Haluan
Keselamatan
Yudi Latif ; Kepala UKP-PIP
|
KOMPAS,
28 November
2017
Apa yang lebih mencemaskan dalam praktik
penyelenggaraan negara saat ini bukanlah merebaknya perilaku koruptif,
melainkan motif korupsi. Korupsi penyelenggara negara tak lagi didesak oleh
dorongan kebutuhan hidup, tetapi oleh syahwat keserakahan hidup. Demi
penghidupan, banyak orang merendahkan harga diri dengan mengabaikan
prinsip-prinsip kehidupan. Dengan demikian, korupsi hanyalah puncak dari
gunung es kekalutan nilai hidup dan arah hidup. Kekalutan nilai hidup dan
arah hidup merupakan ancaman terbesar bangsa. Bahtera negara takkan karam
hanya karena kurang adidaya atau sumber daya, melainkan karena kekacauan
sistem nilai yang menjerumuskannya ke jalan salah kelola.
Agar negara berjalan ke arah benar, warga
negara harus mengingat trayek sejarah bangsa. Di atas jalur sejarah bersama,
arah negara dituntun oleh dasar falsafah, norma, dan haluan berencana nan
menyeluruh berlandaskan nilai dan aturan dasar negara. Jika Pancasila berisi
falsafah dasar, konstitusi mengandung aturan dasar, haluan negara memberi
arahan dasar. Kaidah Pancasila dan konstitusi takkan bisa dijalankan secara
benar tanpa prinsip-prinsip direktif yang tepat.
Dalam menyusun dan menjalankan haluan
negara, anak-anak negeri harus menyalakan cinta negeri di hati. Mereka bukan
pendu- duk bak penghuni hotel yang menumpang tidur tanpa merasa memiliki dan
merawat. Mereka adalah warga negara peduli sebagai pandu pejuang kemajuan
negara. Pangkal terdasar ketegaan menyalahgunakan kekuasaan karena
melunturnya cinta negeri.
Jika korupsi ingin ditumpas, yang pertama
harus kita miliki adalah jiwa patriotisme. Bukan patriotisme militeristik,
melainkan berhubungan erat dengan kesalehan keseharian dalam memenuhi
kewajiban kewargaan dan ketaatan hukum, menempatkan kepentingan negeri di
atas kepentingan sendiri. Sejalan dengan itu, agama dimuliakan dengan
menjunjung tinggi akhlaknya. Selama warga republik tetap beriman dengan
tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa dan keburukan,
mereka akan kuat dari godaan korupsi. Semua itu harus dibarengi dengan
kedisiplinan. Kedisiplinan yang menjaga dan melaksanakan supremasi hukum.
Untuk itu, negara harus mengemban fungsi
pendidikan. Basis legitimasi negara bukan saja kemampuannya dalam menampung
aspirasi dan melayani kepentingan rakyatnya, melainkan juga oleh
kesanggupannya untuk bertindak sebagai pendidik (tutor) bagi rakyatnya
tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dengan mengembangkan
budaya kewargaan (citizenship).
Salah satu misi negara adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Usaha negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini tidak
hanya terbatas pada ukuran-ukuran kecerdasan diri yang bersifat personal
(seperti dalam ukuran intelligent quotient) tetapi juga kecerdasan diri
bersifat publik.
Hendaklah diingat kedirian manusia terdiri
atas dua bagian: kedirian bersifat privat (private self)—kedirian bersifat
personal dan khas, dan kedirian bersifat publik (public self)—kedirian yang
melibatkan relasi sosial. Keduanya bisa dibedakan, tetapi tak bisa di-
pisahkan. Kelemahan utama kecerdasan diri manusia Indonesia sangat mencolok
pada aspek kedirian yang bersifat publik. Mudah dilihat bagaimana orang-orang
dengan pribadi baik terseret arus negatif begitu mengemban jabatan publik.
Hampir semua hal bersifat kolektif (parpol, lembaga perwakilan, birokrasi,
aparatur hukum, bahkan organisasi keagamaan) mengalami masalah integritas.
Krisis pada kedirian yang bersifat publik
ini mencerminkan kelemahan proses pendidikan dan pembudayaan dalam
mengembangkan ”kecerdasan kewargaan” (civic intelligence quotient).
Pendidikan terlalu mene- kankan kecerdasan personal, dengan mengabaikan usaha
mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif
kewargaan. Akibatnya, banyak manusia baik dan cerdas tidak menjadi warga
negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar kewajiban dan
haknya).
Padahal, bangsa Indonesia sebagai masyarakat
majemuk tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak
menemukan bilangan penyebut sama (common denominator), sebagai ekspresi
identitas dan kehendak bersama. Karena itu, pendidikan kecerdasan kewargaan
berlandaskan Pancasila merupakan kunci integritas. Manakala tanda-tanda
negara berjalan tanpa panduan nilai dan salah arah, pandu pejuang harus
merasa terpanggil untuk mengembalikannya ke jalan benar dengan memperkuat
pendidikan kewargaan dengan memancangkan kembali markah-markah haluan negara.
Markah-markah haluan negara terkait
pengembangan kecerdasan kewargaan itu harus mengandung haluan bersifat
ideologis dan strategis-teknokratis. Penyusunan haluan dilakukan dengan
memadukan pendekatan deduktif dan induktif. Pendekatan deduktif untuk
menyusun prinsip-prinsip direktif yang bersifat ideologis. Pendekatan
induktif untuk menyusun prinsip-prinsip direktif yang bersifaf
strategis-teknokratis, dengan jalan menampung berbagai aspirasi. Dengan cara
itu, rencana pembinaan bisa selaras dengan nilai-nilai penuntun; saat sama
memiliki relevansi kuat dengan kebutuhan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar