Konstruksi
Realitas Setya Novanto
Lely Arrianie ; Dosen Komunikasi Politik Universitas Bengkulu;
Ketua Program Magister
Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 28 November 2017
BEGITU gegap gempitanya respon publik
terhadap kecelakaan yang dialami Setya Novanto beberapa waktu lalu. Sehingga,
alih-alih merasa iba, publik malah menciptakan 'meme' dan postingan yang
menggelikan, bahkan memperolok keadaan yang dialami Setya Novanto, dengan
#Save tiang listrik dan bakpau. Cukup untuk menyatakan, betapa kemarahan
publik yang tidak lagi bisa diungkapkan dengan emosi dan kata-kata,
dimanifestasikan dengan simbol yang justru tidak menempatkan Setya Novanto
sebagai korban, melainkan Setya Novantolah yang menganiaya tiang listrik dan
bakpau menjadi bagian dari cerita dan pernak-pernik kejadian yang
didramatisir pengacaranya.
Fenomena ini tidak bisa dibaca sebagai
respons sesaat dalam melihat respons publik terhadap apa yang dialaminya.
Bolak balik berhadapan dengan persoalan hukum, mulai kasus 'papa minta
saham'. Kata 'papa minta saham' itu sendiri bagian gaya bertutur berkaitan
dengan bagaimana masyarakat mengonstruksi realitas seorang Setya Novanto.
Bahkan saat dia mundur dari jabatannya
sebagai ketua DPR sebelum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutus apakah ia
bersalah, juga dianggap sebagai cara Setya Novanto mengonstruksi realitas,
berkelit atas kasus itu. Dari sana muncul asumsi publik, bahwa dia adalah
sosok yang licin dan sakti. Itu juga merupakan cara publik untuk
mengonstruksi realitas sosok Setya Novanto.
Konstruksi
realitas
Berger dan Luckmann mentahbiskan bahwa
‘Manusia adalah makhluk konservatif yang memiliki kecenderungan meripitasi
tindakan dan cenderung mencari keselarasan dan keamanan dalam hidup'. Dengan
demikian, tiap realitas dianggap sebagai proses institusionalisasi,
legitimasi, dan sosialisasi. Setya Novanto ialah simbol yang dalam
realitasnya ialah pemimpin sebuah organisasi parpol besar (Golkar) dan sekaligus
pemimpin sebuah lembaga tinggi negara yaitu DPR. Segala pola aturan atas
peran yang dimainkannya harus dapat memenuhi kebutuhan kolektif, itu yang
dinamakan institusionalisasi.
Di sisi lain institusionalisasi itu
dilegitimasi dan dijustifikasi dengan seluruh penjelasan logis sehingga
legitimasi itu dapat mengekalkan dan mengamankan institusi. Sebaliknya,
institusi dipertahankan dengan sosialisasi kepada segenap masyarakat yang
berkaitan dengan kepentingan institusi.
Apakah yang dilakukan, dan harus
dipertanggungjawabkan Setya Novanto itu merupakan konstruksi realitas atas
proses institusionalisasi, legitimasi dan sosialisasi? Itu tampaknya tidak.
Apa yang dialami Setya Novanto sehingga harus berhadapan dengan hukum,
merupakan persoalan pribadi, bukan organisasi atau kelembagaan. Bukan
persoalan Golkar dan bukan persoalan DPR.
Tetapi, mengapa dengan sangat piawai Setya
Novanto menempatkan semua persoalan itu seolah menjadi bagian dari persoalan
organisasi sekaligus kelembagaan. Pada organisasi dan lembaga yang hampir
semua komponen individu pelakunya bahkan tak mampu bersuara mengonstruksi
balik realitas yang dihadirkan Setya Novanto. Meski ia menggerogoti citra
organisasi dan lembaga perwakilan rakyat kebanyakan yang mencemooh dan
memperoloknya.
Realitas itu bersifat subjektif kata Weber,
tapi objektif menurut Durcheim, dan realitas itu sekadar simbolik kata Goerge
Herbert Mead. Tapi, realitas bisa bersifat intersubjektif, kata Berger
Luckmann. Semua perspektif itu bisa digunakan untuk melihat konstruksi
realitas atas Setya Novanto, baik untuk melihat bagaimana konsep
internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi. Ketiga konsep itu merupakan
dialektika simultan untuk melihat hubungan individu dengan masyarakat, saat
individu membentuk masyarakat dan masyarakat membentuk individu.
Pada saat eksternalisasi, ia menjalani
sejumlah tindakan yang berulang-ulang, kesadaran logis manusia melihat dan
merumuskannya sebagai fakta yang seharusnya diatur kaidah tertentu. Artinya
apa pun alasannya, Setya Novanto tidak boleh menghindar dari hukum, apalagi
menyiasati dengan perilaku tidak terhormat. Berpura-pura, entah berpura-pura
sakit, luka, atau bahkan benjol sebesar bakpau. Dan semua perilaku itu justru
menempatkannya dalam realitas semu sebagai pribadi pemimpin yang seharusnya
dihormati, tapi tidak bisa menempatkan diri dengan cara terhormat.
Dramaturgi
Tiba-tiba tiang listik, bakpau, dan
Fortuner mendadak selebritas, bahkan media mainstream dan sosial
menjadikannya sebagai topik bahasan. Setya Novantolah yang menjadi tokoh
utama dalam drama tiang listrik serta bakpau itu. Menjadi masalah utama di
balik hiruk pikuk candaan publik atas objek tersebut. Dramaturgi
diperkenalkan Erving Goffman melalui karyanya, The presentation of Self in
Everyday life. Goffman memperkenalkan berbagai strategi yang bisa digunakan
individu untuk memperoleh kepercayaan publik atas peran sosialnya. Sebab,
biasanya masalah yang dihadapi individu ialah bagaimana mengontrol kesan yang
diberikan orang lain pada dirinya, dan bagaimana ia mengontrol pesan atas
orang lain dalam hubungan sosialnya.
Oleh sebab itulah, tiap individu biasanya
berusaha mengontrol penampilan, keadaan fisik saat mereka memainkan perannya.
Serta perilaku peran yang aktual lengkap dengan gerak dan isyarat. Setelah penetapan
Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi KTP-E oleh KPK setelah tiga
kali mangkir dalam panggilan sebagai saksi oleh KPK, lalu ia menghilang saat
dijemput KPK, berlanjut dengan penetapannya sebagai DPO, tiba-tiba publik
dikejutkan beredarnya berita dan foto Setya Novanto yang terbaring di RS,
diinfus, dan diperban keningnya. Tidak selesai di sana, pengacara Setya
Novanto dengan cerdas mendramatisasi peristiwa yang menyebabkan Setya Novanto
harus masuk RS dan diperban itu.
Dramatisme itu meluncur lewat kata
bombastis sang pengacara: “Keadaannya sangat parah. Kalau melihat kerusakan
mobilnya pasti orang berpikir sudah lewat, dan keningnya benjol segede
bakpau." Penjelasan itu memiliki sifat dramaturgi, semua bentuk perilaku
baik perilaku pengacara maupun perilaku Setya Novanto, mempunyai implikasi
yang potensial terhadap konsep diri yang dikonstruksi masyarakat terhadap
pelakon yang terlibat di dalamnya. Dan benar saja, dalam hitungan detik
ratusan meme di media sosial menyeruak dan mendiskreditkan peristiwa itu.
Lucunya yang dikasihani bukan Setya Novanto, melainkan tiang listrik dan
bakpau.
Pada tahap ini, Setya Novanto mengalami
kesulitan menampilkan konsep diri yang diidealkan sedemikian rupa. Dengan dan
atas bantuan pengacara sekaliber apa pun, konstruksi realitas atas Setya
Novanto sudah sulit dikembalikan untuk diidealkan secara khusus.
Pengacara seolah mengambil peran Setya
Novanto untuk menjelaskan betapa sakitnya Setya Novanto. Sebagai Individu
yang mengambil peran orang lain, pengacara Setya Novanto menempatkan dirinya
sebagai objek menurut perspektif orang lain. Padahal dalam banyak teori
perilaku, individu bukanlah pemantul pasif terhadap pandangan dan penilaian
orang lain yang bersifat sementara.
Interpretasi terhadap tiang listrik yang
menjadi tempat selfie masyarakat dengan karangan bunga yang dipajang di
bawahnya, menggambarkan reaksi yang tidak bisa dianggap sepi. Ada masalah
dalam identitas peran Setya Novanto, dan tiang listrik serta bakpau menjadi
bagian dari cara masyarakat mengonstruksi realitas itu. Realitas Papa Setya
Novanto. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar