Sabtu, 25 November 2017

Reformasi Tanpa Dukungan

Reformasi Tanpa Dukungan
Kurnia JR ;  Esais
                                                    KOMPAS, 23 November 2017



                                                           
Salah satu indikator reformasi yang paling sederhana, tetapi sekaligus paling esensial adalah pelayanan publik tanpa pungutan liar. Sudahkah ini terwujud?

Di media massa kita sesekali menyaksikan segelintir kepala daerah yang dianggap menonjol dalam apa yang disebut sebagai prestasi reformasi birokrasi. Mereka menata efisiensi dalam pelayanan publik, salah satunya dalam bentuk komputerisasi di loket-loket dan sistem yang diiktikadkan sebagai transparansi biaya pelayanan administratif dan perizinan.

Apakah itu sudah memadai untuk menggambarkan bahwa prestasi itu benar-benar nyata? Bagaimana komputer memantau uang pungli yang tak masuk kuitansi, misalnya? Beberapa kepala daerah terekam kamera wartawan atau “jurnalis warga” melakukan inspeksi mendadak, dan marah-marah kepada aparat yang tertangkap basah melanggar prosedur atau peraturan, melakukan pungli terhadap warga di loket atau pos jalan raya. Apakah itu mengarah pada solusi permanen?

Sebentar lagi kita melakukan pemilihan kepala daerah serentak  2018. Sudah semarak media massa dan organisasi-organisasi sosial-politik menayangkan atau mempromosikan orang-orang yang dianggap representatif atau berprestasi sehingga dinilai layak untuk dipilih.

Tanpa bermaksud menjatuhkan siapa pun, selalu perlu kita mengajukan pertanyaan esensial untuk para tokoh impian publik di sejumlah daerah: apakah prestasi mereka yang digembar-gemborkan media massa sudah mampu menyentuh reformasi birokrasi, membabat pungli, dan aparat lembam?

Boleh jadi, di wilayah tanggung jawab beberapa kepala daerah yang kerap muncul di televisi, dengan puja-puji prestasi dan pengabdian itu, kondisi birokrasinya di lapangan tiada bedanya dengan kondisi masa Orde Baru. Kantor kelurahan lengang dan selepas waktu duha-belum lagi tiba waktu dzuhur dan jam makan siang-para aparat sudah berleha-leha dan warga yang datang ditanggapi dengan lesu. Atau sebaliknya, warga yang bermaksud mengurus perizinan atau keperluan administrasi kependudukan ditawari layanan “spesial” khas Orde Baru.

Di sektor lain, boleh saja kita memiliki para kepala di bidang penegakan hukum yang populer dan bersih, yang “melayani dan mengayomi masyarakat”. Boleh saja kita anteng menonton acara di TV swasta tentang kegiatan harian aparat di lapangan yang tak hanya menegakkan peraturan dan hukum juga memberi edukasi publik dengan gaya populis.

Meski demikian, tetap perlu disorongkan pertanyaan: apakah dia sudah menciptakan sistem yang mampu memantau realitas konkret di lapangan, yang tak mungkin dilakukan jika hanya mengandalkan dirinya seorang atau suatu tim yang betul-betul memegang komitmen bahwa amanat reformasi birokrasi telah ditunaikan? Bukan rahasia lagi bahwa biaya murah yang tercantum di loket yang “melayani dan mengayomi” tak bebas mark up alias pungli.

Perlu terus digemakan

Sejak Orde Baru tumbang, para pelaksana penyelenggaraan negara yang datang silih berganti berupaya melaksanakan reformasi birokrasi, di antaranya dengan mewujudkan transparansi dan mengupayakan aspek keekonomian setiap elemen pelayanan publik.

Lalu, dengan bangga para pejabat mengumumkan sembari menempelkan lembaran pemberitahuan di setiap loket, perincian biaya yang ekonomis atas setiap pelayanan publik. Pengumuman itu dapat dibaca orang yang antre di muka loket, tetapi apakah efektif dalam pelaksanaannya?

Inspeksi incognito perlu terus-menerus dilakukan oleh kepala daerah, kepolisian, dan para menteri untuk memperoleh jawabannya secara langsung di lapangan. Hal ini penting dilaksanakan, sesuai dengan semangat keagamaan masyarakat yang sedang menggebu-gebu, sementara hipokrisi merupakan gejala massal dan kolosal yang sukar diberangus.

Tokoh agama yang populer jarang mengupas arti penting harta yang bersih bagi tegaknya iman dan moral keluarga. Dapatkah orangtua menciptakan anak- anak yang baik dari makanan yang tidak baik? Apakah Tuhan menerima ibadah dari uang hasil korupsi atau campuran gaji dengan uang hasil pungli yang memeras secara halus bahkan rakyat kecil?

Mampu dan beranikah para tokoh agama mengupas tentang dosa korupsi dan pungli saat berceramah di lembaga pemerintah dan parlemen serta lingkungan pos-pos penegak hukum? Uang hasil korupsi besar dan pungli kecil-kecilan tiada bedanya dalam hal daya rusak iman dan daya tolak terhadap rahmat Tuhan. Apalah guna tata wicara dan tata busana santun-religius kalau orang menganggap enteng dosa korupsi dan pungli yang bukan haknya.

Korupsi dan pungli dalam birokrasi adakalanya bukan kesalahan aparat belaka. Masyarakat yang apatis dan egois ikut andil atas keberlanjutan praktik ini. Tatkala mengalami perlakuan aparat berseragam yang merekayasa biaya layanan publik, warga rata-rata cuma berkata: “Ya, sudah. Toh, kita butuh. Yang penting diurus.” Bahkan, mereka merasakan kebanggaan absurd tatkala urusannya dibereskan lebih cepat ketimbang orang lain.

Reformasi tak mudah diwujudkan dalam bentuknya yang paling konkret dan mendasar tanpa dukungan masyarakat. Apalagi ada realitas hukum mengkriminalisasi sikap kritis publik.

Lembaga peradilan tampaknya takluk pada situasi ini. Orang yang mengeluhkan kebobrokan pelayanan publik di surat pembaca atau surel bisa dipidana. Kendali hukum seakan-akan ada di tangan si kuat untuk membungkam si lemah.

Masyarakat, meski mayoritas, adalah si lemah ketika mereka apatis, pasrah, dan tidak berani protes di depan elite, si kuat yang sedikit jumlahnya. Dalam kondisi seperti ini, kedua pihak dapat dikatakan sama-sama mengabaikan amanat reformasi yang disirami darah para martir, yakni mahasiswa-mahasiswa muda belia, hampir 20 tahun yang lalu.

Episode “Reformasi 1998” perlu terus digemakan agar generasi milenial tak buta sejarah: negara seperti apa yang telah dicita-citakan, diperjuangkan, dan seharusnya diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar