Dai
Kombatan
Said Aqil Siroj ; Ketua Umum PBNU
|
KOMPAS,
29 November
2017
Bermunculannya banyak dai pertanda bahwa
ada kebutuhan di masyarakat untuk mendapatkan guyuran rohani. Masyarakat kita
saat ini, dalam banyak amatan menunjukkan gairah spiritualitas dan keagamaan
yang tinggi. Sementara fakta lain menunjukkan, masyarakat kita juga sedang
dirundung meningkatnya pemahaman, sikap, dan tindakan radikalisme.
Peristiwa terorisme yang berkali-kali
terjadi, terlebih akibat sihir Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS),
membuktikan eskalasi radikalisme kerap sulit terbendung. Tampaknya ini juga
fenomena mondial atau global yang sedang bergeliat di berbagai belahan dunia.
Melahirkan dai yang kompeten telah banyak dilakukan berbagai pihak. Berbagai
pelatihan dai digelar secara berkala. Ada dai yang lahir dari pelatihan dan
juga ada dai yang lahir secara natural. Munculnya dai yang kemudian
masyarakat menyebutnya sebagai “dai selebritas” menjadi fenomena tak
terelakkan akibat “pasar” yang kian membesar. Seakan tiap dai punya “ceruk”
pasar masing-masing.
Tak kaget pula, dengan berkembangnya
teknologi digital, semakin pula melahirkan “dai-dai Youtube” yang tampil
dengan segala tausiah bermacam wujud. Yang membuat kita mengelus dada, muncul
lagi dai-dai produk ini yang sering tak terkendali. Ujaran-ujaran intoleran,
kebencian, dan ajakan radikal mewarnai wajah dakwah di negeri kita. Tak
sedikit yang lalu menetaskan pengikut militan. Generasi milenial begitu mudah
terseret arus radikalisme karena sihir dakwah “keras”. Para radikalis
mengendus kesempatan dan lalu bermain dengan menyalakan bara.
Meniti
dakwah moderat
Belum lama berselang, Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyelenggarakan kegiatan yang terasa
menohok. Tak seperti biasanya dengan kegiatan yang ” monoton”, tampaknya BNPT ingin melempar “jurus”
inovatifnya yang tentu saja berdasar dari hasil penelitian secara saksama.
Ada kebutuhan yang mendesak diwujudkan sehingga meniscayakan perlunya aksi
yang lebih jitu.
Apa gerangan? BNPT menyelenggarakan
“Pelatihan Public Speaking” yang ditujukan pada peserta khusus dari para
mantan napi teroris (napiter). Ada 30 napiter dari berbagai daerah, termasuk
daerah-daerah berzona “merah”. Mereka dikumpulkan di sebuah resor di Bogor
selama empat hari dan digodok oleh para pelatih kampiun. Materi yang
diajarkan mulai dari pelatihan motivasi, hingga bagaimana mampu berbicara
terampil, ditambah pelatihan bagaimana tampil memesona di depan layar kamera.
Dari sejumlah informasi, pelatihan itu
menuai sukses. Para peserta merasa mendapat “sesuatu” yang baru. Peserta
“binaan” BNPT ini berharap kegiatan yang seperti itu bisa rutin diadakan. Dan, yang
terpenting, bagi peserta ada tindak lanjut. Karena bagi mereka, kegiatan
berdakwah sudah menjadi panggilan. Hanya mereka perlu diberikan wadah yang
pasti. Mereka butuh “panggung” untuk mementaskan pengalaman “tragis” mereka
saat berada dalam jeratan radikalisme.
Ternyata, pelatihan ini sedari awal dirancang
berkesinambungan dan peserta nantinya akan disalurkan BNPT melalui kegiatan
berkala Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang merupakan
perpanjangan tangan BNPT di daerah.
Kegiatan pelatihan itu sejatinya sepadan
dengan istilah “pelatihan dai” yang umum dilaksanakan. Kedahsyatan pelatihan
model BNPT bisa dilihat dari
pesertanya yang semua mantan napiter. Semua mantan kombatan yang pernah
melakukan aksi teror dan terlibat jaringan teroris. Semua adalah sosok-sosok
gaek dan terlatih. Tidak ada satupun yang
“unyu-unyu”. Dan, mereka sekarang sudah “tobat” serta berikrar kembali
ke NKRI.
Para eks kombatan ini tepat diberi
pelatihan dakwah. Pertama, mereka
sudah memiliki “modal” dari sisi pengetahuan keagamaan maupun keterampilan
berkomunikasi. Mereka ada yang memang berasal pendidikan keagamaan dan
berprofesi menjadi “ustaz”. Dengan kepiawaiannya, terbukti mereka terampil
menarik pengikut yang militan.
Dari sinilah, perlu pelatihan kembali untuk
menyatukan visi dan misi dalam bingkai kebangsaan dan keindonesiaan. Mereka
harus diajak menyuarakan dakwah yang damai dan menangkal kampanye radikal.
Kedua, para eks kombatan ini mempunyai
banyak pengalaman di dunia radikalisme. Bagaimana proses mereka awal
terpengaruh dan lalu masuk jaringan radikal hingga kemudian melakukan
amaliyat teror. Pengalaman mereka
penting untuk disampaikan kepada masyarakat dalam rangka menjadi ibroh
(pelajaran berharga) sehingga meresap sebagai hikmah (wisdom) bagi masyarakat
untuk bersigap menghindar dari pesona radikalisme. Dengan kata lain, ini
mampu menjadi daya tangkal masyarakat dari radikalisme dan terorisme.
Ketiga, dari segi kebutuhan dan momentum
pelatihan ini sangat tepat diadakannya di saat menjamurnya “dai-dai kalap”
yang melempar kebencian dan mengajak pada jalan radikal. Sudah banyak
generasi bangsa ini jadi korban dengan tiba-tiba menghujat keluarganya dan
mengumpat NKRI serta aparaturnya dengan ungkapan thoghut, kafir, bidah atau
sirik? Begitu juga anak muda yang menghunus pisau melawan aparat. Atau pelemparan
bom molotov ke kantor polisi dan bahkan pembakaran kantor polisi seperti yang
terjadi di Sumatera Barat. Mereka menjadi lone wolf yang begitu liar dan
ganas karena berlebihan (ghuluw)
dalam sikap keagamaannya akibat tebaran dakwah picik baik dari saluran
“manual” maupun “dunia maya”.
Saatnya
“dai kombatan”
Nah, jelaslah manfaat pelatihan dai
kombatan. Ini menjadi bukti betapa
pentingnya melahirkan dai dari mantan napiter. Selama ini mungkin kita lebih
terperangah oleh dai-dai dari habitat “normal” saja. Nyatanya, tak jarang
mereka membuat masyarakat jenuh dan bukan tak mungkin melahirkan sikap apatis
terhadap model, sosok atau juga “menu-menu” dakwah yang begitu-begitu saja.
Masyarakat perlu mendapatkan curahan kerohanian baru agar bisa meraih cara
pandang luas serta mampu menjadikan pelajaran berharga.
Kini, kita perlu lebih menoleh pada mereka
yang pernah berada di “jalan yang salah” karena gairah keagamaan yang
menyala-nyala tanpa sikap kritis atau akibat “kecanggihan” komunikasi para
mentor radikal. Kita tak bisa menepis fakta bahwa menjadi radikal atau
moderat adalah buah dari pelatihan. Sebagai tandingan, karena itu pelatihan dakwah yang membawa pada sikap
moderasi, toleransi dan inklusif perlu digencarkan dengan sasaran utama
mereka yang punya pengalaman di jejaring radikalisme.
Pendekatan lunak sebagai strategi utama
deradikalisasi terorisme yang telah dijalankan selama ini memerlukan
langkah-langkah lebih inovatif. Negara kita sudah mendapat acungan jempol
dari negara lain karena dipandang berhasil menanggulangi terorisme. Kita
tentu bangga. Namun, kita akan lebih bangga bila mampu melahirkan sosok-sosok
“dai kombatan” yang dulunya mereka mendakwahkan kekerasan dan anti-NKRI,
sekarang beralih mendakwahkan kedamaian dan cinta NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar