Muslim
Membunuh Muslim
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
27 November
2017
Lebih dari 300 orang meninggal dalam
serangan brutal ke sebuah mesjid di Sinai, Mesir. Pelakunya diduga gerombolan
ISIS. Huruf I dalam ISIS itu singkatan dari Islam. Ya, mereka orang muslim,
tapi sungguh banyak membunuh kaum muslim. Serangan di Mesir ini bukan
serangan pertama mereka terhadap mesjid.
Lebih menyedihkan lagi, ISIS juga bukan
satu-satunya kelompok yang menyerang mesjid. Bulan Maret tahun ini sebuah bom
meledak di dekat mesjid bermazhab Syiah di Pakistan, menewaskan 60 orang.
Pelakunya adalah kelompok Taliban. Selama periode 2002-2017, di Pakistan saja
terjadi 103 serangan terhadap mesjid, menewaskan lebih dari 1300 orang, dan
melukai lebih dari 2700 orang. Kalau kita kumpulkan data di seluruh dunia,
kita akan makin tercengang dibuatnya.
Bukankah Islam itu agama damai? Terlebih,
terhadap bukankah sesama muslim itu bersaudara? Tapi kenapa sesama muslim
justru saling bunuh?
Kalau kita lakukan penelusuran pada sejarah
Islam, wajah Islam sudah berdarah-darah sejak awal. Berselang 20 tahun setelah
wafatnya Nabi Muhammad, umat Islam sudah mulai berpecah belah dan saling
bunuh. Bermula dari ketidakpuasan atas gaya pemerintahan Usman yang dianggap
nepotis, karena mengangkat kerabatnya untuk berbagai jabatan, terjadilah
pemberontakan. Rumah Usman dikepung, lalu akhirnya Usman dibunuh.
Ali kemudian naik menjadi khalifah,
menggantikan Usman. Tapi keadaan tidak tambah baik. Aisyah mengangkat senjata
melawan Ali, lalu terjadilah Perang Unta. Pemberontakan itu bisa segera
ditumpas oleh Ali. Tapi kemudian muncul kekuatan yang jauh lebih besar
menantang Ali, dari kelompok Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah. Terjadilah
Perang Shiffin.
Dalam kekalutan itu, Ali dibunuh oleh
penganut kelompok Khawarij. Kekuasaan sempat dipegang sebentar oleh anaknya
Hasan, tapi kemudian segera beralih ke Muawiyah. Muawiyah kemudian membangun
dinasti, dengan mengangkat anaknya Yazid sebagai khalifah. Selama masa
selanjutnya keadaan tak pernah damai. Berulang kali Yazid mengirim pasukan
untuk menggempur para pemberontak yang melawannya, termasuk ke Mekkah dan
Madinah. Cucu Nabi, Husen, terbunuh di Karbala.
Masih panjang lagi daftar kekerasan
sepanjang sejarah Islam. Banyak orang Islam yang merekam klaim bahwa orang
Islam hanya berperang untuk mempertahankan diri. Namun kalau kita baca
sejarah dengan benar, kita akan tahu bahwa klaim itu tidak benar.
Apa yang membuat sejarah Islam
berdarah-darah? Pertama, karena pada masa awalnya umat Islam mengalami
tekanan oleh orang-orang Quraisy Mekkah. Nabi Muhammad tadinya memilih jalan
tanpa kekerasan. Ia mencoba menghindar, dengan hijrah ke Thaif, kemudian
umatnya hijrah ke Habasyah, sampai akhirnya Nabi sendiri hijrah ke Madinah.
Hijrah pun ternyata tak membuat orang-orang Mekkah berhenti menebar teror.
Maka, akhirnya Nabi memutuskan untuk balik melawan.
Pada masa selanjutnya banyak turun ayat
yang bernada keras, memberi legitimasi kepada umat Islam untuk melawan dengan
senjata. Lalu perang demi perang terjadi. Tadinya hanya perang defensif
melawan Quraisy Mekkah, tapi kemudian tidak terbatas di situ. Perang dengan
suku-suku Yahudi di sekitar Madinah juga pecah. Juga terjadi perang-perang
untuk menaklukkan berbagai suku di semenanjung Arab. Perang-perang ini
disemangati oleh berbagai ayat. Maka di Quran kita temukan diksi-diksi
"jihad" beriring dengan diksi "qitaal" yang bermakna
perang atau membunuh.
Karakter orang-orang Arab di masa itu
memang keras, sering berperang. Kemudian peperangan mendapat pembenaran suci.
Maka ketika berhadapan dengan sesama muslim pun, mereka menggunakan
dalil-dalil itu untuk menuding pihak lawan sebagai pihak yang layak
diperangi.
Kedua, setelah mengangkat senjata dan
menang pada Perang Badar, Nabi sudah bukan lagi hanya pemimpin agama. Ia
memimpin sebuah negara dalam format sederhana. Kekuasaannya makin lama makin
besar. Saat wafat, seluruh wilayah Hijaz sudah berada di bawah kontrolnya.
Setelah itu Islam tidak lagi sekadar hadir
sebagai sebuah agama. Ia adalah kekuatan politik, juga kekuatan senjata.
Sebagaimana layaknya kekuatan serupa, maka terjadilah berbagai intrik politik
internal untuk memperebutkan kekuasaan. Situasi itu terus berlangsung
sepanjang sejarah umat Islam, hingga kini.
ISIS dan sejenisnya itu adalah
kelompok-kelompok yang hendak mendapatkan kekuasaan politik, dan memperalat
dalil-dalil tadi untuk keperluan itu. Hasilnya, mereka menghadirkan kembali
kekejian masa lalu ke zaman sekarang.
Ancaman ISIS dan sejenisnya, biarlah jadi
beban aparat untuk menumpasnya. Untuk kita, ada tanggung jawab lain, yaitu
menjauhkan umat Islam dari jangkauan tangan-tangan kotor politikus. Ada
begitu banyak politikus yang memainkan ayat-ayat untuk kepentingan mereka.
Mereka tampil seolah pejuang Islam. Tapi pada faktanya, dengan kekuasaan di
tangan, mereka hanyalah orang-orang korup.
Mereka ini tega mengobarkan narasi-narasi
yang mengadu domba, seolah ada umat lain yang sedang berusaha menghancurkan
Islam. Tidak hanya itu. Mereka juga tega menuduh umat Islam lain sebagai
antek kelompok-kelompok yang hendak menghancurkan Islam. Bahkan mereka tega
menebar fitnah seolah pemerintah kita yang sah adalah musuh Islam.
Saya berdiri pada posisi bahwa umat Islam
Indonesia bersaudara dengan sesama mereka, juga bersaudara dengan umat lain.
Kita adalah saudara yang hidup bersama dalam rumah bernama NKRI. Kita hendak
membangun, menuju kepada Indonesia yang lebih baik lagi. Tidak ada umat yang
hendak menghancurkan umat lain, karena kita semua sadar bahwa kalau ada yang
berniat begitu, maka sesungguhnya ia sedang menghancurkan dirinya sendiri.
Kita harus bersama menyebar gagasan itu,
meyakinkan banyak orang bahwa delusi permusuhan umat lain itu adalah alat
yang disebar oleh politikus busuk yang sedang berusaha merebut kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar