Rabu, 22 November 2017

Mencerna Mitos Kebebasan Beragama

Mencerna Mitos Kebebasan Beragama
Iqbal Aji Daryono ;  Esais; Penghayat salah satu agama resmi yang diakui negara
                                                DETIKNEWS, 21 November 2017



                                                           
Sebegitu sulitnyakah kita menyadari, memahami, dan mengakui bahwa ada orang lain yang meyakini sesuatu yang tidak kita yakini, sekaligus tidak percaya kepada apa yang kita percayai?

Pertanyaan demikian muncul di kepala saya saat membaca laporan dari Rebecca Henschke tentang Orang Rimba, yang kemarin sempat viral itu. Alkisah, banyak Orang Rimba dari pedalaman Sumatra masuk Islam. Atas fenomena itu, dikabarkan Mbak Menteri Sosial Khofifah berkomentar, "Kini mereka mengenal Tuhan."

Aduh. Apakah dengan pernyataan tersebut Mbak Khofi mau bilang bahwa selama ini Orang Rimba tidak mengenal Tuhan? Atau, jangan-jangan hanya karena mereka memiliki konsep Tuhan yang berbeda dengan kita, beda dengan agama-agama besar berpengikut miliaran, lantas mereka dianggap tidak mengenal Tuhan?


Saya kira, segalanya bermula dari rezim pemberi definisi. Pada langkah pertama, Tuhan diberi definisi. Tuhan adalah begini begini begini. Definisi tersebut, secara paling gampang, mengambil bahan dasar dari teologi agama-agama besar.

Kemudian, setelah mendefinisikan apa itu Tuhan, agama pun didefinisikan. Yang disebut agama adalah begitu begitu begitu. Di luar lingkaran definisi tersebut, sistem keyakinan seperti apa pun tidak pantas disebut agama.

Pada proses-proses sejarah selanjutnya, kita terus terjebak dalam pagar berduri yang dibangun dari definisi-definisi. Maka, Orang Rimba, juga sekian masyarakat adat lain dengan sistem kepercayaan masing-masing, dianggap tidak mengenal Tuhan.

Padahal, apa sebenarnya yang kita maksud dengan 'Tuhan'?

Saya sendiri muslim. Muslim menyebut Tuhan dengan Allah, atau Rabb. Saya jadi ikut mengatakan 'Tuhan' karena saya penutur bahasa Indonesia. Sementara, umat agama "resmi" lainnya dengan konsep ketuhanan yang tidak persis sama dengan Islam pun menyebutnya sama: 'Tuhan'.

Jadi sebenarnya yang disebut dengan kata 'Tuhan' itu yang seperti apa? Apakah Tuhan dalam versi pandangan Islam? Ataukah versi Kristen, baik Katolik maupun Protestan? Atau versi Hindu? Atau Buddha? Atau Khonghucu? Bukankah dari keenam agama yang diakui negara, konsep ketuhanan yang dianut masing-masing sesungguhnya berbeda-beda? Dengan demikian, pada prinsipnya Sang Kekuatan Tertinggi yang kita puja dalam sebuah sistem kepercayaan kita sepakati sebagai Tuhan, bukan?

Lalu dengan nalar apa, sehingga para penganut keyakinan lokal tidak berhak menyebut sesembahan mereka sebagai 'Tuhan'?

Nah, di kampung kita, pagar-pagar definisi yang rapuh itu memakan korban, ketika apa yang dipuja oleh Orang Rimba tidak digolongkan sebagai Tuhan. Bahwa secara konkret Orang Rimba juga memuliakan kekuatan-kekuatan nun di atas sana, kekuatan di luar fisik dan rasio, itu tidak penting. Yang jelas konsep kekuatan agung yang mereka sembah itu berada di luar koridor definisi Tuhan menurut rezim pemberi definisi, sehingga artinya "Dia" bukan Tuhan.

Dari definisi yang mantap atas Tuhan, agama pun menyusul. "Syarat agama adalah memiliki Tuhan, kitab suci, nabi pembawa ajaran, tata peribadatan, dan tempat ibadah." Paket syarat semacam itu saya dapatkan pada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) semasa SD (dan sekarang agaknya mau ditegaskan lagi dalam RUU Perlindungan Umat Beragama).

Maka sempurna sudah jebakan definisi yang terus menjerat kita. Titik kulminasinya terjadi pada langkah birokrasi, yakni saat pemerintah Orde Baru pada tahun 1978 meletakkan penghayat kepercayaan bukan di bawah Departemen Agama, melainkan bersama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan!

Ini luar biasa. Sistem keyakinan, yang menjadi landasan spiritual jutaan orang, yang menjadi acuan hidup lahir dan batin, yang digenggam erat seerat kita menggenggam ajaran agama kita yang resmi-resmi itu, diposisikan sebagai sekadar "budaya" dalam makna sempitnya.

Dari situlah kita tak perlu heran ketika hampir empat dekade kemudian, Pak Din Syamsudin mengatakan bahwa kriteria agama terbatas secara ilmiah, sehingga Selam Sunda Wiwitan ia katakan bukan agama. Owhh, ini absurditas yang lain lagi. Keyakinan dalam hati dibatasi secara ilmiah? Jadi kita sedang bicara keyakinan, sains, atau apa?

Klaim kriteria ilmiah untuk agama itu sebenarnya tak akan terlalu membawa masalah secara konkret, andai cuma berhenti di situ saja. Repotnya, ia menjelma ke dalam tata aturan birokrasi, berupa agama-agama resmi yang diakui negara.

Dengan pengakuan enam agama resmi, maka otomatis agama-agama yang lain tidak resmi. Kalau tidak resmi, tidak boleh masuk KTP. Kalau di KTP tidak ada nama agamanya, maka saat menikah tidak bisa mendapatkan akta perkawinan. Kalau tidak ada akta perkawinan, anak hasil pernikahan tidak diberi akta kelahiran. Kalau tidak ada akta kelahiran, anak-anak itu tidak bisa mendaftar ke sekolah.

Padahal kalau tidak sekolah, mereka tidak akan bisa calistung. Dan kalau tidak kenal calistung, anak-anak itu kelak gampang ditipu oleh orang-orang kota.

Realitas negara birokrasi seperti itu membawa akibat yang pedih. Orang Dayak beragama Kaharingan dan orang Bugis beragama Tollotang terpaksa pura-pura jadi Hindu, padahal sebenarnya bukan Hindu. Orang Lombok beragama Wetu Telu dan Orang Rimba terpaksa masuk Islam, padahal bukan Islam. Bisa jadi orang Batak beragama Parmalim dan orang Minahasa beragama Tonaas Walian pun terpaksa jadi Kristen, padahal hati mereka sama sekali tidak mengimani ajaran Kristen.

Itu belum semuanya. Pagar ajaib tadi jadi lebih ketat lagi, karena dalam internal agama resmi pun pembatasan ditegaskan.

Maka secara de facto, Islam yang diakui resmi di Indonesia adalah Islam Sunni. Negara tidak melakukan tindakan apa pun ketika spanduk-spanduk tersebar dengan bunyi "Syiah Bukan Islam". Tak peduli bahwa orang Syiah sendiri meyakini diri mereka muslim, muncul tuntutan agar muslim Syiah tidak menyebut diri mereka muslim.

Kasus Syiah jadi mirip Ahmadiyah. Persetan bahwa orang Ahmadi sendiri meyakini mereka muslim, dan mengimani bahwa Islam yang benar adalah Islam menurut versi Ahmadi. Pokoknya sebagian kalangan meminta pemerintah melarang kaum Ahmadi menyebut diri muslim.

"Kami mendukung kemerdekaan beragama. Tapi kami tidak memberi toleransi untuk penistaan agama!" begitu lebih kurang ucapan Pak Habib waktu itu, dengan menegaskan bahwa keyakinan umat Ahmadi merupakan penistaan dan penodaan atas Islam.

Walhasil, meski mereka yakin apa yang mereka jalani itu bernama Islam, mereka tidak boleh menyebutnya Islam? Sama dengan di Malaysia, saat muncul larangan bagi gereja untuk menyebut nama Allah dalam peribadatan mereka, karena Allah hanyalah "milik" umat Islam?

Lalu apakah Pak Habib juga akan terima jika dikatakan bahwa orang-orang Islam melakukan penistaan atas agama Kristen, sebab Islam memosisikan Yesus sebagai nabi dan bukan Tuhan?


Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan identitas penghayat kepercayaan masuk ke dalam KTP merupakan langkah besar. Namun tetap saja kerumitan demi kerumitan akan terus terjadi dalam dinamika kemerdekaan berkeyakinan kita, jika kita tidak berani membongkar definisi-definisi lama.

Lalu definisi seperti apa yang bisa ditawarkan?

Tidak usah jauh-jauh dengan mengutip Talcott Parsons atau Immanuel Kant. Sebab diam-diam Pusat Bahasa sudah punya definisi sendiri. Coba simak, penjelasan lema agama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):

agama: n ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya.

Tuh, coba resapi. Jauh lebih progresif ketimbang pelajaran PMP dan draf RUU Perlindungan Umat Beragama, bukan?

Jika definisi ala KBBI tersebut yang kita acu, niscaya agama Orang Rimba adalah agama. Tinggal bagaimana agar Mbak Khofifah tidak kembali terpeleset lidah dengan (seolah) mengatakan Orang Rimba belum kenal Tuhan sebelum masuk Islam.

Ya, ya, ya. Andai Mbak Khoffi mengucapkan kalimat itu bukan sebagai menteri, melainkan secara personal sebagai seorang muslimah, jelas tidak ada masalah. Toh secara riil setiap agama berdiri di atas klaim kebenaran masing-masing. Secara pribadi sah-sah saja kita meyakini agama kita yang paling benar, dan agama kita satu-satunya yang mengenal Tuhan.

Namun ruang-ruang publik dan tindakan yang berimplikasi sosial selalu menjadi pembatasnya. Ruang publik itu ya misalnya dalam konteks peran Mbak Khofi sebagai menteri.

Sama dengan kita. Kita boleh meyakini agama lain salah, sebatas kita ekspresikan dalam ruang-ruang privat. Semua akan jadi problem sosial, bahkan problem hukum, jika keyakinan kita atas kesalahan agama lain itu kita tulis di poster-poster, misalnya, lalu kita tempel di tiang listrik depan rumah.


Oh ya. Ini soal lain. Ngomong-ngomong, siapa sih sebenarnya yang memulai penggunaan ungkapan "pemeluk agama" dan "penghayat kepercayaan"? Kenapa bukan "penghayat agama" dan "pemeluk kepercayaan"?

Mungkinkah itu kode rahasia, untuk menyindir para penganut agama-agama besar yang cuma pintar peluk-pelukan, tapi malah lupa dengan penghayatan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar