Relaksasi
Pembiayaan Bank
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic &
Educational Business Institute) Jakarta; Staf Pengajar Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS,
30 November
2017
Pascastagnasi suku bunga acuan dalam dua
bulan terakhir, Bank Indonesia akan merilis stimulus dari ranah
makroprudensial.
Mulai 2018, aturan rasio pinjaman terhadap
pendanaan (loan to funding ratio, LFR) akan direlaksasi menjadi rasio
pembiayaan terhadap pendanaan (financing to funding ratio, FFR).
Permintaan kredit perbankan yang seret
akibat perlambatan ekonomi menjadi alasan primer Bank Indonesia (BI)
menyempurnakan regulasi LFR. Kelesuan ekonomi diikuti pula oleh perilaku
rumah tangga yang lebih memilih menahan belanja konsumsi dan menyimpan dana
dalam bentuk tabungan dan deposito di perbankan.
Laju pertumbuhan kredit yang tidak
sebanding dengan arus masuk dana pihak ketiga (DPK) membawa perbankan pada
persoalan yang lebih hakiki, yakni fungsi intermediasi keuangan. Bank mampu
menghimpun dana, tetapi kesulitan menyalurkannya. Dalam konteks ini, BI
memperluas pembiayaan bank pada pembelian obligasi korporasi.
Sementara permintaan dan suku bunga kredit
masih rendah, bank mempunyai alternatif penyaluran kelebihan likuiditasnya.
Karena itu, kebijakan FFR diharapkan tetap mampu memelihara fungsi
intermediasi perbankan melalui pembiayaan sehingga tetap berkontribusi
terhadap perekonomian.
Bagi korporasi, rancangan kebijakan ini
juga positif untuk mendapatkan sumber pembiayaan yang lebih murah. Dengan
demikian, sektor korporasi didorong lebih aktif menerbitkan obligasi atau
surat berharga komersial sejenis. Alhasil, pendalaman pasar keuangan adalah
tujuan lain atas relaksasi FFR.
Dengan skema logika tersebut, skenario BI
di atas agaknya belum bisa segera diikuti semua bank. Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) mencatat, rata-rata LFR perbankan sampai Oktober 2017 sebesar 88 persen
atau sedikit di bawah ambang batas normal 90 persen. Artinya, ruang
likuiditas perbankan sejatinya tak terlalu lega.
Jika nantinya diterapkan, hanya bank-bank
besar yang mampu memenuhi kualifikasi. Bank dengan tingkat LFR tinggi niscaya
nyaman dalam menata ulang antara pilihan penyaluran kredit dan membeli obligasi
korporasi lantaran mampu mempertahankan rasio kecukupan modal minimal 14
persen.
Sebaliknya, bank dengan LFR rendah,
ketentuan FFR bisa menjadi beban ekstra. Mereka harus memenuhi persyaratan
elementer terlebih dahulu, seperti rasio kecukupan modal, rasio kredit
bermasalah, dan rasio kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Jelasnya, ketentuan FFR akan mengundang banyak dispensasi.
Kalaupun semua bank sudah mampu memenuhi
persyaratan, persoalan lain muncul. Ketentuan FFR secara implisit
mengasumsikan alokasi kredit dan obligasi korporasi bisa saling menggantikan.
Faktanya, kredit dan obligasi mempunyai karakteristik tersendiri.
Masing-masing memiliki pangsa pasar berbeda.
Dilematis
Problematika di atas potensial juga terjadi
pada sisi hulu. Pelonggaran FFR mendorong DPK jangka pendek digunakan untuk
portofolio jangka panjang. Akibatnya, bank mengalami ketidaksesuaian
maturitas (maturity mismatch) struktur pendanaan. Praktis, keduanya tidak
mudah bersubstitusi satu sama lain.
Tidak mudahnya substitusi semakin kentara
terkait perolehan imbal hasil yang akan diraih. Obligasi korporasi menawarkan
imbal hasil lebih tinggi daripada kredit. Sebagai entitas bisnis, bank
niscaya akan menempatkan portofolio dana kelolaannya pada instrumen yang
paling atraktif.
Konsekuensinya, keputusan bank dalam
penyaluran kredit akan mengalkulasi imbal hasil yang bisa diperoleh dari
obligasi korporasi, medium term note (MTN), negotiable certificate of deposit
(NCD), dan surat berharga komersial (SBK). Artinya, penyaluran likuiditas ke
obligasi korporasi bisa mereduksi fungsi intermediasi bank.
Sudah menjadi hukum alam, imbal hasil yang
tinggi termaktub risiko yang lebih tinggi pula. Sementara risiko kredit
perbankan-berupa kredit macet ataupun default-bisa digeserkan kepada pihak
lain melalui perusahaan reasuransi, risiko obligasi korporasi belum ada pihak
yang mampu menanggungnya.
Sepertinya, relaksasi FFR terinspirasi dari
peraturan OJK yang mewajibkan industri asuransi berinvestasi pada surat
berharga negara (SBN). Sementara menurut UU No 24/2002, negara menjamin
pembayaran kupon dan pokok SBN sampai jatuh tempo, obligasi korporasi
berpedoman pada ratingyang menyisakan risiko yang substansial.
Alhasil, tanpa persiapan yang matang,
regulasi FFR bakal kontraproduktif. Pembelian obligasi korporasi potensial
jadi lahan baru spekulasi alih-alih menyalurkan ekses dana perbankan. Pada
titik tertentu, obligasi korporasi akan dihadapkan pada salah satu pilihan
antara tujuan stabilisasi suku bunga atau likuiditas.
Risiko yang paling dilematis adalah saat
stabilitas suku bunga pasar keuangan tidak terkelola, sementara perusahaan
masih saja mengalami kesulitan memperoleh pembiayaan murah. Padahal, ekspansi
sektor swasta digadang menjadi pilar utama dalam mengejar target pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi di masa-masa mendatang.
Dengan konfigurasi problematika di atas,
regulasi FFR menuntut mitigasi terhadap semua risiko. Karena itu, pembelian
oleh bank atas obligasi korporasi harus dibatasi dalam interval jumlah tertentu.
Pembatasan juga perlu diberlakukan hanya pada obligasi yang diterbitkan
perusahaan yang memiliki rekam jejak bagus dan berperingkat layak investasi.
Relaksasi FFR juga berimbas pada peran
bank. Format perbankan nantinya tidak hanya sebatas lembaga intermediasi,
tetapi juga sebagai lembaga investasi. Prinsip kehati-hatian adalah mutlak.
Kebangkrutan lembaga investasi Lehman & Brothers yang memicu krisis
finansial 2008 patut menjadi referensi.
Dalam skala yang lebih luas, relaksasi FFR
menuntut kemampuan BI dalam memengaruhi imbal hasil obligasi korporasi, MTN,
NCD, dan SBK termasuk SBN. Kegagalan BI dalam mengendalikan suku bunga kupon
dan imbal hasil obligasi korporasi menjadi antiklimaks relaksasi
makroprudensial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar