
mencermati sepak terjang gerakan khilafah di Indonesia. Di banyak forum,
mereka kerap menggaungkan romantisme kejayaan Islam masa lalu baik melalui
lembaga-lembaga pendidikan, masjid-masjid, tablig akbar, maupun situs-situs
online. Ungkapan kafir dan mengkafirkan pihak lain yang tidak sejalan kerap
menjadi bahasa yang wajar bagi mereka. Negara dianggap institusi taghut
sehingga harus diganti dengan sistem khilafah. Namun, perlawanan NU terhadap
ormas radikal tidak jarang menuai kontroversi, meskipun banyak pula yang
memberikan dukungan untuk terus menjaga dan merawat Pancasila dan NKRI.
Bahkan, kepemimpinan NU saat ini dituduh membawa NU pada pola dan gaya Islam
liberal.
Sesungguhnya, NU tidak tertarik
mengembangkan pola pemikiran Islam baik yang bergaya ekstrem-radikal
(wahabi-puritan) maupun yang bercirikan liberal. Dalam pandangan NU, dua pola
keislaman baik yang radikal maupun yang liberal tidak cocok, dan mengandung
bahaya yang sama bagi Indonesia. Jika pola itu dipaksakan akan menimbulkan
banyak problem, dan dapat menghancurkan tatanan sosial yang religius di bawah
payung besar Pancasila. Bagi NU, Indonesia adalah narasi kebhinnekaan yang
memiliki sifat dan karakteristik sendiri, kaya tradisi dan budaya. Karena
itu, sejak awal NU lebih cenderung mengembangkan moderatisme Islam bergaya
walisongo, dengan merevitalisasi prinsip-prinsip aswaja dalam kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan.
Jika merunut sejarah, NU lahir
karena didorong oleh dua narasi besar yang saling menopang satu sama lain,
yaitu visi keagamaan (aswaja, islam moderat) dan kebangsaan (kemerdekaan),
yang hingga kini terus menjadi jati dirinya dalam menjalankan visi
keindonesiaan. Dengan prinsip-prinsip ahlussunnah wal jama'ah (aswaja) yang berintikan
sikap tawassuth (tengah-tengah), tasammuh (toleran dan lapang dada), tawazzun
(seimbang, tidak berat sebelah), i'tidal (tegak lurus untuk keadilan), dan
amar ma'ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah keburukan), NU sangat
mengapresiasi tradisi dan kebudayaan, serta menolak gerakan Islam puritan
yang mengusung formalisasi syariah yang cenderung mengkafirkan dan
membid'ahkan pihak lain yang tidak sejalan.
Pada ranah kebangsaan, NU juga
menjadi penganjur semangat nasionalisme dan menganggap Pancasila dan Islam
tidak perlu dipertentangkan; keduanya dapat berjalan bersama, dan satu sama
lain saling menopang kokohnya NKRI. Komitmen kebangsaan NU dibuktikan dengan
ajaran KH. Hasyim Asy'ari yang dikenal dengan hubbul wathon minal iman (cinta
tanah air merupakan bagian dari keimanan). Untaian "fatwa" tahun
1914 itu terus menjadi urat nadi perjuangan NU hingga sekarang. Fatwa itulah
yang mampu membangkitkan kaum santri mengusir penjajah dari tanah Nusantara.
Dan hingga kini, NU akan terus konsisten menjaga pemahaman ini di tengah
menguatnya gerakan ekstremisme yang acapkali mengusung sistem khilafah dan
alergi terhadap prinsip-prinsip nasionalisme.
Dalam perjalanannya, doktrin
hubbul wathan minal iman telah menjadi bahan dasar Islam ala nahdliyyin yang
dimaksudkan mengawinkan antara nasionalisme dan Islam di Indonesia. Ini pula
yang melahirkan keberislaman NU berbeda dengan beberapa Negara di Timur
Tengah yang mempunyai kesulitan dalam menyatukan keduanya. Karenanya, warisan
KH. Hasyim Asyari yang merupakan konsep Islam Nusantara ini harus senantiasa
kita rawat dan jaga, demi tetap tegaknya Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
NKRI dan UUD '45 di bumi Nusantara tercinta.
Resolusi Jihad adalah kiprah
kebangsaan NU selanjutnya di bumi Nusantara yang paling nyata. Ia merupakan
fatwa yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 untuk
menorehkan semangat perlawanan bahwa membela Tanah Air adalah fardlu ain bagi
setiap warga masyarakat. Dengan Resolusi Jihad itulah yang melahirkan
intifadhah atau penyerangan secara massal oleh masyarakat terhadap penjajah
yang membonceng tentara Sekutu (NICA). Kecintaan NU terhadap bangsa ini terus
dibuktikan pada Muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo yang melahirkan
keputusan penting bahwa Pancasila dan NKRI adalah final.
Bagi NU, semangat keberagamaan
dan kebangsaan yang penuh kebhinnekaan tidak bisa diceraiberaikan sebagaimana
Rasulullah SAW membangun struktur masyarakat Yatsrib dengan Piagam Madinah.
Di sanalah, Piagam Madinah secara jelas mengajarkan nilai-nilai kebangsaan
dan kebersamaan dalam keragaman suku dan agama yang hidup secara berdampingan
dan saling menguatkan sebagai umat yang satu. Yaitu, satu entitas masyarakat
yang tunduk pada satu tata nilai yang sama, masing-masing hak-hak dasarnya
dijamin tanpa merasa terganggu.
Maka sebagaimana semangat
Rasulullah SAW, Nahdlatul Ulama sejak awal berdirinya telah menegaskan sikap
kebangsaannya bahwa bangsa Indonesia bukan darul Islam (negara Islam).
Melainkan, darussalam (negeri yang damai) yang menjadikan Pancasila sebagai
dasar negara demi utuhnya NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar