Senin, 27 November 2017

Korupsi Birokrasi

Korupsi Birokrasi
Asep Sumaryana ;  Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
                                              KORAN SINDO, 23 November 2017



                                                           
KORUPSI dapat dilakukan dalam dua bentuk. Pertama penyimpangan prosedural, dan kedua berbentuk penyalahgunaan wewenang. Keduanya dapat menyebabkan sejumlah pihak dikayakan serta negara dirugikan. Tidak heran bila persoalan e-KTP yang merugikan negara diakibatkan oleh hal tersebut. Namun, ibarat kanker, korupsi yang dilakukan senantiasa berkaitan dengan sejumlah jabatan dan posisi yang kompeten sehingga penanganannya menjadi susah karena bisa melumpuhkan praktik pemerintahan jika semua pihak yang terkait harus diamputasi.

Persoalan di atas bisa mengganggu program Revolusi Mental yang tujuannya untuk mengubah pola pikir dan pola tindak anak bangsa. Sebagai penganut patrilineal, keteladanan di atas menjadi penting agar kepatuhan di bawah dapat diwujudkan. Tidak heran jika kasus Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) menjadi bulan-bulanan netizen  akibat tidak memberikan teladan yang patut dibanggakan. Dampaknya bukan hanya kepada parpol yang menaunginya, namun juga kepada performa birokrasi pemerintah yang sejumlah kebijakannya dihasilkan oleh lembaga penting tersebut.

Antagonis
 
Boleh jadi kasus Setnov menjadi taruhan bagi elite republik ini. Jika dukungan terhadap penuntasannya membesar, dapat dimaknai bahwa pemberantasan korupsi menjadi kesungguhan yang didukung tekad bulat. Namun, bila kalah oleh sejumlah rekayasa yang disusun hama bangsa, boleh jadi menyurutkan kepercayaan publik kepada elitenya.

Sangkaan bahwa publik pemaaf sesuai dengan pengalaman lalu haruslah dihindari. Hal demikian sejalan dengan dinamika yang berkembang. Meningkatnya pendidikan serta pergaulan yang difasilitasi sejumlah jaringan sosial mempertinggi wawasan serta meng-upgrade  kekritisan dan keskeptisan. Dampaknya, beragam upaya rekayasa dapat dibaca dengan mudah dan bisa menjadi bumerang bagi pelakunya.

Bagi aparat publik di bawahnya, kejadian di atas dapat membingungkan lantaran dorongan untuk menguatkan modalitas yang bertumpu pada akuntabilitas, transparansi, dan netralitas seperti Sutor (1991) tuliskan menjadi bias. Boleh jadi figur seperti Setnov telah mengucurkan kata tulus yang patut dipatuhi, mungkin juga figur lain juga demikian. Namun, segera saja menjadi pupus lantaran nila setitik yang dibuatnya. Sebab itu, membangun kepercayaan publik dengan menguatkan aparatnya patut didahului oleh perubahan sikap aparatnya. Perubahan sikap tersebut diwujudkan jika panutannya dapat dipercaya untuk bisa memberikan teladan dan prima.

Tidak berlebihan bila modalitas di atas tidak cukup kuat untuk dibentuk tatkala tidak dikokohkan integritasnya. Kesetiaan kepada bangsa dan negara serta rela berkorban untuknya patut direnungi. Artinya, aspek ini mulai banyak ditinggal oleh sejumlah pihak termasuk birokrat dan petinggi negeri. Tidak heran bila instrumen dogma kebangsaan seperti lagu kebangsaan serta empat pilar kebangsaan mulai memudar. Upaya parlemen untuk menguatkannya menjadi tidak berdaya bila pemandangan antagonis berada jelas di depan mata semuanya.

Menciptakan integritas menolak bentuk antagonis dalam semua lini di jajaran elitenya. Bila hal tersebut dipertahankan, aparat bisa becermin dari keberhasilan elitenya dalam berkelit dari masalah yang dihadapinya. Keberhasilan elite mengelak dari sangkaan yang nyata publik saksikan akan melahirkan ide yang lebih hebat dari generasi sesat berikutnya. Bornstein (1986) menuturkan bahwa apa pun praktik yang menguntungkan bisa ditiru oleh pihak lain bahkan dikembangkan lebih baik lagi. Itu berarti bahwa keberhasilan merekayasa dan kemudian selamat akan mendorong peniruan yang lebih sempurna dan lebih besar lagi.

Ketika integritas diutamakan, kesadaran diri akan kekeliruan tidak lantas diupayakan dengan pembebasan diri untuk lepas dari jeratan hukum. Dengan kesadaran, dirinya bisa menjadi contoh kebesaran hati elite negeri untuk menyerahkan diri kepada penegak hukum. Mungkin itu pula lembaga antirasuah dibentuk karena lembaga penegak hukum lain tidak berkutik menyelesaikan masalah besar yang membelenggu pemerintahan di negeri tercinta ini. Untuk itu, persoalan ini harus dituntaskan dalam kerangka Revolusi Mental yang ditekadkan Presiden. 

Integritas  

Revolusi Mental penting untuk dimulai dari diri elite negeri. Kemunafikan  seperti Loebis (1986) tuturkan perlu diobati dengan program tersebut. Bila penyakit tersebut sudah menahun perlu direndam dalam kawah lembaga pemasyarakatan agar kerak kemunafikannya mengelupas. Demikian halnya dalam seleksi elite, kesetiaan kepada atasan patut digantikan oleh loyalitas kebangsaan. Artinya, tatkala atasan menganggap bawahan tidak loyal, tetapi publik mencermatinya berintegritas tinggi kepada republiknya, atasan tersebutlah yang perlu diperbaiki. 

Seleksi penting bisa dilakukan dengan konten dan konteks. Konten berbicara kompetensi teknis dalam menunaikan tugas pokoknya. Sedangkan konteks bisa dilihat dari kompetensi etika dan leadership  seperti Bowman (2010) tuliskan. Pemimpin perlu disaring lewat penunaian keetikaannya. Bisa dianggap konyol tatkala publik yang sudah semakin cerdas dibodohi secara sederhana. Dampaknya, Setnov dengan tiang listrik dan infusnya dijadikan guyonan publik seperti elite lain yang menjual kemedisan dalam menghindari gugatan hukum. Namun, semuanya kembali kepada longgarnya seleksi untuk menjadi elite di negeri yang menjunjung tinggi hukum dan ketuhanan.

Tidak berlebihan dengan kemasan Revolusi Mental, seluruh elemen kebangsaan menjadi wajib menyaring seluruh calon anggotanya agar lahir sosok yang memiliki integritas di atas. Bukan saja calon PNS, namun juga calon kader parpol, calon anggota  legislatif, calon komisi yang tersedia, serta seluruh jajaran direksi ataupun komisaris perusahaan negara patut diseleksi secara cermat. Dengan demikian, melibatkan publik dalam sejumlah jabatan penting menjadi wajib dilakukan agar dihasilkan sosok yang memiliki integritas publik yang andal. Dengan keandalan seperti itu, pembentukan mental bawahannya akan dapat dilakukan secara terpadu dan ideal.

Tidak mengherankan jika untuk memudahkan pola di atas, pelibatan tokoh intelektual diperlukan untuk mencermati track record  siapa pun yang akan diajukan sebagai pejabat publik. Pengabaian tokoh terkait bisa ditunjukkan dengan tidak mengajaknya diskusi atau suaranya dianggap angin lalu karena dianggap mengangkangi niatan untuk korupsi. Dampaknya, langkah salah bisa mewarnai pemilihan sejumlah figur sehingga lahirlah sejumlah elite yang jauh dari integritas publiknya. Hanya, kondisi ini tidak boleh dibiarkan karena risikonya sangat besar, yakni ancaman bagi bangsa dan negara yang diperjuangkan founding father  dengan cucuran keringat dan darah, serta nasib anak cucu kita bersama pada kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar