Korupsi
Birokrasi
Asep Sumaryana ; Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP
Unpad
|
KORAN
SINDO, 23 November 2017
KORUPSI dapat dilakukan dalam
dua bentuk. Pertama penyimpangan prosedural, dan kedua berbentuk
penyalahgunaan wewenang. Keduanya dapat menyebabkan sejumlah pihak dikayakan
serta negara dirugikan. Tidak heran bila persoalan e-KTP yang merugikan
negara diakibatkan oleh hal tersebut. Namun, ibarat kanker, korupsi yang
dilakukan senantiasa berkaitan dengan sejumlah jabatan dan posisi yang
kompeten sehingga penanganannya menjadi susah karena bisa melumpuhkan praktik
pemerintahan jika semua pihak yang terkait harus diamputasi.
Persoalan di atas bisa
mengganggu program Revolusi Mental yang tujuannya untuk mengubah pola pikir
dan pola tindak anak bangsa. Sebagai penganut patrilineal, keteladanan di
atas menjadi penting agar kepatuhan di bawah dapat diwujudkan. Tidak heran
jika kasus Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) menjadi bulan-bulanan
netizen akibat tidak memberikan
teladan yang patut dibanggakan. Dampaknya bukan hanya kepada parpol yang
menaunginya, namun juga kepada performa birokrasi pemerintah yang sejumlah kebijakannya
dihasilkan oleh lembaga penting tersebut.
Antagonis
Boleh jadi kasus Setnov menjadi
taruhan bagi elite republik ini. Jika dukungan terhadap penuntasannya
membesar, dapat dimaknai bahwa pemberantasan korupsi menjadi kesungguhan yang
didukung tekad bulat. Namun, bila kalah oleh sejumlah rekayasa yang disusun
hama bangsa, boleh jadi menyurutkan kepercayaan publik kepada elitenya.
Sangkaan bahwa publik pemaaf
sesuai dengan pengalaman lalu haruslah dihindari. Hal demikian sejalan dengan
dinamika yang berkembang. Meningkatnya pendidikan serta pergaulan yang
difasilitasi sejumlah jaringan sosial mempertinggi wawasan serta
meng-upgrade kekritisan dan
keskeptisan. Dampaknya, beragam upaya rekayasa dapat dibaca dengan mudah dan
bisa menjadi bumerang bagi pelakunya.
Bagi aparat publik di bawahnya,
kejadian di atas dapat membingungkan lantaran dorongan untuk menguatkan
modalitas yang bertumpu pada akuntabilitas, transparansi, dan netralitas
seperti Sutor (1991) tuliskan menjadi bias. Boleh jadi figur seperti Setnov
telah mengucurkan kata tulus yang patut dipatuhi, mungkin juga figur lain
juga demikian. Namun, segera saja menjadi pupus lantaran nila setitik yang
dibuatnya. Sebab itu, membangun kepercayaan publik dengan menguatkan
aparatnya patut didahului oleh perubahan sikap aparatnya. Perubahan sikap
tersebut diwujudkan jika panutannya dapat dipercaya untuk bisa memberikan
teladan dan prima.
Tidak berlebihan bila modalitas
di atas tidak cukup kuat untuk dibentuk tatkala tidak dikokohkan integritasnya.
Kesetiaan kepada bangsa dan negara serta rela berkorban untuknya patut
direnungi. Artinya, aspek ini mulai banyak ditinggal oleh sejumlah pihak
termasuk birokrat dan petinggi negeri. Tidak heran bila instrumen dogma
kebangsaan seperti lagu kebangsaan serta empat pilar kebangsaan mulai
memudar. Upaya parlemen untuk menguatkannya menjadi tidak berdaya bila
pemandangan antagonis berada jelas di depan mata semuanya.
Menciptakan integritas menolak
bentuk antagonis dalam semua lini di jajaran elitenya. Bila hal tersebut
dipertahankan, aparat bisa becermin dari keberhasilan elitenya dalam berkelit
dari masalah yang dihadapinya. Keberhasilan elite mengelak dari sangkaan yang
nyata publik saksikan akan melahirkan ide yang lebih hebat dari generasi
sesat berikutnya. Bornstein (1986) menuturkan bahwa apa pun praktik yang
menguntungkan bisa ditiru oleh pihak lain bahkan dikembangkan lebih baik
lagi. Itu berarti bahwa keberhasilan merekayasa dan kemudian selamat akan
mendorong peniruan yang lebih sempurna dan lebih besar lagi.
Ketika integritas diutamakan,
kesadaran diri akan kekeliruan tidak lantas diupayakan dengan pembebasan diri
untuk lepas dari jeratan hukum. Dengan kesadaran, dirinya bisa menjadi contoh
kebesaran hati elite negeri untuk menyerahkan diri kepada penegak hukum.
Mungkin itu pula lembaga antirasuah dibentuk karena lembaga penegak hukum
lain tidak berkutik menyelesaikan masalah besar yang membelenggu pemerintahan
di negeri tercinta ini. Untuk itu, persoalan ini harus dituntaskan dalam
kerangka Revolusi Mental yang ditekadkan Presiden.
Integritas
Revolusi Mental penting untuk
dimulai dari diri elite negeri. Kemunafikan
seperti Loebis (1986) tuturkan perlu diobati dengan program tersebut.
Bila penyakit tersebut sudah menahun perlu direndam dalam kawah lembaga
pemasyarakatan agar kerak kemunafikannya mengelupas. Demikian halnya dalam
seleksi elite, kesetiaan kepada atasan patut digantikan oleh loyalitas
kebangsaan. Artinya, tatkala atasan menganggap bawahan tidak loyal, tetapi
publik mencermatinya berintegritas tinggi kepada republiknya, atasan
tersebutlah yang perlu diperbaiki.
Seleksi penting bisa dilakukan
dengan konten dan konteks. Konten berbicara kompetensi teknis dalam
menunaikan tugas pokoknya. Sedangkan konteks bisa dilihat dari kompetensi
etika dan leadership seperti Bowman
(2010) tuliskan. Pemimpin perlu disaring lewat penunaian keetikaannya. Bisa
dianggap konyol tatkala publik yang sudah semakin cerdas dibodohi secara
sederhana. Dampaknya, Setnov dengan tiang listrik dan infusnya dijadikan
guyonan publik seperti elite lain yang menjual kemedisan dalam menghindari
gugatan hukum. Namun, semuanya kembali kepada longgarnya seleksi untuk
menjadi elite di negeri yang menjunjung tinggi hukum dan ketuhanan.
Tidak berlebihan dengan kemasan
Revolusi Mental, seluruh elemen kebangsaan menjadi wajib menyaring seluruh
calon anggotanya agar lahir sosok yang memiliki integritas di atas. Bukan
saja calon PNS, namun juga calon kader parpol, calon anggota legislatif, calon komisi yang tersedia,
serta seluruh jajaran direksi ataupun komisaris perusahaan negara patut
diseleksi secara cermat. Dengan demikian, melibatkan publik dalam sejumlah
jabatan penting menjadi wajib dilakukan agar dihasilkan sosok yang memiliki
integritas publik yang andal. Dengan keandalan seperti itu, pembentukan
mental bawahannya akan dapat dilakukan secara terpadu dan ideal.
Tidak mengherankan jika untuk
memudahkan pola di atas, pelibatan tokoh intelektual diperlukan untuk
mencermati track record siapa pun yang
akan diajukan sebagai pejabat publik. Pengabaian tokoh terkait bisa
ditunjukkan dengan tidak mengajaknya diskusi atau suaranya dianggap angin
lalu karena dianggap mengangkangi niatan untuk korupsi. Dampaknya, langkah
salah bisa mewarnai pemilihan sejumlah figur sehingga lahirlah sejumlah elite
yang jauh dari integritas publiknya. Hanya, kondisi ini tidak boleh dibiarkan
karena risikonya sangat besar, yakni ancaman bagi bangsa dan negara yang
diperjuangkan founding father dengan
cucuran keringat dan darah, serta nasib anak cucu kita bersama pada kemudian
hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar