Memudakan
Politik Indonesia
Saidiman Ahmad ; Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC); Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National
University
|
KOMPAS,
22 November
2017
Kabar baik itu datang dari
Partai Solidaritas Indonesia. Di usianya yang masih muda, mereka merekrut
bakal calon anggota legislatif secara terbuka. Semua warga negara diberi
kesempatan mendaftarkan diri. Sejumlah tokoh profesional diberi wewenang
untuk mewawancarai setiap kandidat yang lulus persyaratan administratif.
Wawancara disiarkan secara
langsung melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram, Periscope, dan
Twitter. Para kandidat tidak hanya menghadapi tim independen di ruang
tertutup, tetapi juga publik secara umum. Ini adalah tradisi baru yang patut
diapresiasi.
Inisiatif yang dilakukan partai
dengan cap anak muda ini merupakan sebuah terobosan di tengah persoalan akut
yang membelit partai-partai politik mapan di Indonesia. Merit based
recruitment ini secara langsung melawan oligarki politik dan praktik kartel
yang telah begitu lama mengental dalam perilaku elite dan partai politik
kita.
Oligarki dan politik kartel
bahkan menjadi pandangan dominan para pengamat, media, aktivis, dan publik
secara umum. Tidak heran jika dalam banyak jajak pendapat, partai politik
menjadi institusi demokrasi yang paling tidak mendapat tempat di hati publik.
Masih terkungkung oligarki
Vedy R Hadiz dan Richard
Robison (2013) menyimpulkan bahwa Indonesia pasca-Orde Baru masih dikungkung
oleh politik oligarki. Kekuasaan politik dan akses pada sumber daya masih
berada di tangan para elite yang itu-itu juga sejak zaman Orde Baru. Jika pun
muncul elite dan aktor baru, mereka melakukan dominasi serupa.
Bagi Hadiz dan Robison,
oligarki tidak mengenal sistem politik. Ia bisa hidup pada semua bentuk
pemerintahan. Dalam setiap perubahan sistem, menurut keduanya, kapitalisme
melakukan evolusi. Jika pada masa kediktatoran, kekuasaan para oligarki terpusat,
maka desentrasilisasi membuat oligarki menyebar ke seluruh daerah.
Elite-elite lokal menjadi raja-raja baru yang dominan dan nyaris tak
tergantikan.
Jeffrey A Winters (2013) dalam
Oligarchy and Democracy in Indonesia menjelaskan bahwa para oligarch bisa
berdiri sendiri dan memerintah, atau masuk ke dalam rezim otoritarian atau
demokratis sekaligus. Kekuatan utama mereka adalah uang.
Di sisi yang lain juga terjadi
praktik politik kartel. Studi disertasi yang dilakukan Kuskridho Ambardi
(2008) menyoroti interaksi antarpartai politik di Indonesia masa Reformasi.
Pandangan banyak orang menyatakan bahwa pemilihan umum yang diikuti
partai-partai politik adalah cerminan kompetisi antarideologi, cara pandang,
dan kekuatan politik.
Meski demikian, Ambardi
menemukan bahwa kompetisi antarkekuatan politik itu hanya terjadi pada masa
pemilihan umum. Kompetisi berhenti ketika para anggota Dewan terpilih dan
eksekutif dilantik. Yang terjadi setelah itu adalah kompromi dan praktik
politik kartel. Tidak ada lagi pekik ideologi. Sehabis pemilu, keputusan dan
kebijakan tiap-tiap partai didasarkan pada lobi, kompromi, dan bagi-bagi kue
kekuasaan.
Lalu, apakah perekrutan bakal
calon anggota legislatif Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara terbuka
bisa mengurai kebuntuan dunia politik ini?
Sebuah studi yang dilakukan
Marcus Mietzner (2013), Fighting the
Hellhounds: Pro-democracy Activists and Party Politics in Post-Suharto
Indonesia, menarik untuk dibaca. Studi ini mempelajari peran para aktivis
yang masuk ke parlemen sejak pemilu pertama Reformasi pada 1999.
Pengaruh aktivis
Di tengah pesimisme pada
politik Tanah Air, Mietzner menemukan pengaruh para aktivis di parlemen.
Meski tidak semuanya, kehadiran para aktivis di dalam parlemen di awal-awal
Reformasi telah mampu membawa perubahan yang cukup berarti.
Ada tiga kanal yang menyalurkan
para aktivis masuk parlemen, menurut Mietzner. Pertama, para aktivis di
organisasi-organisasi ekstra mahasiswa yang secara langsung maupun tidak
memiliki afiliasi pada partai-partai politik. Organisasi-organisasi ini
antara lain KAMMI yang dekat dengan PKS, PMII yang dekat dengan partai-partai
NU, HMI yang memiliki banyak senior di Partai Golkar, atau IMM yang berada
dalam satu kultur keagamaan dengan PAN.
Kanal kedua adalah para aktivis
yang di masa Orde Baru bergerak melawan rezim dengan menggunakan pelbagai
organ masyarakat sipil. Mereka untuk sementara waktu berada di luar sistem
untuk menumbangkan rezim diktator. Setelah demokrasi terwujud, mereka lalu
masuk ke dalam sistem melalui partai-partai politik yang ada.
Kanal ketiga adalah para
aktivis yang setelah 1998 tetap bergerak di luar parlemen. Mereka konsisten
mendesakkan agenda-agenda perubahan. Namun, pada satu titik, ketika gerakan
di luar sistem tidak lagi memadai, mereka lalu terjun masuk untuk mengubah
dari dalam.
Meski demikian, menurut
Mietzner, para aktivis yang masuk parlemen mengalami dua masalah. Di kalangan
sesama aktivis, mereka acap kali dianggap sebagai pengkhianat. Sementara di
kalangan sesama anggota parlemen, mereka sering dianggap politikus bermental
organisasi nonpemerintah.
Walaupun relatif sangat
sedikit, tahun 2009 hanya 7 persen atau 37 orang dari 560 anggota parlemen
(Kompas 2010, dalam Mietzner 2013), para aktivis yang masuk ke parlemen bisa
memberi warna. Hal ini dimungkinkan karena mereka memiliki konsep, cakap
dalam berkomunikasi, dan tentu saja piawai dalam berdebat yang telah terasah
semasa menjadi aktivis.
Gagasan yang masuk akal dan
retorika terlatih membuat mereka dominan dalam perdebatan. Dari situ lahir
banyak produk perundang-undangan yang penting antara lain di bidang reformasi
militer, partisipasi politik perempuan, sampai pada undang-undang desa.
Rekrutmen politik terbuka yang
dilakukan PSI adalah pintu masuk bagi para aktivis untuk terlibat lebih
banyak dalam politik praktis. Dengan menguji para bakal calon anggota
legislatif melalui proses wawancara dengan tim independen, kualitas calon
bisa terjaga.
Perubahan wajah
Jika perekrutan terbuka yang
dilakukan PSI ini berhasil, politik Indonesia akan mengalami perubahan wajah.
Anak-anak muda profesional dari pelbagai bidang akan mengisi daftar calon
anggota legislatif mereka. Lalu, sebagian mereka akan berhasil masuk
parlemen. Dengan demikian, bukan hanya jumlah aktivis yang akan bertambah,
melainkan juga varian yang meluas pada aktivis yang masuk ke dalam parlemen.
Rekrutmen terbuka calon anggota
legislatif adalah ikhtiar memudakan politik Indonesia. Partai-partai politik
dominan perlu melakukan hal serupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar