Ha-ha-ha
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
23 November
2017
Politik itu memang keras, penuh
intrik, akrobatik, tetapi juga penuh humor. Contoh, kasus Setya Novanto mungkin
humor politik paling komprehensif. Gara-gara mobil yang membawa Novanto
menabrak tiang listrik di kawasan Permata Hijau, Jakarta, malah tiang
listriknya yang jadi trending topic dan subyek berswafoto (selfie).
Sampai-sampai ada klarifikasi dari PLN bahwa itu bukan tiang listrik PLN,
tetapi tiang penerangan jalan umum milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sebegitu pentingkah sampai tiang lampu diklarifikasi.
Maklum, Novanto bukan orang
sembarangan. Dia Ketua Umum Partai Golkar. Dia juga Ketua DPR, tempat “orang-
orang terhormat”. Dia orang penting. Dalam puisi “Orang Penting”, KH Mustofa
Bisri (Gus Mus) menorehkan kata-kata jenaka sarat makna: “Orang penting lain
dengan yang lain/Dia beda karena pentingnya/Bicaranya penting diamnya
penting/Kebijaksanaannya penting/Ngawurnya pun penting/Semua yang ada padanya
penting/Sampai pun yang paling tidak penting”.
Begitulah orang penting. Yang
tak penting pun jadi penting. Novanto memang lain. Misalnya, sesaat setelah
kecelakaan, pengacaranya menjelaskan “mobilnya hancur, cur, cur…”. Saat yang
sama televisi meng-close up mobil Toyota Fortuner yang rusak cuma sekitar
bemper depan. Ada juga ungkapan “luka parah, berdarah, benjol-benjol segede
bakpao, hingga gejala gegar otak”. Tetapi, orang sulit menemukan semua fakta
itu. Itulah saktinya. Mungkin tak mudah dilihat secara kasatmata.
Kalau melihat sebagai humor
politik, jangan masukin hati, karena nanti bisa sakit hati, stroke, atau
serangan jantung. “Bahasa politik” yang menggelikan justru bisa mengundang
tawa. Kata George Orwell (1946), novelis Inggris, “bahasa politik … dirancang
untuk membuat kebohongan terdengar jujur ??dan pembunuhan jadi terhormat”,
dan, “Musuh besar dari bahasa yang jelas adalah ketidaktulusan,” tulis Eric
Arthur Blair (1903-1950), nama asli penulis novel 1984 yang terkenal itu.
Terbayang mengapa persoalan
politik banyak menjadi bahan lelucon. Meme-meme lucu bertaburan di media
sosial. Begitu kreatifnya secepat kilat muncul game “tiang listrik: siapa
bilang nabrak tiang listrik gampang?” Pertanyaannya kenapa masalah serius
menjadi lucu-lucuan? Korupsi adalah persoalan besar bangsa ini. Tetapi, tetap
banyak pejabat yang korup dan serakah. Ada politikus yang nyinyir terus,
pihak lain salah melulu. Aneh! Kewarasan sudah lenyap. Perilaku begitu
membuat rakyat lelah, penat, dan muak. Dan, humor adalah ekspresi kemuakan,
sebelum kemarahan besar.
Sayangnya, meme-meme lucu itu
diadukan ke polisi. Dianggap penghinaan. Lalu bagaimana praktik korup yang
dilakukan para politikus, apakah tidak menghina dan mengkhianati rakyat? Asal
tahu saja, di dunia ini orang memahami meme sebagai salah satu ekspresi
kritik satir. Kritik satir justru menyembuhkan luka patologis di arena
politik. Kritik satir itu melekat dalam demokrasi. Antikritik berarti
tiranik.
Di Uni Soviet dulu humor
politik sering terdengar. Ilmuwan politik Nikolai Zlobin (Humor as Political
Protest, 1996) menceritakan pemerintah Soviet takut pada lelucon yang
mewabah. Sampai ada anekdot tentang ketakutan rezim terhadap lelucon.
Pemerintah menggelar kontes rahasia mencari lelucon terbaik. Hadiah pertama
diganjar 25 tahun penjara, hadiah kedua dapat 20 tahun, dan hadiah ketiga 15
tahun. Lelucon tentang Lenin mendapat hadiah utama, yaitu dieksekusi.
Gorbachev, sang tokoh reformis,
juga suka bercerita dan mendengarkan lelucon, terutama tentang dirinya. Dia
bercerita tentang dua pria yang antre membeli vodka. Sejam, dua jam berlalu,
antrean hampir tak bergerak. Semua orang kesal. Lalu, salah satu pria tidak
sabar lagi; “Aku muak di mana-mana antre. Anda tidak bisa membeli apa pun,
toko-toko kosong. Ini karena Gorbachev dan perestroikanya yang bodoh. Cukup
sudah! Aku mau ke Kremlin sekarang untuk membunuh dia.” Setelah dua jam, pria
itu kembali. Masih marah dan berkata, “Persetan dengan itu! Ternyata antrean
di Kremlin untuk membunuh Gorbachev lebih panjang.” Ha-ha-ha.
Akhirnya tersadar anekdot di
Uni Soviet dulu rasanya lebih lucu dari komedi politik di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar