Para
Pengkhianat Itu
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 27 November 2017
DALAM realitas kontemporernya saat ini,
mesti diakui jujur, perang yang konon sudah selesai pada pertengahan abad
yang lalu sesungguhnya masih berlangsung, bahkan dengan intensitas--juga
korban--yang kian tinggi. Mungkin hanya bentuk dan karakteristiknya yang
berubah.
Namun, intensi hingga tujuan dari perang
itu hampir tidak berubah, merebut dominasi, hegemoni, dan pada akhirnya
profit ekonomis bagi sang pemenang, kehancuran bagi pecundang.
Karena itu, tidak ada negara atau bangsa
mana pun yang tidak tengah menghadapi perang (-nya sendiri).
Ada yang masih melakukan atau terlibat
dalam perang-perang berbentuk tradisional, seperti yang terjadi di Timur
Tengah atau beberapa bagian Afrika.
Ada juga perang-perang bentuk baru, yang
lebih terselubung dan teknologis, seperti perang intelijen modern, perang
penguasaan data, perang melawan intervensi industri dan korporasi global,
dst.
Bahkan dalam sebuah slogan atau tagline
generik semacam 'Perang melawan kemisikinan dan kebodohan', sesungguhnya
memiliki makna juga implementasi praktis yang tidak berbeda dengan
perang-perang yang terjadi sebelumnya, di pelbagai belahan dunia.
Ironis malah tragisnya, ada beberapa perang
mutakhir yang bukan hanya sulit, melainkan juga kehilangan argumentasi untuk
dapat dimenangkan.
'Perang melawan kemiskinan', bagaimana
dapat dimenangkan jika, katakanlah, rasio Gini di setiap negara tidak pernah
berkurang secara signifikan.
Bahkan di banyak negara maju, atau kaya
seperti Tiongkok, rasio itu kian meninggi. Laporan terbaru mengabarkan, empat
orang terkaya di Amerika (Gates, Buffet, Besoz, Slim/Zuckerberg) memiliki
kekayaan yang melampaui harta 60% (atau sekitar 160 juta manusia) penduduk
negeri maju itu.
Apakah kondisi itu akan berakhir dengan
keseimbangan ekonomis (pendapatan) dalam sepuluh, dua puluh, seratus tahun
kemudian? Saya kira mayoritas akan pesimistis dengan perkiraan itu.
Hal atau kondisi yang sama sebenarnya
terjadi di belahan dunia lain, Inggris, Jerman, Jepang, India, juga...
Indonesia, tentu saja.
Anda tahu sendiri, fakta bagaimana hanya 2%
penduduk negeri ini menguasai 70% dari kekayaan negara.
Apa yang terjadi pada 98%-nya, jika mereka
akhirnya merasa hidup mereka sudah ditakdirkan (given) menjadi proletar alias
miskin turun-temurun?
Pengkhianat
itu
Dalam kenyataan yang sama sekali tidak
welfare, tetapi justru warfare permanen itu, logika perang lainnya masih juga
bermain.
Termasuk tindakan atau penyikapan yang
tergolong pada 'pengkhianatan' terhadap posisi atau kepentingan dari
negara/bangsanya sendiri.
Pada masa kini, jenis perilaku perang
tersebut tidak hanya berupa pembelotan atau penjualan informasi intelijen
saja.
Tapi sikap dan tindakan yang menyetujui,
membolehkan, bahkan memfasilitasi demi keuntungan posisi dan kepentingan
pihak lain (lawan) plus keuntungan personal/kelompok, dan di sisi lain
menciptakan dampak buruk.
Kerugian bahkan destruksi bagi
kelompok/bangsanya sendiri, juga tergolong pada arti termatik 'pengkhianatan'
itu.
Karena itu, tindakan-tindakan yang
bersekutu dengan kepentingan asing, menjual rahasia negara, menjadi
komprador, hingga pembuatan kebijakan atau penyusunan regulasi yang
menguntungkan pihak asing dan merugikan banyak pihak sendiri, selaiknya masuk
kategori 'pengkhianatan'.
Begitu pun tindakan-tindakan yang melulu
menciptakan kerusakan/destruksi pada masyarakatnya sendiri, dapat
dicemplungkan dalam golongan yang sama.
Karena ia bukan hanya mengkhianati kodrat
primordialnya, melainkan juga khianat pada tujuan, konstitusi, hingga dasar
negara yang sudah dimufakatkan bersama.
Bagi siapa pun yang tergolong dalam makna
dari terma ini, kita tahu dalam sejarah, apa yang sanksi dan hukuman yang
harus dikenakan padanya. Mereka tidak lagi dapat dimasukkan ke kategori
kriminal, dengan hukum perdata dan pidana yang berlaku, dikenakan pada
mereka.
Karena kerusakan atau kehancuran yang masif
akibat perbuatan mereka tidak mungkin diakomodasi hukum-hukum formal yang
ada.
Pengkhianatan harus diganjar dengan hukum
yang lebih spesifik, hukum darurat atau hukum perang.
Hukum dari bangsa atau negara yang dalam
keadaan perang, dalam pengertian abstrak maupun praktis.
Karena itu, siapa pun warga dari sebuah
negara yang melakukan, misalnya, produksi, distribusi (penjualan), hingga
jebakan-jebakan fisiologis maupun psikologis untuk (mengonsumsi) narkoba,
sesungguhnya tergolong sebagai 'pengkhianat'.
Bukan saja akibatnya yang masif, hingga
merusak masa depan sebuah generasi, tindakannya yang melanggar semua bentuk
norma, cita-cita pendiri bangsa, konstitusi hingga ideologi, mau tidak mau,
secara logis, menggolongkan para penjahat tersebut sebagai 'pengkhianat'
negara dan bangsa.
Tidak peduli bila perbuatan-perbuatan
khianat tersebut melibatkan pihak asing atau sekadar demi kepentingan
material personal/komunal, sebagaimana juga yang dilakukan para teroris
lokal, selayaknya masuk kategori 'pengkhianatan'.
Akhirnya, dalam logika yang sama, tindakan
negatif sekelompok warga yang melakukan korupsi, dengan nilai yang tinggi
sehingga menciptakan destruksi massal, sewajarnya mendapatkan kategori yang
sama.
Tindakan koruptif atau pembangkangan, dalam
arti melawan negara, termasuk melanggar lalu lintas, merusak properti negara
di ruang publik, atau ngetit uang negara, mencuri sisa anggaran atau me-mark
up program kerja dan sebagainya, memang sudah jadi bagian dari 'perilaku
kolektif' yang hukum dan aparatusnya seperti invalid menghadapinya. Semua itu
bisa tergolong pidana.
Namun, lain halnya dengan tindakan-tindakan
berakibat masif di atas, tidak cukup digolongkan pada extraordinary yang
masih termaktub dalam kelas pidana, keluarbiasaan itu harus dimaknai lebih
karena hukuman pidana seberat apa pun tidak akan setimpal dengan dampak dari
perbuatan mereka. Hukumnya juga harus luar biasa, hukum perang dalam hal ini,
misalnya.
Hukum
setimpal
Salah satu dari hukum perang konvensional,
para komprador atau pengkhianat biasanya dieksekusi, dieliminasi, atau
katakanlah ditembak 'di tempat'. Tidak dibutuhkan lagi proses-proses
tribunal, antara lain.
Namun, masa kini, dengan jargon--yang
sesungguhnya tidak terpraktikkan--'supremasi hukum', semua harus melalui
proses tribunal yang melelahkan.
Hasilnya koruptor miliaran hingga triliunan
perak uang rakyat mendapat ganjaran penjara sekian belas bulan atau sedikit
tahun saja.
Tak ada koruptor dihukum mati walau
dampaknya secara sosiologis, politis, ekonomis, hingga kultural sama beratnya
dengan narkoba dan terorisme.
Para pembela HAM akan selalu ribut, untuk
satu hukuman mati, tanpa mempertimbangkan ribuan bahkan jutaan yang
diakibatkan terhukumnya.
Untuk 'menyervis' para pembela HAM, banyak
hukuman akhirnya dijatuhkan tidak setimpal dengan perbuatan.
Bahkan dalam kategori pengkhianatan yang
terurai di atas.
Karena itu, bila hukuman mati (secara
biologis), alias tembak atau disetrum di tempat, tidak bisa dilakukan, saya
kira ada beberapa hukuman lain yang cukup sepadan dengan perbuatan para
pengkhianatan.
Hukuman atau sanksi yang tidak membunuh
secara biologis, tapi bisa juga 'hanya' secara ekonomis, sosiologis, hingga
politis.
Dasar argumennya ialah argumentasi
pengkhianatan di atas, yakni seorang warga negara jika sudah melanggar atau
mengkhianati negara dan bangsa dengan seluruh perangkat keras maupun
simbolisnya sesungguhnya ia sudah tidak berhak lagi menjadi warga dari negara
tersebut.
Ia harus dicabut dari keanggotaan
kenegaraannya, bahkan dari keanggotaan primordialnya.
Dia harus dicopot kewarganegaraannya,
dicopot paspornya.
Ia tidak dibunuh secara fisis, sesuai
dengan HAM, tapi ia dipersilakan untuk menjadi warga bangsa atau negara yang
bisa menerima perbuatan-perbuatan jahat atau khianatnya.
Keluarbiasaan hukum seperti ini, yang tentu
saja tidak ada dalam KUHP warisan kolonial itu, harus dipahami sebagai sebuah
kedaruratan dalam pemaknaan perang sebagaimana terurai di atas.
Jika tidak, seluruh upaya kita melawan
musuh dan memenangi perang (di dimensi) apa pun, jika tidak selalu diganggu
keras, tapi juga bisa digagalkan para pengkhianat itu.
Mereka yang bukan hanya sembunyi di
kerumunan masyarakat, di tempat kost atau kontrakan, di kampus, di
organisasi, melainkan juga bahkan di lembaga-lembaga negara, yang tinggi
bahkan.
Sebagai bangsa dengan pengalaman dahsyat,
termasuk dalam perang, selama ratusan dan ribuan tahun, mengapa harus
bersikap lembek?
Sewajarnya kita menjadi bangsa yang tough,
kuat dan berani, semua sifat yang membuat kita selama ini bertahan walau
diguncang selalu oleh tsunami nafsu kepentingan asing untuk merusak dan
memecah kesatuan bangsa ini.
Dengan itu, saya kira, kedaulatan secara
moral-budaya, hingga yuridis dan politis bisa kita tegakkan.
Ketika semua bangsa dan negara saat ini
berkiblat pada jargon semacam 'America first!', mengapa tidak kita:
'Indonesia lebih dulu!'.
Ya, kenapa tidak? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar