Ambisi
Besar COP-23 Terganjal Emisi Energi
Daniel Murdiyarso ; Principal Scientist Center for International
Forestry Research (CIFOR)
|
KOMPAS,
25 November
2017
Perhelatan iklim dunia
Conference of Parties ke-23 (COP-23) di Bonn, Jerman, baru saja berakhir. Para delegasi telah kembali ke negara
masing-masing dengan kepala sedikit pening karena urusannya tak kunjung
bening. Tugas baru makin menumpuk dengan ambisi baru yang terus dipupuk guna
mencegah bencana iklim yang sudah di pelupuk.
Sejak zaman pra-industri hampir 200 tahun
silam, atmosfer Bumi sudah bertambah lebih dari 500 miliar ton CO2. Jumlah
yang sama akan ditambahkan lagi ke atmosfer yang makin pengap ini hanya dalam
waktu 40 tahun dari sekarang. Untuk mengerem laju penumpukan gas rumah kaca
(GRK) dan ancaman pemanasan global, para pihak telah menyepakati Kesepakatan
Paris, dua tahun silam. Tujuan utamanya adalah mencegah naiknya suhu kurang
dari 2 derajat celsius pada akhir abad ini. Karena itu, emisi GRK harus
ditahan hingga di bawah 1 triliun ton setara CO2.
Tuan rumah COP-23 sebenarnya adalah Fiji.
Namun, karena alasan teknis, perhelatan akbar ini terpaksa diselenggarakan di
sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman. Memang sangat sulit bagi Fiji jika harus
menampung peserta yang mencapai 20.000 orang itu. Karena tuan rumahnya adalah
Fiji, sebuah negara kepulauan di Samudra Pasifik, tidak mengherankan jika isu
laut, kelautan, dan karbon biru banyak mendapat perhatian. Pada minggu kedua
menjelang akhir perhelatan COP, di Pavilion Fiji dideklarasikan terbentuknya
Ocean Parthway Partnership (OPP).
Saat ini 40 persen listrik dunia dari
pembangkit batubara dengan kontribusi emisi sangat besar. Bahan bakar fosil
ini masih memiliki deposit yang besar, tetapi harus segera ditinggalkan jika
target di bawah 2 derajat celsius hendak dicapai. ”Penghapusan” emisi melalui
offset dengan perdagangan emisi bukan tujuan Kesepakatan Paris dan besar
kemungkinan tidak diatur karena Kesepakatan Paris menjunjung tinggi
Nationally Determined Contributions (NDC) sebagai bagian integral
kesepakatan.
Pada pengujung acara tahunan
itu tiba-tiba muncul aliansi global untuk mengakhiri penggunaan batubara pada
2030, Global Alliance to Phase-out Coal, yang dimotori Inggris dan Kanada.
Langkah ini cukup menohok Jerman, yang bersama pengguna batubara terbesar
lainnya, seperti China, India, AS, belum bergabung. Dunia mempertanyakan
apakah revolusi energi terbarukan Jerman dapat berdiri sendiri, sedangkan Jerman
sangat bergantung pada batubara.
Implikasi untuk Indonesia
Sebagai negara kepulauan, Indonesia dapat
berasosiasi dengan negara-negara berkembang di pulau kecil (small islands
developing states/SIDS) dalam konteks ancaman kenaikan muka laut dan potensi
karbon biru (blue carbon) yang dimilikinya. Kekayaan alam dari lautan dan
konsep benua maritim atau Wawasan
Nusantara sangat relevan diperjuangkan dalam kancah global selanjutnya dan
yang lainnya.
Keanggotaan Indonesia dalam International
Partnership for Blue Carbon (IPBC), perlu digandengkan dengan OPP. Inisiatif
semacam ini akan memperkokoh jaringan kerja sama dan pengayaan informasi
antarnegara senasib dan sepenanggungan. Kapasitas negara alam argumentasi di
kancah global juga akan meningkat dan tidak kecil kemungkinan untuk Indonesia
menunjukkan kepemimpinannya.
Indonesia adalah rumah dari seperempat
ekosistem mangrove dunia, gudang karbon biru yang berada di pesisir. Dalam
jumlah lebih dari 3 miliar ton setara CO2, cadangan tersebut memiliki potensi
besar untuk mitigasi perubahan iklim. Pengarusutamaan karbon biru pesisir
Indonesia ke dalam NDC akan memberi kontribusi yang signifikan dalam mencapai
target penurunan emisi 29 persen, di mana sektor lahan berkontribusi sekitar
0,86 miliar ton per tahun.
Di sisi lain, Indonesia perlu lebih
strategis dalam menurunkan emisi dari sektor energi yang berbasis fosil
ketika target membangkitkan listrik sebesar 35 000 MW akan digenjot,
sementara batubara masih akan digunakan paling sedikit 30 persen dan minyak
25 persen hingga 2025. Emisi sektor energi adalah 0,63 miliar ton CO2 per
tahun, terbesar kedua setelah sektor lahan.
Sesungguhnya selama dua pekan berkutat
dengan teks negosiasi, para pihak tidak berhasil menghasilkan keputusan
konkret tentang tata cara mengimplementasikan Kesepakatan Paris. Jika traktat
pendahulunya, Protokol Kyoto, memerlukan tiga tahun menghasilkan mekanisme
trio Joint Implementation, Emission Trading, dan Clean Development Mechanism,
bisa jadi Kesepakatan Paris baru akan memiliki tata cara tersebut paling
cepat tahun depan di COP-24 di Katowice, Polandia.
Bonn sudah sunyi kembali. Kota bekas ibu
kota Jerman Barat itu akan terus menjadi saksi bisu ketika
pertemuan-pertemuan antar-COP diselenggarakan. Pertemuan yang tidak mengambil
keputusan, tetapi lebih membahas substansi untuk diputuskan dalam COP.
Ketika Kesepakatan Paris dapat
diimplementasikan dengan tata cara yang disepakati bersama, kira-kira tahun
2020, saat itu NDC pun perlu mengalami revisi sesuai dengan perkembangan
domestik di setiap negara. Pra-2020 banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar