Selasa, 28 November 2017

Menertibkan Dana Desa

Menertibkan Dana Desa
Bahruddin ;  Mahasiswa Program Doktoral The University of Melbourne;
Dosen Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
                                                    KOMPAS, 27 November 2017



                                                           
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman untuk membangun sistem kepatuhan pengelolaan dana desa. Sistem tersebut mencakup pencegahan, pengawasan, dan penanganan masalah dana desa.

MOU di atas merupakan respons negara atas maraknya tindak pelanggaran atau penyalahgunaan dana desa oleh aparatur desa. Sebagai aparatur negara, ketiga lembaga ini melihat bahwa ketidakpatuhan pengelolaan dana desa perlu ditangani dengan segera untuk memastikan dana desa dapat memberi manfaat sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.

Dalam perspektif pendekatan regulasi (regulatory approach), bagaimana mengimplementasikan MOU ini agar efektif membangun sistem kepatuhan yang berkelanjutan di tingkat desa?

Tiga perspektif pendekatan

Para akademisi dan juga praktisi yang menekuni pendekatan regulasi melihat bahwa membangun sistem kepatuhan dapat dilakukan dalam tiga perspektif, yakni kriminologi (criminology), birokrasi, dan socio-legal.

Pertama, perspektif kriminologi melihat bahwa pelanggaran terhadap regulasi merupakan tindak kriminal. Perspektif ini meyakini bahwa substansi dalam regulasi memiliki kebenaran mutlak dan mewajibkan semua pihak mengetahui regulasi yang telah diterbitkan.

Oleh sebab itu, perspektif ini senantiasa menganjurkan penggunaan pendekatan penegakan hukum melalui aparatur yang memiliki kewenangan di bidang hukum, misalnya polisi. Aktivitas penyelidikan untuk mencari tahu apakah suatu peristiwa sebagai sebuah tindak pidana atau bukan dan penyidikan untuk mencari barang bukti menjadi agenda utama untuk membangun sistem kepatuhan.

Kedua, perspektif birokrasi melihat bahwa pelanggaran terhadap regulasi merupakan tindakan yang mencerminkan ketidaksesuaian antara tata tertib administrasi regulasi dan implementasi.

Aparatur sipil pemerintah di tingkat pusat hingga daerah menjadi aktor utama untuk membangun sistem kepatuhan. Surat peringatan, pencabutan izin sementara ataupun selamanya merupakan hukuman yang sering diadopsi oleh birokrat untuk membangun sistem kepatuhan.

Ketiga, perspektif socio-legal meyakini bahwa pelanggaran terhadap regulasi merupakan bentuk ketidakcocokan (incompatibility) antara substansi regulasi dan konteks di mana regulasi diterapkan. Selain itu, perspektif ini juga melihat bahwa pelanggaran regulasi mungkin juga terkait dengan ketidakmampuan sasaran regulasi (regulatory target) untuk memenuhi ketentuan regulasi.

Oleh sebab itu, perspektif socio-legal mengedepankan kontekstualisasi regulasi dan peningkatan kapasitas dalam membangun sistem kepatuhan.

Sistem kepatuhan

Pilihan kebijakan yang ditempuh Kemendagri dan Kemendesa dengan melibatkan Polri dalam upaya pengelolaan dana desa mencerminkan kuatnya perspektif kriminologi di kedua kementerian tersebut. Pilihan ini benar dari perspektif pemberantasan korupsi yang tengah menjadi agenda Republik ini.

Namun, dalam konteks dana desa, pilihan ini perlu dipikirkan kembali terkait dengan semangat yang terkandung dalam UU Desa. Meminjam falsafah Jawa, MOU ini berpotensi untuk “bener tapi ora pener” atau kebijakan yang baik tetapi tidak tepat dalam konteks ataupun prosedur penerapannya.

Roh atau semangat yang mendasari lahirnya UU Desa seharusnya menjadi konteks pilihan kebijakan Kemendagri dan Kemendesa untuk membangun sistem kepatuhan pengelolaan dana desa.

UU Desa lahir sebagai pengejawantahan semangat membangun Indonesia dari pinggiran. Dengan demikian, cara pandang yang melihat desa hanya sebagai obyek atau lokasi implementasi kebijakan pembangunan dari pemerintah pusat dan daerah tidak relevan lagi.

UU Desa merupakan kebijakan afirmatif untuk memberikan kesempatan kepada desa berakselerasi meningkatkan martabatnya sebagai wilayah otonom dalam Republik ini. Oleh sebab itu, pelimpahan kewenangan mengurus wilayahnya dan penguatan kapasitas keuangan melalui dana desa menjadi kesepakatan politik yang terlembagakan melalui UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

UU Desa merupakan dasar hukum untuk melihat desa dari perspektif pembelajaran. Kesalahan atau ketidakpatuhan yang melibatkan entitas desa dalam pengelolaan dana desa merupakan keniscayaan dalam proses pembelajaran.

Kesalahan ini perlu diurai dan diselesaikan dengan pilihan-pilihan kebijakan yang selaras dengan nilai-nilai pembelajaran. Sistem kepatuhan dalam pembelajaran bukan berati permisif terhadap kesalahan atau pelanggaran, melainkan menjadikannya suatu bahan pembelajaran bersama untuk perbaikan pada masa mendatang.

Sistem yang responsif

Ian Ayres dan John Braitwaite, akademisi socio-legal, menulis buku berjudul Responsive Regulation: Transcending the DeregulationDebate yang terbit tahun 1992. Buku ini mengilhami akademisi, birokrat, maupun praktisi bisnis untuk membangun sistem kepatuhan berbasis piramida sanksi. Edukasi dan persuasi yang berfungsi mengurai ketidakpatuhan menjadi dasar piramida. Bagian tengah piramida membicarakan tentang sanksi administrasi. Sementara puncak piramida menyarankan pendekatan kriminalisasi untuk membangun sistem kepatuhan.

Responsive regulation menekankan bahwa kriminalisasi (pelibatan polisi) merupakan pendekatan terakhir ketika upaya-upaya persuasif melalui pembangunan kapasitas dan sanksi administrasi tidak mampu menyelesaikan pelanggaran terhadap regulasi.

Piramida sanksi ini menggambarkan bahwa kompleksitas ketidakpatuhan tidak mungkin diselesaikan melalui satu pendekatan saja. Ketidakpatuhan tidak selalu bagian dari kriminal, tetapi juga ketidakmampuan (incapability) atau kealpaan sistem administrasi birokrasi yang baik. Oleh sebab itu, penggabungan antara edukasi untuk membangun kapasitas, sanksi administrasi, dan kriminalisasi menjadi kebutuhan dalam pembangunan sistem kepatuhan.

Sistem kepatuhan “responsive regulation” ini mungkin relevan untuk pengelolaan dana desa. Sistem ini juga dapat menjadi petunjuk operasionalisasi MOU antara Kemendagri, Kemendesa, dan Polri dalam membangun sistem kepatuhan pengelolaan dana desa.

Kemendesa memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta kemampuan sumber daya manusia yang tepat untuk memperkuat dasar piramida sanksi, yakni melakukan upaya edukasi dan persuasi pengelolaan dana desa di tingkat masyarakat dan aparatur desa.

Pelatihan perencanaan partisipatif, pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, serta  penguatan kapasitas organisasi masyarakat untuk turut mengawasi dana desa menjadi agenda-agenda kerja pada dasar piramida sanksi.

Peran Kemendagri

Kemendagri sangat berkompeten untuk bekerja di tengah piramida sanksi. Pelanggaran-pelanggaran terhadap dana desa yang dilaporkan publik menjadi dasar birokrat untuk menerbitkan surat peringatan atau sanksi administrasi lainnya.

Kemendagri juga dapat mendorong kinerja pengelolaan dana desa melalui skema insentif dan disinsentif publik. Kemendagri dapat mengadopsi mekanisme “hotel berbintang” untuk mengomunikasikan performa pengelolaan dana desa ke publik. Semakin baik pengelolaan dana desa, maka semakin banyak pula bintang yang diperoleh desa tersebut, dan sebaliknya.

Keterlibatan Polri dalam pembangunan sistem kepatuhan pengelolaan dana desa terletak di puncak piramida sanksi. Profesionalitas Polri sangat dibutuhkan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan pelanggaran pengelolaan dana desa di desa-desa tertentu yang sudah direkomendasikan oleh Kemendagri dan Kemendesa.

Basis rekomendasi tersebut penting untuk memastikan bahwa pendekatan edukasi dan persuasi serta sanksi administrasi yang telah dilaksanakan tidak mampu menciptakan sistem kepatuhan. Maka, kriminalisasi melalui polisi menjadi jalan terakhir untuk memastikan dana desa memberi manfaat sesuai dengan semangat UU Desa.

Komitmen Kemendesa, Kemendagri, dan Polri yang tercantum dalam MOU sangat penting untuk memastikan makna pembangunan untuk kesejahteraan hadir di seluruh desa di Indonesia.

Meski demikian, MOU ini perlu diimplementasikan secara arif sesuai dengan nilai-nilai yang mendasari lahirnya UU Desa. Mungkin “responsive regulation” dapat menjadi kerangka kerja MOU sehingga benar-benar dapat mengatasi masalah tanpa melahirkan masalah baru yang lebih sistematis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar