Politik
Minus Seni
Manaf Maulana ; Peneliti Budaya Politik
|
KOMPAS,
23 November
2017
Politik minus seni tidak bisa
disebut sehat. Politik minus seni juga sangat berbahaya karena bisa
melahirkan dan membesarkan politisi yang buta terhadap estetika seni. Pada
titik ini, karya seni seperti meme atau karikatur yang seharusnya membuatnya
tertawa malah justru membuatnya marah.
Sejarah sudah sangat banyak
mencatat betapa politisi yang marah bisa saja sewenang-wenang menggunakan apa
yang dimilikinya sebagai senjata. Misalnya, kalau dia memiliki banyak uang,
maka akan dipakainya untuk membayar oknum-oknum preman untuk menghabisi pihak
yang telah membuatnya marah.
Atau, bisa juga kemarahannya
dilampiaskan dengan memperkarakan pihak yang membuatnya marah di jalur hukum
jika misalnya aparat penegak hukum bisa disuap atau suka bertindak tidak adil
dalam menerapkan hukum. Karena itu, semua politisi yang buta estetika seni
(sehingga tak bisa menikmati karya seni, terutama yang memuat kritik terhadap
dirinya) harus ditampik oleh segenap rakyat. Dalam hal ini, rakyat jangan
lagi mendukungnya.
Tanpa dukungan rakyat, politisi
akan tamat riwayatnya di ranah politik sehingga mustahil bisa memperoleh kekuasaan.
Dalam hal ini, semua partai pun layak menolaknya karena habitat partai
identik dukungan rakyat. Tanpa dukungan rakyat, partai pun akan tamat
riwayatnya.
Ketakutan
Jika, misalnya, politik minus
seni dan politisi buta estetika seni didukung aparat yang tidak adil, pasti
ketakutan akan selalu dirasakan oleh segenap rakyat. Pada titik ini, bangsa
dan negara berada dalam bahaya karena korupsi bisa saja semakin marak, tetapi
rakyat tidak berani berbuat apa-apa, termasuk takut melancarkan kritik.
Padahal, jika rakyat ketakutan,
negara bisa mirip rumah tanpa pintu dan jendela maupun lubang ventilasi.
Selalu gelap dan pengap, tiada kenyamanan dan hal-hal yang bisa membuat hati
riang. Jangankan manusia, binatang pun yang menghuninya akan merasa tersiksa.
Karena itu, sudah seharusnya
rakyat bersatu mencegah hal tersebut. Dalam hal ini, media sebagai salah satu
pilar demokrasi harus bisa menjadi ventilasi yang membuat rakyat memperoleh
pencerahan dan ruang berekspresi serta sarana dialog untuk menyuarakan aspirasi.
Jika, misalnya, media malah
ikut-ikutan ketakutan, politik minus seni dan politisi buta estetika seni
akan semakin masif. Pada titik ini, demokrasi tidak lagi memiliki arti, atau
bahkan telah disalahartikan dan digunakan untuk memasifkan ketakutan bagi
rakyat.
Harus dicermati, politik minus
seni dan jajaran politisi buta estetika seni akan masif jika didukung
sejumlah undang-undang yang bertentangan dengan demokrasi dan undang-undang
yang cenderung selalu menguntungkan mereka.
Selain itu, pasal-pasal karet,
seperti pasal tentang pencemaran nama baik dan pasal tentang perbuatan tidak
menyenangkan, akan selalu dipakai untuk menghukum rakyat yang berani
menyuarakan kebenaran. Pada titik ini, keadilan pasti sirna karena hukum
selalu tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Kedaulatan rakyat
Ketika rakyat makin tertindas
politik minus seni dan jajaran politisi buta estetika seni, rakyat harus
menegakkan kedaulatan. Dalam hal ini, jangan sampai rakyat mengalah dalam
ketakutan di negara sendiri.
Untuk konteks sekarang,
menegakkan kedaulatan rakyat bisa dengan unjuk rasa di dunia nyata ataupun di
media sosial. Namun, yang paling efektif, menegakkan kedaulatan rakyat adalah
lewat kontestasi demokrasi.
Konkretnya, segenap rakyat bisa
menegakkan kedaulatannya lewat pemilu dan pilpres dengan tidak memilih partai
minus seni dan politisi yang buta estetika seni. Dalam hal ini, partai minus
seni dan politisi buta estetika seni tidak pantas dipilih karena tidak bisa
mengapresiasi karya seni khususnya yang justru memuat kritik yang notabene
ekspresi dan aspirasi sebagai esensi kedaulatan rakyat.
Setiap lima tahun sekali,
rakyat memiliki kesempatan menegakkan kedaulatannya lewat kontestasi
demokrasi, seperti pemilu dan pilpres. Kesempatan ini jangan sampai disia-siakan,
terutama ketika sudah muncul fenomena politik minus seni dan politisi buta
estetika seni.
Keadaan bangsa dan negara sulit
diubah atau diperbaiki jika kesempatan menegakkan kedaulatan tidak diambil
dengan sebaik-baiknya oleh rakyat. Apalagi jika rakyat sangat mudah tergoda politik uang dalam
menggunakan kedaulatannya.
Layak dicermati, politik minus
seni dan politisi buta estetika seni lazimnya selalu berkelindan dengan
politik uang. Sementara politik uang identik dengan tipu muslihat dalam demokrasi
untuk merampas kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, di negara
demokrasi seperti Indonesia, politik uang atau kedaulatan rakyat yang akan
menentukan apakah politik minus seni dan politisi buta estetika seni bisa
hidup dan merajalela ataukah segera tamat riwayatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar