Mitos-Mitos
Politik Pilkada 2018
Ribut Lupiyanto ; Deputi Direktur C-PubliCA
(Center for Public
Capacity Acceleration)
|
DETIKNEWS,
28 November
2017
Suhu politik lokal mulai menghangat.
Pemicunya adalah pelaksanaan kontestasi demokrasi Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) yang puncaknya dijadwalkan berlangsung pada 27 Juni 2018. Panasnya
politik lokal terjadi di 171 daerah yang menggelar Pilkada 2018. Terdiri dari
17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Pilkada 2018 rata-rata menjadi pilkada
langsung yang ketiga di masing-masing daerah. Dinamika politik awal selalu
diwarnai munculnya analisis, prediksi koalisi, survei hingga spekulasi, dan
hantu mitos. Salah satu yang menarik adalah mitos politik pilkada. Mitos
mestinya tabu dalam dunia modern, tetapi nyatanya menjadi hantu yang
mempengaruhi dinamika. Tantangan kontestan adalah menyikapi hingga kemampuan
mematahkan mitos jika berada pada pihak terugikan.
Hantu
Mitos
Banyak pihak memilih tidak percaya dan
sebagian cukup fanatik adanya mitos politik, termasuk dalam perhelatan
pilkada. Mitos politik muncul sebagai produk politik tradisional. Menurut
Karen Armstrong, mitos memiliki fungsi khusus, yaitu menjelaskan sesuatu yang
belum mampu disentuh oleh logos (nalar, akal). Seiring perjalanan waktu,
mitos mengalami komodifikasi, yakni dirancang sebagai komoditas guna memenuhi
berbagai jenis tujuan (Endibiaro, 2014).
Komodifikasi mitos paling mutakhir adalah
hadirnya mitos politik (Lupiyanto, 2014), termasuk Pilkada ini. Banyak bentuk
mitos politik pilkada selama ini muncul dan penting dipahami secara empirik
dan ilmiah. Pertama, mitos kekalahan wakil kepala daerah (wakada) petahana.
Tren pilkada memberikan bukti kekalahan
yang dialami wakada yang maju sebagai kepala daerah. Dalam posisi ini sang
wakada tersebut adalah petahana. Wakada yang kalah dalam pilkada antara lain
Rano Karno di Banten, Muallem di Aceh, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di DKI
Jakarta, dan Rustam Efendi di Bangka Belitung. Kesemuanya diunggulkan
berdasarkan mayoritas survei.
Kedua, adanya mitos sulit mengalahkan
petahana. Petahana yang baru menjabat sekali periode hampir pasti maju
kembali. Petahana diyakini memiliki modal lebih kuat dibanding kontestan
pesaingnya. Modal politik tersebut antara lain popularitas dan elektabilitas,
jaringan birokrasi, kemudahan memanfaatkan anggaran daerah untuk kampanye,
kemudahan mendapatkan cukong, dan lainnya. Hal tersebut memang ilegal dan
petahana dalam kondisi wajib cuti selama kampanye, namun sudah menjadi
rahasia umum.
Ketiga, mitos putra daerah. Pilkada lebih
terasa sentimen kedaerahannya dalam kontestasi. Kondisi ini terjadi khususnya
di daerah non perkotaan dan luar Jawa. Putra daerah dianggap paling sesuai
memimpin daerah tersebut karena kesamaan historis dan komitmen kedaerahannya
tinggi.
Keempat, mitos kuasa uang. Jer basuki mawa
bea. Pepatah Jawa tersebut juga diyakini berlaku dalam kontestasi politik.
Pilkada membutuhkan tidak sedikit modal uang. Kebutuhannya antara lain untuk
mengurus pengumpulan KTP bagi independen, modal kampanye, dan lainnya. Publik
telanjur memahami bahwa pilkada adalah momentum bagi-bagi uang. Penyakit ini
menjadi mitos menakutkan bagi politik uang dan hantu korupsi di kemudian
hari.
Kelima, mitos popularitas. Banyak analis
mengemukakan bahwa faktor personal calon dalam pilkada lebih menentukan
dibandingkan parpol pengusungnya. Pilkada diyakini sebagai pertarungan figur.
Popularitas menjadi modal awal yang harus dipenuhi sebelum menganjak ke
elektabilitas. Tidak mengherankan jika dalam pilkada banyak figur publik
berlaga, misalnya artis.
Keenam, adanya mitos independen sulit
menang. Sejauh ini calon independen yang memang pilkada masih dapat dihitung
jari. Persyaratan untuk maju juga dinilai sangat memberatkan. Hal ini
menambah kegamangan individu untuk berani maju melalui jalur ini.
Kekhawatiran lanjutannya adalah jika menang pun masih berpotensi digoyang
oleh parpol melalui DPRD.
Upaya
Mematahkan
Mitos-mitos di atas umumnya tidak baik dari
segi kesehatan demokrasi. Oleh karena itu perlu disikapi bijak dan harus
dipatahkan melalui kerja-kerja politik yang riil dan terukur. Banyak hal
dapat dilakukan oleh parpol maupun calon dalam mematahkan mitos tersebut.
Mitos kekalahan wakada petahana sebenarnya
mudah dipatahkan. Angka wakada yang menang pilkada lebih banyak daripada yang
kalah. Kunci mendapatkan kemenangan jauh lebih mudah, namun harus melalui
jalur legal dan demokratis. Prestasi kepemimpinannya bersama kepala daerah
dapat diklaim dan dijual ke publik. Kekurangan selama ini mesti akui dan
berjanji melakukan perbaikan signifikan.
Peluang mengalahkan petahana sangat terbuka
dalam pilkada. Mitos sulit mengalahkan petahana penting disingkirkan. Banyak
daerah yang petahananya kuat secara politik akhirnya tumbang. Misalnya
Kabupaten Bantul, sang petahana baik bupati maupun wakil bupati yang maju
kembali dikalahkan rivalnya yang merupakan tokoh baru dikenal. Petahana
bahkan didukung mayoritas parpol dan dinahkodai partai penguasa selama ini.
Spirit perubahan yang dibawa selama kampanye terbukti mampu mematahkan mitos
ini.
Mitos putra daerah di era modern ini dapat
dipatahkan dengan pengembusan spirit nasionalisme dan NKRI. Batasan
pencalonan dalam pilkada adalah NKRI. Banyak calon luar daerah yang
memenangkan pilkada, sebut saja DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan lainnya.
Calon luar daerah yang maju mesti tahu diri dan menunjukkan komitmennya
membangun budaya lokal serta memajukan daerah tersebut. Pendekatan kepada
tokoh lokal dan program yang memihak budaya lokal penting ditonjolkan. Tidak
ada jaminan putra daerah yang memimpin bisa memberikan hasil terbaik bagi
daerahnya. Selain itu pendidikan nasionalisme yang tidak sentimen SARA mesti
dilakukan selama kampanye kepada publik.
Uang dalam pilkada memang dibutuhkan namun
tidak menjadi segalanya. Hal yang tidak logis jika menafikkan uang. Namun
faktor lain juga tidak kalah penting perannya, seperti jaringan sosial, rekam
jejak calon, program kampanye, dan lainnya. Pemenuhan pembiayaan pilkada yang
terpenting adalah mengikuti peraturan berlaku dan transparan. Mitos kuasa
uang dengan demikian dapat dipatahkan.
Popularitas mutlak diperlukan dalam
perhelatan pilkada. Hal yang perlu dipahami modal awal popularitas bukanlah
jaminan berbuah elektabilitas. Popularitas bahkan dapat berimplikasi negatif
kepada sikap tidak simpatik publik. Kuncinya pada pengemasan figur calon atau
personal branding. Popularitas dapat dibangun dalam tempo singkat di era
digital ini. Hal terpenting adalah efektivitas branding yang ujungnya dapat
meningkatkan elektabilitas.
Terakhir, mitos independen sulit menang
tidak sepenuhnya mesti dipercayai. Kelebihan calon dari parpol memang ada
pada jaring struktur dan kader parpol yang sudah eksis. Calon independen
harus membangun sendiri atau memanfaatkan jaringan sosial yang selama ini
dimiliki atau yang mendukungnya. Keikutsertaan independen merupakan hak dan
tentunya disertai pertimbangan matang dari yang bersangkutan. Segala
konsekuensi sejak awal penting dipahami. Faktanya ada independen yang menang,
artinya peluang menang adalah sama dengan calon dari parpol.
Upaya-upaya mematahkan mitos di atas juga
menjadi jalan memperbaiki praktik demokrasi. Ujungnya diharapkan dapat
meningkatkan kualitas demokrasi, partisipasi, dan hasil yang sesuai harapan
publik. Pilkada serentak 2018 kembali menjadi ajang pembuktian tingkat
pengaruh mitos politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar