Anak-Anak
Penyintas Bencana Alam
Seto Mulyadi ; Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia;
Dosen Fakultas
Psikologi Universitas Gunadarma
|
MEDIA
INDONESIA, 29 November 2017
KITA berlindung kepada Tuhan Yang Khalik,
Zat Yang Maha Menggenggam Hidup Matinya Manusia, agar menjauhkan malapetaka
sejauh-jauhnya. Andai pun harus terjadi, semoga Dia tak memalingkan
wajah-Nya dan tetap mengirim bala malaikat-Nya untuk menyelamatkan jiwa
sebanyak-banyaknya. Namun, erupsi Gunung Agung di Bali tak ayal membuat kita
terhenyak, tersadar bahwa jangan-jangan musim ketika bencana datang silih
berganti memang telah datang kembali. Pemahaman akan kondisi anak-anak
pengungsi bencana alam tak bisa dielakkan mendorong Lembaga Perlindungan Anak
Indonesia dan Lembaga Perlindungan Anak Bali singsingkan lengan baju
menyambangi mereka.
Dalam keadaan bencana alam, jatuhnya
korban jiwa adalah konsekuensi yang sama sekali tak mungkin diabaikan. Dalam
situasi berisiko itu, anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan yang
membutuhkan dukungan khusus.
Walau begitu, Sendai Framework for Disaster
Risk Reduction 2015-2030 meletakkan dasar penyikapan bahwa anak-anak bukan
manusia yang hanya bisa menjadi ‘parasit’ yang pasrah tak berdaya terpapar
bencana alam. Sendai Framework memberikan garis bawah bahwa semua pemangku
kepentingan harus bersikap positif memandang anak-anak sebagai organisme
dengan serbaneka potensi resiliensi untuk menyesuaikan diri terhadap bencana.
Untuk merealisasikan Sendai Framework,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepatutnya bergegas memosisikan
anak-anak sebagai pemangku kepentingan dalam penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan, rencana kerja, dan standar penanggulangan bencana. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
perlu mendirikan sentra perlindungan yang khusus diadakan bagi anak. Titik
tolaknya ialah memberikan ruang kepada anak-anak pengungsi untuk
mengutarakan keluhan dan mengekspresikan ketakutan yang mereka rasa.
Selanjutnya, sentra dimaksud bekerja merancang standar advokasi dan
rehabilitasi bagi anak-anak dalam situasi bencana, di samping mendesain
mekanisme koordinasi antarkementerian dan lembaga serta memobilisasi
keterlibatan efektif masyarakat.
Bersinergi dengan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, sentra perlindungan anak juga perlu mendesain materi
pengajaran tentang kebencanaan ke dalam kurikulum seluruh jenjang pendidikan
formal serta pembinaan anak-anak tak bersekolah. Apalagi memahami Indonesia
sebagai kawasan rawan bencana alam, keseriusan sekolah dalam
menyelenggarakan materi kebencanaan ke guru dan anak didik bahkan sudah
sepatutnya menjadi salah satu tolok ukur mutu sekolah.
Seiring dengan itu, otoritas keamanan
utamanya Polri harus bersiaga penuh untuk mencegah bencana kemanusiaan yang
berpeluang terjadi selama berlangsungnya bencana alam. Yaitu, memproteksi
anak-anak yang terpisah dari orangtua (keluarga) mereka sehingga berisiko dipindahkan,
diperdagangkan, dan dieksploitasi. Para relawan yang datang dengan jubah
pekerja sosial, agamawan, dan tim penyelamat lainnya harus terpantau secara
ketat.
Berbagai studi memberikan dasar bagi
kerisauan saya bahwa salah satu modus sindikat perdagangan orang adalah
memasuki wilayah bencana dengan berkamuflase sebagai pekerja kemanusiaan
lalu mengincar anak-anak. Program evakuasi anak ke daerah yang lebih aman,
ditambah janji memenuhi kebutuhan finansial anak, bisa menghipnosis orangtua
yang tengah menghadapi kesulitan hidup untuk dengan gampangnya jatuh percaya
pada para ‘pekerja sosial’ tersebut.
Kendati minimal, rutinitas pendidikan
bahkan sekolah perlu diaktifkan selekasnya. Rutinitas sekolah, apalagi dalam
situasi bencana, merupakan unit yang terbukti vital untuk memastikan posisi
anak-anak pengungsi tetap termonitor dalam lingkungan yang relatif
terkontrol. Migrasi anak ke luar lokasi bencana dapat dibendung dengan cara
itu.
Kartu identitas anak atau semacam itu, yang
terdata secara terpusat di tingkat nasional, juga berguna sebagai rujukan
pelacakan jumlah anak-anak pra dan pascabencana. Pencatatan kependudukan
khususnya anak secara lokal dan manual jelas tidak terlalu bisa diandalkan,
mengingat setiap orang tentu menjadikan sanak keluarga dan properti mereka
masing-masing sebagai prioritas yang harus diselamatkan.
Respons tanggap bencana bukan hanya tugas
institusi pelat merah. Dunia usaha sepatutnya terpanggil untuk menyasarkan
program tanggung jawab sosial mereka ke sektor perlindungan anak, termasuk
penanganan anak-anak dalam situasi bencana. Ini sebangun dengan titah
Undang-Undang Perlindungan Anak. Walau anak-anak tetap sewajarnya tidak
didorong untuk bekerja, ketika sarana-prasarana sekolah belum dapat
dipulihkan sepenuhnya, dan keluarga juga kehilangan sumber daya finansial
untuk menopang pendidikan anak-anak, kalangan industri dapat menggiatkan
diri dengan program-program pengadaan pekerjaan yang memungkinkan anak-anak
pengungsi mendapat pelatihan kerja dan bekerja di lingkungan mereka sendiri,
tanpa regulasi yang ada. Itu ditujukan untuk menekan potensi migrasi di
kalangan anak-anak pengungsi putus sekolah.
Di atas segalanya, segenap pihak
berkepentingan untuk membuktikan bahwa anak-anak lebih tepat disebut
sebagai penyintas bencana, alih-alih korban. Mereka, anak-anak di daerah
bencana termasuk yang terimbas erupsi Gunung Merapi di Bali adalah penyintas
belia yang menjadi sumber ilham bagi kita untuk secepatnya memulihkan
daerah-daerah se-Nusantara yang diterjang bencana alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar