Mencerna
Mitos Kebebasan Beragama
Iqbal Aji Daryono ; Esais; Penghayat salah satu agama resmi yang
diakui negara
|
DETIKNEWS,
21 November
2017
Sebegitu sulitnyakah kita
menyadari, memahami, dan mengakui bahwa ada orang lain yang meyakini sesuatu
yang tidak kita yakini, sekaligus tidak percaya kepada apa yang kita
percayai?
Pertanyaan demikian muncul di
kepala saya saat membaca laporan dari Rebecca Henschke tentang Orang Rimba,
yang kemarin sempat viral itu. Alkisah, banyak Orang Rimba dari pedalaman
Sumatra masuk Islam. Atas fenomena itu, dikabarkan Mbak Menteri Sosial
Khofifah berkomentar, "Kini mereka mengenal Tuhan."
Aduh. Apakah dengan pernyataan
tersebut Mbak Khofi mau bilang bahwa selama ini Orang Rimba tidak mengenal
Tuhan? Atau, jangan-jangan hanya karena mereka memiliki konsep Tuhan yang
berbeda dengan kita, beda dengan agama-agama besar berpengikut miliaran,
lantas mereka dianggap tidak mengenal Tuhan?
Saya kira, segalanya bermula
dari rezim pemberi definisi. Pada langkah pertama, Tuhan diberi definisi.
Tuhan adalah begini begini begini. Definisi tersebut, secara paling gampang,
mengambil bahan dasar dari teologi agama-agama besar.
Kemudian, setelah
mendefinisikan apa itu Tuhan, agama pun didefinisikan. Yang disebut agama
adalah begitu begitu begitu. Di luar lingkaran definisi tersebut, sistem
keyakinan seperti apa pun tidak pantas disebut agama.
Pada proses-proses sejarah
selanjutnya, kita terus terjebak dalam pagar berduri yang dibangun dari
definisi-definisi. Maka, Orang Rimba, juga sekian masyarakat adat lain dengan
sistem kepercayaan masing-masing, dianggap tidak mengenal Tuhan.
Padahal, apa sebenarnya yang
kita maksud dengan 'Tuhan'?
Saya sendiri muslim. Muslim menyebut
Tuhan dengan Allah, atau Rabb. Saya jadi ikut mengatakan 'Tuhan' karena saya
penutur bahasa Indonesia. Sementara, umat agama "resmi" lainnya
dengan konsep ketuhanan yang tidak persis sama dengan Islam pun menyebutnya
sama: 'Tuhan'.
Jadi sebenarnya yang disebut
dengan kata 'Tuhan' itu yang seperti apa? Apakah Tuhan dalam versi pandangan
Islam? Ataukah versi Kristen, baik Katolik maupun Protestan? Atau versi
Hindu? Atau Buddha? Atau Khonghucu? Bukankah dari keenam agama yang diakui
negara, konsep ketuhanan yang dianut masing-masing sesungguhnya berbeda-beda?
Dengan demikian, pada prinsipnya Sang Kekuatan Tertinggi yang kita puja dalam
sebuah sistem kepercayaan kita sepakati sebagai Tuhan, bukan?
Lalu dengan nalar apa, sehingga
para penganut keyakinan lokal tidak berhak menyebut sesembahan mereka sebagai
'Tuhan'?
Nah, di kampung kita,
pagar-pagar definisi yang rapuh itu memakan korban, ketika apa yang dipuja
oleh Orang Rimba tidak digolongkan sebagai Tuhan. Bahwa secara konkret Orang
Rimba juga memuliakan kekuatan-kekuatan nun di atas sana, kekuatan di luar
fisik dan rasio, itu tidak penting. Yang jelas konsep kekuatan agung yang
mereka sembah itu berada di luar koridor definisi Tuhan menurut rezim pemberi
definisi, sehingga artinya "Dia" bukan Tuhan.
Dari definisi yang mantap atas
Tuhan, agama pun menyusul. "Syarat agama adalah memiliki Tuhan, kitab
suci, nabi pembawa ajaran, tata peribadatan, dan tempat ibadah." Paket
syarat semacam itu saya dapatkan pada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) semasa SD (dan sekarang agaknya mau ditegaskan lagi dalam RUU
Perlindungan Umat Beragama).
Maka sempurna sudah jebakan
definisi yang terus menjerat kita. Titik kulminasinya terjadi pada langkah
birokrasi, yakni saat pemerintah Orde Baru pada tahun 1978 meletakkan
penghayat kepercayaan bukan di bawah Departemen Agama, melainkan bersama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan!
Ini luar biasa. Sistem
keyakinan, yang menjadi landasan spiritual jutaan orang, yang menjadi acuan
hidup lahir dan batin, yang digenggam erat seerat kita menggenggam ajaran
agama kita yang resmi-resmi itu, diposisikan sebagai sekadar
"budaya" dalam makna sempitnya.
Dari situlah kita tak perlu
heran ketika hampir empat dekade kemudian, Pak Din Syamsudin mengatakan bahwa
kriteria agama terbatas secara ilmiah, sehingga Selam Sunda Wiwitan ia
katakan bukan agama. Owhh, ini absurditas yang lain lagi. Keyakinan dalam
hati dibatasi secara ilmiah? Jadi kita sedang bicara keyakinan, sains, atau
apa?
Klaim kriteria ilmiah untuk
agama itu sebenarnya tak akan terlalu membawa masalah secara konkret, andai
cuma berhenti di situ saja. Repotnya, ia menjelma ke dalam tata aturan
birokrasi, berupa agama-agama resmi yang diakui negara.
Dengan pengakuan enam agama
resmi, maka otomatis agama-agama yang lain tidak resmi. Kalau tidak resmi,
tidak boleh masuk KTP. Kalau di KTP tidak ada nama agamanya, maka saat
menikah tidak bisa mendapatkan akta perkawinan. Kalau tidak ada akta
perkawinan, anak hasil pernikahan tidak diberi akta kelahiran. Kalau tidak
ada akta kelahiran, anak-anak itu tidak bisa mendaftar ke sekolah.
Padahal kalau tidak sekolah,
mereka tidak akan bisa calistung. Dan kalau tidak kenal calistung, anak-anak
itu kelak gampang ditipu oleh orang-orang kota.
Realitas negara birokrasi
seperti itu membawa akibat yang pedih. Orang Dayak beragama Kaharingan dan
orang Bugis beragama Tollotang terpaksa pura-pura jadi Hindu, padahal
sebenarnya bukan Hindu. Orang Lombok beragama Wetu Telu dan Orang Rimba
terpaksa masuk Islam, padahal bukan Islam. Bisa jadi orang Batak beragama
Parmalim dan orang Minahasa beragama Tonaas Walian pun terpaksa jadi Kristen,
padahal hati mereka sama sekali tidak mengimani ajaran Kristen.
Itu belum semuanya. Pagar ajaib
tadi jadi lebih ketat lagi, karena dalam internal agama resmi pun pembatasan
ditegaskan.
Maka secara de facto, Islam
yang diakui resmi di Indonesia adalah Islam Sunni. Negara tidak melakukan
tindakan apa pun ketika spanduk-spanduk tersebar dengan bunyi "Syiah
Bukan Islam". Tak peduli bahwa orang Syiah sendiri meyakini diri mereka
muslim, muncul tuntutan agar muslim Syiah tidak menyebut diri mereka muslim.
Kasus Syiah jadi mirip
Ahmadiyah. Persetan bahwa orang Ahmadi sendiri meyakini mereka muslim, dan
mengimani bahwa Islam yang benar adalah Islam menurut versi Ahmadi. Pokoknya
sebagian kalangan meminta pemerintah melarang kaum Ahmadi menyebut diri
muslim.
"Kami mendukung
kemerdekaan beragama. Tapi kami tidak memberi toleransi untuk penistaan
agama!" begitu lebih kurang ucapan Pak Habib waktu itu, dengan
menegaskan bahwa keyakinan umat Ahmadi merupakan penistaan dan penodaan atas
Islam.
Walhasil, meski mereka yakin
apa yang mereka jalani itu bernama Islam, mereka tidak boleh menyebutnya
Islam? Sama dengan di Malaysia, saat muncul larangan bagi gereja untuk
menyebut nama Allah dalam peribadatan mereka, karena Allah hanyalah
"milik" umat Islam?
Lalu apakah Pak Habib juga akan
terima jika dikatakan bahwa orang-orang Islam melakukan penistaan atas agama
Kristen, sebab Islam memosisikan Yesus sebagai nabi dan bukan Tuhan?
Keputusan Mahkamah Konstitusi
yang memungkinkan identitas penghayat kepercayaan masuk ke dalam KTP
merupakan langkah besar. Namun tetap saja kerumitan demi kerumitan akan terus
terjadi dalam dinamika kemerdekaan berkeyakinan kita, jika kita tidak berani membongkar
definisi-definisi lama.
Lalu definisi seperti apa yang
bisa ditawarkan?
Tidak usah jauh-jauh dengan
mengutip Talcott Parsons atau Immanuel Kant. Sebab diam-diam Pusat Bahasa
sudah punya definisi sendiri. Coba simak, penjelasan lema agama dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
agama: n ajaran, sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta manusia dan lingkungannya.
Tuh, coba resapi. Jauh lebih
progresif ketimbang pelajaran PMP dan draf RUU Perlindungan Umat Beragama,
bukan?
Jika definisi ala KBBI tersebut
yang kita acu, niscaya agama Orang Rimba adalah agama. Tinggal bagaimana agar
Mbak Khofifah tidak kembali terpeleset lidah dengan (seolah) mengatakan Orang
Rimba belum kenal Tuhan sebelum masuk Islam.
Ya, ya, ya. Andai Mbak Khoffi
mengucapkan kalimat itu bukan sebagai menteri, melainkan secara personal
sebagai seorang muslimah, jelas tidak ada masalah. Toh secara riil setiap
agama berdiri di atas klaim kebenaran masing-masing. Secara pribadi sah-sah
saja kita meyakini agama kita yang paling benar, dan agama kita satu-satunya
yang mengenal Tuhan.
Namun ruang-ruang publik dan
tindakan yang berimplikasi sosial selalu menjadi pembatasnya. Ruang publik
itu ya misalnya dalam konteks peran Mbak Khofi sebagai menteri.
Sama dengan kita. Kita boleh
meyakini agama lain salah, sebatas kita ekspresikan dalam ruang-ruang privat.
Semua akan jadi problem sosial, bahkan problem hukum, jika keyakinan kita
atas kesalahan agama lain itu kita tulis di poster-poster, misalnya, lalu
kita tempel di tiang listrik depan rumah.
Oh ya. Ini soal lain.
Ngomong-ngomong, siapa sih sebenarnya yang memulai penggunaan ungkapan
"pemeluk agama" dan "penghayat kepercayaan"? Kenapa bukan
"penghayat agama" dan "pemeluk kepercayaan"?
Mungkinkah itu kode rahasia,
untuk menyindir para penganut agama-agama besar yang cuma pintar
peluk-pelukan, tapi malah lupa dengan penghayatan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar