Sabtu, 25 November 2017

Politik Minus Seni

Politik Minus Seni
Manaf Maulana ;  Peneliti Budaya Politik
                                                    KOMPAS, 23 November 2017



                                                           
Politik minus seni tidak bisa disebut sehat. Politik minus seni juga sangat berbahaya karena bisa melahirkan dan membesarkan politisi yang buta terhadap estetika seni. Pada titik ini, karya seni seperti meme atau karikatur yang seharusnya membuatnya tertawa malah justru membuatnya marah.

Sejarah sudah sangat banyak mencatat betapa politisi yang marah bisa saja sewenang-wenang menggunakan apa yang dimilikinya sebagai senjata. Misalnya, kalau dia memiliki banyak uang, maka akan dipakainya untuk membayar oknum-oknum preman untuk menghabisi pihak yang telah membuatnya marah.

Atau, bisa juga kemarahannya dilampiaskan dengan memperkarakan pihak yang membuatnya marah di jalur hukum jika misalnya aparat penegak hukum bisa disuap atau suka bertindak tidak adil dalam menerapkan hukum. Karena itu, semua politisi yang buta estetika seni (sehingga tak bisa menikmati karya seni, terutama yang memuat kritik terhadap dirinya) harus ditampik oleh segenap rakyat. Dalam hal ini, rakyat jangan lagi mendukungnya.

Tanpa dukungan rakyat, politisi akan tamat riwayatnya di ranah politik sehingga mustahil bisa memperoleh kekuasaan. Dalam hal ini, semua partai pun layak menolaknya karena habitat partai identik dukungan rakyat. Tanpa dukungan rakyat, partai pun akan tamat riwayatnya.

Ketakutan

Jika, misalnya, politik minus seni dan politisi buta estetika seni didukung aparat yang tidak adil, pasti ketakutan akan selalu dirasakan oleh segenap rakyat. Pada titik ini, bangsa dan negara berada dalam bahaya karena korupsi bisa saja semakin marak, tetapi rakyat tidak berani berbuat apa-apa, termasuk takut melancarkan kritik.

Padahal, jika rakyat ketakutan, negara bisa mirip rumah tanpa pintu dan jendela maupun lubang ventilasi. Selalu gelap dan pengap, tiada kenyamanan dan hal-hal yang bisa membuat hati riang. Jangankan manusia, binatang pun yang menghuninya akan merasa tersiksa.

Karena itu, sudah seharusnya rakyat bersatu mencegah hal tersebut. Dalam hal ini, media sebagai salah satu pilar demokrasi harus bisa menjadi ventilasi yang membuat rakyat memperoleh pencerahan dan ruang berekspresi serta sarana dialog untuk menyuarakan aspirasi.

Jika, misalnya, media malah ikut-ikutan ketakutan, politik minus seni dan politisi buta estetika seni akan semakin masif. Pada titik ini, demokrasi tidak lagi memiliki arti, atau bahkan telah disalahartikan dan digunakan untuk memasifkan ketakutan bagi rakyat.

Harus dicermati, politik minus seni dan jajaran politisi buta estetika seni akan masif jika didukung sejumlah undang-undang yang bertentangan dengan demokrasi dan undang-undang yang cenderung selalu menguntungkan mereka.

Selain itu, pasal-pasal karet, seperti pasal tentang pencemaran nama baik dan pasal tentang perbuatan tidak menyenangkan, akan selalu dipakai untuk menghukum rakyat yang berani menyuarakan kebenaran. Pada titik ini, keadilan pasti sirna karena hukum selalu tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.

Kedaulatan rakyat

Ketika rakyat makin tertindas politik minus seni dan jajaran politisi buta estetika seni, rakyat harus menegakkan kedaulatan. Dalam hal ini, jangan sampai rakyat mengalah dalam ketakutan di negara sendiri.

Untuk konteks sekarang, menegakkan kedaulatan rakyat bisa dengan unjuk rasa di dunia nyata ataupun di media sosial. Namun, yang paling efektif, menegakkan kedaulatan rakyat adalah lewat kontestasi demokrasi.

Konkretnya, segenap rakyat bisa menegakkan kedaulatannya lewat pemilu dan pilpres dengan tidak memilih partai minus seni dan politisi yang buta estetika seni. Dalam hal ini, partai minus seni dan politisi buta estetika seni tidak pantas dipilih karena tidak bisa mengapresiasi karya seni khususnya yang justru memuat kritik yang notabene ekspresi dan aspirasi sebagai esensi kedaulatan rakyat.

Setiap lima tahun sekali, rakyat memiliki kesempatan menegakkan kedaulatannya lewat kontestasi demokrasi, seperti pemilu dan pilpres. Kesempatan ini jangan sampai disia-siakan, terutama ketika sudah muncul fenomena politik minus seni dan politisi buta estetika seni.

Keadaan bangsa dan negara sulit diubah atau diperbaiki jika kesempatan menegakkan kedaulatan tidak diambil dengan sebaik-baiknya oleh rakyat. Apalagi jika rakyat sangat  mudah tergoda politik uang dalam menggunakan kedaulatannya.

Layak dicermati, politik minus seni dan politisi buta estetika seni lazimnya selalu berkelindan dengan politik uang. Sementara politik uang identik dengan tipu muslihat dalam demokrasi untuk merampas kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, di negara demokrasi seperti Indonesia, politik uang atau kedaulatan rakyat yang akan menentukan apakah politik minus seni dan politisi buta estetika seni bisa hidup dan merajalela ataukah segera tamat riwayatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar