Reformasi
Tanpa Dukungan
Kurnia JR ; Esais
|
KOMPAS,
23 November
2017
Salah satu indikator reformasi
yang paling sederhana, tetapi sekaligus paling esensial adalah pelayanan
publik tanpa pungutan liar. Sudahkah ini terwujud?
Di media massa kita sesekali
menyaksikan segelintir kepala daerah yang dianggap menonjol dalam apa yang
disebut sebagai prestasi reformasi birokrasi. Mereka menata efisiensi dalam
pelayanan publik, salah satunya dalam bentuk komputerisasi di loket-loket dan
sistem yang diiktikadkan sebagai transparansi biaya pelayanan administratif
dan perizinan.
Apakah itu sudah memadai untuk
menggambarkan bahwa prestasi itu benar-benar nyata? Bagaimana komputer
memantau uang pungli yang tak masuk kuitansi, misalnya? Beberapa kepala
daerah terekam kamera wartawan atau “jurnalis warga” melakukan inspeksi
mendadak, dan marah-marah kepada aparat yang tertangkap basah melanggar
prosedur atau peraturan, melakukan pungli terhadap warga di loket atau pos
jalan raya. Apakah itu mengarah pada solusi permanen?
Sebentar lagi kita melakukan
pemilihan kepala daerah serentak 2018.
Sudah semarak media massa dan organisasi-organisasi sosial-politik
menayangkan atau mempromosikan orang-orang yang dianggap representatif atau
berprestasi sehingga dinilai layak untuk dipilih.
Tanpa bermaksud menjatuhkan
siapa pun, selalu perlu kita mengajukan pertanyaan esensial untuk para tokoh
impian publik di sejumlah daerah: apakah prestasi mereka yang digembar-gemborkan
media massa sudah mampu menyentuh reformasi birokrasi, membabat pungli, dan
aparat lembam?
Boleh jadi, di wilayah tanggung
jawab beberapa kepala daerah yang kerap muncul di televisi, dengan puja-puji
prestasi dan pengabdian itu, kondisi birokrasinya di lapangan tiada bedanya
dengan kondisi masa Orde Baru. Kantor kelurahan lengang dan selepas waktu
duha-belum lagi tiba waktu dzuhur dan jam makan siang-para aparat sudah
berleha-leha dan warga yang datang ditanggapi dengan lesu. Atau sebaliknya, warga
yang bermaksud mengurus perizinan atau keperluan administrasi kependudukan
ditawari layanan “spesial” khas Orde Baru.
Di sektor lain, boleh saja kita
memiliki para kepala di bidang penegakan hukum yang populer dan bersih, yang
“melayani dan mengayomi masyarakat”. Boleh saja kita anteng menonton acara di
TV swasta tentang kegiatan harian aparat di lapangan yang tak hanya
menegakkan peraturan dan hukum juga memberi edukasi publik dengan gaya
populis.
Meski demikian, tetap perlu
disorongkan pertanyaan: apakah dia sudah menciptakan sistem yang mampu
memantau realitas konkret di lapangan, yang tak mungkin dilakukan jika hanya
mengandalkan dirinya seorang atau suatu tim yang betul-betul memegang
komitmen bahwa amanat reformasi birokrasi telah ditunaikan? Bukan rahasia
lagi bahwa biaya murah yang tercantum di loket yang “melayani dan mengayomi”
tak bebas mark up alias pungli.
Perlu terus digemakan
Sejak Orde Baru tumbang, para
pelaksana penyelenggaraan negara yang datang silih berganti berupaya
melaksanakan reformasi birokrasi, di antaranya dengan mewujudkan transparansi
dan mengupayakan aspek keekonomian setiap elemen pelayanan publik.
Lalu, dengan bangga para
pejabat mengumumkan sembari menempelkan lembaran pemberitahuan di setiap
loket, perincian biaya yang ekonomis atas setiap pelayanan publik. Pengumuman
itu dapat dibaca orang yang antre di muka loket, tetapi apakah efektif dalam
pelaksanaannya?
Inspeksi incognito perlu
terus-menerus dilakukan oleh kepala daerah, kepolisian, dan para menteri
untuk memperoleh jawabannya secara langsung di lapangan. Hal ini penting
dilaksanakan, sesuai dengan semangat keagamaan masyarakat yang sedang
menggebu-gebu, sementara hipokrisi merupakan gejala massal dan kolosal yang
sukar diberangus.
Tokoh agama yang populer jarang
mengupas arti penting harta yang bersih bagi tegaknya iman dan moral
keluarga. Dapatkah orangtua menciptakan anak- anak yang baik dari makanan
yang tidak baik? Apakah Tuhan menerima ibadah dari uang hasil korupsi atau
campuran gaji dengan uang hasil pungli yang memeras secara halus bahkan
rakyat kecil?
Mampu dan beranikah para tokoh
agama mengupas tentang dosa korupsi dan pungli saat berceramah di lembaga
pemerintah dan parlemen serta lingkungan pos-pos penegak hukum? Uang hasil
korupsi besar dan pungli kecil-kecilan tiada bedanya dalam hal daya rusak
iman dan daya tolak terhadap rahmat Tuhan. Apalah guna tata wicara dan tata
busana santun-religius kalau orang menganggap enteng dosa korupsi dan pungli
yang bukan haknya.
Korupsi dan pungli dalam
birokrasi adakalanya bukan kesalahan aparat belaka. Masyarakat yang apatis
dan egois ikut andil atas keberlanjutan praktik ini. Tatkala mengalami
perlakuan aparat berseragam yang merekayasa biaya layanan publik, warga
rata-rata cuma berkata: “Ya, sudah. Toh, kita butuh. Yang penting diurus.”
Bahkan, mereka merasakan kebanggaan absurd tatkala urusannya dibereskan lebih
cepat ketimbang orang lain.
Reformasi tak mudah diwujudkan
dalam bentuknya yang paling konkret dan mendasar tanpa dukungan masyarakat.
Apalagi ada realitas hukum mengkriminalisasi sikap kritis publik.
Lembaga peradilan tampaknya
takluk pada situasi ini. Orang yang mengeluhkan kebobrokan pelayanan publik
di surat pembaca atau surel bisa dipidana. Kendali hukum seakan-akan ada di
tangan si kuat untuk membungkam si lemah.
Masyarakat, meski mayoritas,
adalah si lemah ketika mereka apatis, pasrah, dan tidak berani protes di
depan elite, si kuat yang sedikit jumlahnya. Dalam kondisi seperti ini, kedua
pihak dapat dikatakan sama-sama mengabaikan amanat reformasi yang disirami
darah para martir, yakni mahasiswa-mahasiswa muda belia, hampir 20 tahun yang
lalu.
Episode “Reformasi 1998” perlu
terus digemakan agar generasi milenial tak buta sejarah: negara seperti apa
yang telah dicita-citakan, diperjuangkan, dan seharusnya diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar