Selasa, 28 November 2017

Para Pengkhianat Itu

Para Pengkhianat Itu
Radhar Panca Dahana ;  Budayawan
                                          MEDIA INDONESIA, 27 November 2017



                                                           
DALAM realitas kontemporernya saat ini, mesti diakui jujur, perang yang konon sudah selesai pada pertengahan abad yang lalu sesungguhnya masih berlangsung, bahkan dengan intensitas--juga korban--yang kian tinggi. Mungkin hanya bentuk dan karakteristiknya yang berubah.

Namun, intensi hingga tujuan dari perang itu hampir tidak berubah, merebut dominasi, hegemoni, dan pada akhirnya profit ekonomis bagi sang pemenang, kehancuran bagi pecundang.

Karena itu, tidak ada negara atau bangsa mana pun yang tidak tengah menghadapi perang (-nya sendiri).

Ada yang masih melakukan atau terlibat dalam perang-perang berbentuk tradisional, seperti yang terjadi di Timur Tengah atau beberapa bagian Afrika.

Ada juga perang-perang bentuk baru, yang lebih terselubung dan teknologis, seperti perang intelijen modern, perang penguasaan data, perang melawan intervensi industri dan korporasi global, dst.

Bahkan dalam sebuah slogan atau tagline generik semacam 'Perang melawan kemisikinan dan kebodohan', sesungguhnya memiliki makna juga implementasi praktis yang tidak berbeda dengan perang-perang yang terjadi sebelumnya, di pelbagai belahan dunia.

Ironis malah tragisnya, ada beberapa perang mutakhir yang bukan hanya sulit, melainkan juga kehilangan argumentasi untuk dapat dimenangkan.

'Perang melawan kemiskinan', bagaimana dapat dimenangkan jika, katakanlah, rasio Gini di setiap negara tidak pernah berkurang secara signifikan.

Bahkan di banyak negara maju, atau kaya seperti Tiongkok, rasio itu kian meninggi. Laporan terbaru mengabarkan, empat orang terkaya di Amerika (Gates, Buffet, Besoz, Slim/Zuckerberg) memiliki kekayaan yang melampaui harta 60% (atau sekitar 160 juta manusia) penduduk negeri maju itu.

Apakah kondisi itu akan berakhir dengan keseimbangan ekonomis (pendapatan) dalam sepuluh, dua puluh, seratus tahun kemudian? Saya kira mayoritas akan pesimistis dengan perkiraan itu.

Hal atau kondisi yang sama sebenarnya terjadi di belahan dunia lain, Inggris, Jerman, Jepang, India, juga... Indonesia, tentu saja.

Anda tahu sendiri, fakta bagaimana hanya 2% penduduk negeri ini menguasai 70% dari kekayaan negara.

Apa yang terjadi pada 98%-nya, jika mereka akhirnya merasa hidup mereka sudah ditakdirkan (given) menjadi proletar alias miskin turun-temurun?

Pengkhianat itu

Dalam kenyataan yang sama sekali tidak welfare, tetapi justru warfare permanen itu, logika perang lainnya masih juga bermain.

Termasuk tindakan atau penyikapan yang tergolong pada 'pengkhianatan' terhadap posisi atau kepentingan dari negara/bangsanya sendiri.

Pada masa kini, jenis perilaku perang tersebut tidak hanya berupa pembelotan atau penjualan informasi intelijen saja.

Tapi sikap dan tindakan yang menyetujui, membolehkan, bahkan memfasilitasi demi keuntungan posisi dan kepentingan pihak lain (lawan) plus keuntungan personal/kelompok, dan di sisi lain menciptakan dampak buruk.

Kerugian bahkan destruksi bagi kelompok/bangsanya sendiri, juga tergolong pada arti termatik 'pengkhianatan' itu.

Karena itu, tindakan-tindakan yang bersekutu dengan kepentingan asing, menjual rahasia negara, menjadi komprador, hingga pembuatan kebijakan atau penyusunan regulasi yang menguntungkan pihak asing dan merugikan banyak pihak sendiri, selaiknya masuk kategori 'pengkhianatan'.

Begitu pun tindakan-tindakan yang melulu menciptakan kerusakan/destruksi pada masyarakatnya sendiri, dapat dicemplungkan dalam golongan yang sama.

Karena ia bukan hanya mengkhianati kodrat primordialnya, melainkan juga khianat pada tujuan, konstitusi, hingga dasar negara yang sudah dimufakatkan bersama.

Bagi siapa pun yang tergolong dalam makna dari terma ini, kita tahu dalam sejarah, apa yang sanksi dan hukuman yang harus dikenakan padanya. Mereka tidak lagi dapat dimasukkan ke kategori kriminal, dengan hukum perdata dan pidana yang berlaku, dikenakan pada mereka.

Karena kerusakan atau kehancuran yang masif akibat perbuatan mereka tidak mungkin diakomodasi hukum-hukum formal yang ada.

Pengkhianatan harus diganjar dengan hukum yang lebih spesifik, hukum darurat atau hukum perang.

Hukum dari bangsa atau negara yang dalam keadaan perang, dalam pengertian abstrak maupun praktis.

Karena itu, siapa pun warga dari sebuah negara yang melakukan, misalnya, produksi, distribusi (penjualan), hingga jebakan-jebakan fisiologis maupun psikologis untuk (mengonsumsi) narkoba, sesungguhnya tergolong sebagai 'pengkhianat'.

Bukan saja akibatnya yang masif, hingga merusak masa depan sebuah generasi, tindakannya yang melanggar semua bentuk norma, cita-cita pendiri bangsa, konstitusi hingga ideologi, mau tidak mau, secara logis, menggolongkan para penjahat tersebut sebagai 'pengkhianat' negara dan bangsa.

Tidak peduli bila perbuatan-perbuatan khianat tersebut melibatkan pihak asing atau sekadar demi kepentingan material personal/komunal, sebagaimana juga yang dilakukan para teroris lokal, selayaknya masuk kategori 'pengkhianatan'.

Akhirnya, dalam logika yang sama, tindakan negatif sekelompok warga yang melakukan korupsi, dengan nilai yang tinggi sehingga menciptakan destruksi massal, sewajarnya mendapatkan kategori yang sama.

Tindakan koruptif atau pembangkangan, dalam arti melawan negara, termasuk melanggar lalu lintas, merusak properti negara di ruang publik, atau ngetit uang negara, mencuri sisa anggaran atau me-mark up program kerja dan sebagainya, memang sudah jadi bagian dari 'perilaku kolektif' yang hukum dan aparatusnya seperti invalid menghadapinya. Semua itu bisa tergolong pidana.

Namun, lain halnya dengan tindakan-tindakan berakibat masif di atas, tidak cukup digolongkan pada extraordinary yang masih termaktub dalam kelas pidana, keluarbiasaan itu harus dimaknai lebih karena hukuman pidana seberat apa pun tidak akan setimpal dengan dampak dari perbuatan mereka. Hukumnya juga harus luar biasa, hukum perang dalam hal ini, misalnya.

Hukum setimpal

Salah satu dari hukum perang konvensional, para komprador atau pengkhianat biasanya dieksekusi, dieliminasi, atau katakanlah ditembak 'di tempat'. Tidak dibutuhkan lagi proses-proses tribunal, antara lain.

Namun, masa kini, dengan jargon--yang sesungguhnya tidak terpraktikkan--'supremasi hukum', semua harus melalui proses tribunal yang melelahkan.

Hasilnya koruptor miliaran hingga triliunan perak uang rakyat mendapat ganjaran penjara sekian belas bulan atau sedikit tahun saja.

Tak ada koruptor dihukum mati walau dampaknya secara sosiologis, politis, ekonomis, hingga kultural sama beratnya dengan narkoba dan terorisme.

Para pembela HAM akan selalu ribut, untuk satu hukuman mati, tanpa mempertimbangkan ribuan bahkan jutaan yang diakibatkan terhukumnya.

Untuk 'menyervis' para pembela HAM, banyak hukuman akhirnya dijatuhkan tidak setimpal dengan perbuatan.

Bahkan dalam kategori pengkhianatan yang terurai di atas.

Karena itu, bila hukuman mati (secara biologis), alias tembak atau disetrum di tempat, tidak bisa dilakukan, saya kira ada beberapa hukuman lain yang cukup sepadan dengan perbuatan para pengkhianatan.

Hukuman atau sanksi yang tidak membunuh secara biologis, tapi bisa juga 'hanya' secara ekonomis, sosiologis, hingga politis.

Dasar argumennya ialah argumentasi pengkhianatan di atas, yakni seorang warga negara jika sudah melanggar atau mengkhianati negara dan bangsa dengan seluruh perangkat keras maupun simbolisnya sesungguhnya ia sudah tidak berhak lagi menjadi warga dari negara tersebut.

Ia harus dicabut dari keanggotaan kenegaraannya, bahkan dari keanggotaan primordialnya.

Dia harus dicopot kewarganegaraannya, dicopot paspornya.

Ia tidak dibunuh secara fisis, sesuai dengan HAM, tapi ia dipersilakan untuk menjadi warga bangsa atau negara yang bisa menerima perbuatan-perbuatan jahat atau khianatnya.

Keluarbiasaan hukum seperti ini, yang tentu saja tidak ada dalam KUHP warisan kolonial itu, harus dipahami sebagai sebuah kedaruratan dalam pemaknaan perang sebagaimana terurai di atas.

Jika tidak, seluruh upaya kita melawan musuh dan memenangi perang (di dimensi) apa pun, jika tidak selalu diganggu keras, tapi juga bisa digagalkan para pengkhianat itu.

Mereka yang bukan hanya sembunyi di kerumunan masyarakat, di tempat kost atau kontrakan, di kampus, di organisasi, melainkan juga bahkan di lembaga-lembaga negara, yang tinggi bahkan.

Sebagai bangsa dengan pengalaman dahsyat, termasuk dalam perang, selama ratusan dan ribuan tahun, mengapa harus bersikap lembek?

Sewajarnya kita menjadi bangsa yang tough, kuat dan berani, semua sifat yang membuat kita selama ini bertahan walau diguncang selalu oleh tsunami nafsu kepentingan asing untuk merusak dan memecah kesatuan bangsa ini.

Dengan itu, saya kira, kedaulatan secara moral-budaya, hingga yuridis dan politis bisa kita tegakkan.

Ketika semua bangsa dan negara saat ini berkiblat pada jargon semacam 'America first!', mengapa tidak kita: 'Indonesia lebih dulu!'.

Ya, kenapa tidak? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar