Menertibkan
Dana Desa
Bahruddin ; Mahasiswa Program Doktoral The University of
Melbourne;
Dosen Jurusan
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
27 November
2017
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kepolisian Negara
Republik Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman untuk membangun
sistem kepatuhan pengelolaan dana desa. Sistem tersebut mencakup pencegahan,
pengawasan, dan penanganan masalah dana desa.
MOU di atas merupakan respons negara atas
maraknya tindak pelanggaran atau penyalahgunaan dana desa oleh aparatur desa.
Sebagai aparatur negara, ketiga lembaga ini melihat bahwa ketidakpatuhan
pengelolaan dana desa perlu ditangani dengan segera untuk memastikan dana
desa dapat memberi manfaat sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014.
Dalam perspektif pendekatan regulasi
(regulatory approach), bagaimana mengimplementasikan MOU ini agar efektif
membangun sistem kepatuhan yang berkelanjutan di tingkat desa?
Tiga
perspektif pendekatan
Para akademisi dan juga praktisi yang
menekuni pendekatan regulasi melihat bahwa membangun sistem kepatuhan dapat
dilakukan dalam tiga perspektif, yakni kriminologi (criminology), birokrasi,
dan socio-legal.
Pertama, perspektif kriminologi melihat
bahwa pelanggaran terhadap regulasi merupakan tindak kriminal. Perspektif ini
meyakini bahwa substansi dalam regulasi memiliki kebenaran mutlak dan
mewajibkan semua pihak mengetahui regulasi yang telah diterbitkan.
Oleh sebab itu, perspektif ini senantiasa
menganjurkan penggunaan pendekatan penegakan hukum melalui aparatur yang
memiliki kewenangan di bidang hukum, misalnya polisi. Aktivitas penyelidikan
untuk mencari tahu apakah suatu peristiwa sebagai sebuah tindak pidana atau
bukan dan penyidikan untuk mencari barang bukti menjadi agenda utama untuk
membangun sistem kepatuhan.
Kedua, perspektif birokrasi melihat bahwa
pelanggaran terhadap regulasi merupakan tindakan yang mencerminkan
ketidaksesuaian antara tata tertib administrasi regulasi dan implementasi.
Aparatur sipil pemerintah di tingkat pusat
hingga daerah menjadi aktor utama untuk membangun sistem kepatuhan. Surat
peringatan, pencabutan izin sementara ataupun selamanya merupakan hukuman
yang sering diadopsi oleh birokrat untuk membangun sistem kepatuhan.
Ketiga, perspektif socio-legal meyakini
bahwa pelanggaran terhadap regulasi merupakan bentuk ketidakcocokan
(incompatibility) antara substansi regulasi dan konteks di mana regulasi
diterapkan. Selain itu, perspektif ini juga melihat bahwa pelanggaran
regulasi mungkin juga terkait dengan ketidakmampuan sasaran regulasi
(regulatory target) untuk memenuhi ketentuan regulasi.
Oleh sebab itu, perspektif socio-legal
mengedepankan kontekstualisasi regulasi dan peningkatan kapasitas dalam
membangun sistem kepatuhan.
Sistem
kepatuhan
Pilihan kebijakan yang ditempuh Kemendagri
dan Kemendesa dengan melibatkan Polri dalam upaya pengelolaan dana desa
mencerminkan kuatnya perspektif kriminologi di kedua kementerian tersebut.
Pilihan ini benar dari perspektif pemberantasan korupsi yang tengah menjadi
agenda Republik ini.
Namun, dalam konteks dana desa, pilihan ini
perlu dipikirkan kembali terkait dengan semangat yang terkandung dalam UU
Desa. Meminjam falsafah Jawa, MOU ini berpotensi untuk “bener tapi ora pener”
atau kebijakan yang baik tetapi tidak tepat dalam konteks ataupun prosedur
penerapannya.
Roh atau semangat yang mendasari lahirnya
UU Desa seharusnya menjadi konteks pilihan kebijakan Kemendagri dan Kemendesa
untuk membangun sistem kepatuhan pengelolaan dana desa.
UU Desa lahir sebagai pengejawantahan
semangat membangun Indonesia dari pinggiran. Dengan demikian, cara pandang
yang melihat desa hanya sebagai obyek atau lokasi implementasi kebijakan
pembangunan dari pemerintah pusat dan daerah tidak relevan lagi.
UU Desa merupakan kebijakan afirmatif untuk
memberikan kesempatan kepada desa berakselerasi meningkatkan martabatnya
sebagai wilayah otonom dalam Republik ini. Oleh sebab itu, pelimpahan
kewenangan mengurus wilayahnya dan penguatan kapasitas keuangan melalui dana
desa menjadi kesepakatan politik yang terlembagakan melalui UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa.
UU Desa merupakan dasar hukum untuk melihat
desa dari perspektif pembelajaran. Kesalahan atau ketidakpatuhan yang
melibatkan entitas desa dalam pengelolaan dana desa merupakan keniscayaan
dalam proses pembelajaran.
Kesalahan ini perlu diurai dan diselesaikan
dengan pilihan-pilihan kebijakan yang selaras dengan nilai-nilai
pembelajaran. Sistem kepatuhan dalam pembelajaran bukan berati permisif
terhadap kesalahan atau pelanggaran, melainkan menjadikannya suatu bahan
pembelajaran bersama untuk perbaikan pada masa mendatang.
Sistem
yang responsif
Ian Ayres dan John Braitwaite, akademisi
socio-legal, menulis buku berjudul Responsive Regulation: Transcending the
DeregulationDebate yang terbit tahun 1992. Buku ini mengilhami akademisi,
birokrat, maupun praktisi bisnis untuk membangun sistem kepatuhan berbasis
piramida sanksi. Edukasi dan persuasi yang berfungsi mengurai ketidakpatuhan
menjadi dasar piramida. Bagian tengah piramida membicarakan tentang sanksi
administrasi. Sementara puncak piramida menyarankan pendekatan kriminalisasi
untuk membangun sistem kepatuhan.
Responsive regulation menekankan bahwa
kriminalisasi (pelibatan polisi) merupakan pendekatan terakhir ketika
upaya-upaya persuasif melalui pembangunan kapasitas dan sanksi administrasi
tidak mampu menyelesaikan pelanggaran terhadap regulasi.
Piramida sanksi ini menggambarkan bahwa
kompleksitas ketidakpatuhan tidak mungkin diselesaikan melalui satu
pendekatan saja. Ketidakpatuhan tidak selalu bagian dari kriminal, tetapi juga
ketidakmampuan (incapability) atau kealpaan sistem administrasi birokrasi
yang baik. Oleh sebab itu, penggabungan antara edukasi untuk membangun
kapasitas, sanksi administrasi, dan kriminalisasi menjadi kebutuhan dalam
pembangunan sistem kepatuhan.
Sistem kepatuhan “responsive regulation”
ini mungkin relevan untuk pengelolaan dana desa. Sistem ini juga dapat
menjadi petunjuk operasionalisasi MOU antara Kemendagri, Kemendesa, dan Polri
dalam membangun sistem kepatuhan pengelolaan dana desa.
Kemendesa memiliki tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) serta kemampuan sumber daya manusia yang tepat untuk memperkuat
dasar piramida sanksi, yakni melakukan upaya edukasi dan persuasi pengelolaan
dana desa di tingkat masyarakat dan aparatur desa.
Pelatihan perencanaan partisipatif,
pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, serta penguatan kapasitas organisasi masyarakat
untuk turut mengawasi dana desa menjadi agenda-agenda kerja pada dasar
piramida sanksi.
Peran
Kemendagri
Kemendagri sangat berkompeten untuk bekerja
di tengah piramida sanksi. Pelanggaran-pelanggaran terhadap dana desa yang
dilaporkan publik menjadi dasar birokrat untuk menerbitkan surat peringatan
atau sanksi administrasi lainnya.
Kemendagri juga dapat mendorong kinerja
pengelolaan dana desa melalui skema insentif dan disinsentif publik.
Kemendagri dapat mengadopsi mekanisme “hotel berbintang” untuk
mengomunikasikan performa pengelolaan dana desa ke publik. Semakin baik
pengelolaan dana desa, maka semakin banyak pula bintang yang diperoleh desa
tersebut, dan sebaliknya.
Keterlibatan Polri dalam pembangunan sistem
kepatuhan pengelolaan dana desa terletak di puncak piramida sanksi.
Profesionalitas Polri sangat dibutuhkan untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan pelanggaran pengelolaan dana desa di desa-desa tertentu yang sudah
direkomendasikan oleh Kemendagri dan Kemendesa.
Basis rekomendasi tersebut penting untuk
memastikan bahwa pendekatan edukasi dan persuasi serta sanksi administrasi
yang telah dilaksanakan tidak mampu menciptakan sistem kepatuhan. Maka,
kriminalisasi melalui polisi menjadi jalan terakhir untuk memastikan dana
desa memberi manfaat sesuai dengan semangat UU Desa.
Komitmen Kemendesa, Kemendagri, dan Polri
yang tercantum dalam MOU sangat penting untuk memastikan makna pembangunan
untuk kesejahteraan hadir di seluruh desa di Indonesia.
Meski demikian, MOU ini perlu
diimplementasikan secara arif sesuai dengan nilai-nilai yang mendasari
lahirnya UU Desa. Mungkin “responsive regulation” dapat menjadi kerangka
kerja MOU sehingga benar-benar dapat mengatasi masalah tanpa melahirkan
masalah baru yang lebih sistematis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar