Berebut
Partai Golkar
Ardi Winangun ; Pengamat Politik dan Associate Researcher LP3ES
|
DETIKNEWS,
29 November
2017
Kasus korupsi yang menimpa Ketua Umum
Partai Golkar Setya Novanto menimbulkan gejolak politik tidak hanya di
kalangan internal partai berlambang pohon beringin itu saja, namun juga
kalangan di luar partai. Sebab dirasa tidak memungkinkan mengendalikan partai
dalam kondisi ditahan dan harus menjalani proses sidang, maka di kalangan
internal partai menginginkan adanya pergantian ketua umum. Bagaimana teknis
pergantian nahkoda partai, ada yang mengusulkan cukup dengan Plt Ketua Umum,
ada pula yang mengusulkan pergantian ketua umum lewat musyawarah nasional
luar biasa (Munaslub).
Terlepas dari bagaimana proses pergantian
itu dilakukan, pastinya di kalangan internal banyak yang berminat. Memimpin
Partai Golkar bila dilakukan dengan cerdas maka kekuatan yang dimiliki bisa
dijadikan sebagai daya tawar yang demikian dahsyatnya. Dengan memperoleh
sebanyak 91 kursi di DPR, Partai Golkar selain bisa menjadi jangkar juga
sebagai penentu putusan. Tak heran bila Golkar selalu didekati oleh kelompok
mana pun agar bisa bersatu ketika untuk mengambil keputusan.
Dengan kursi sebanyak itu, Partai Golkar
mampu menjadi penekan bagi pemerintah bila kepentingan Golkar tak didengar.
Posisi yang demikian pernah digunakan oleh Jusuf Kalla saat menjadi Ketua
Umum Partai Golkar dan Wakil Presiden. Dengan kekuatan yang ada di DPR,
Golkar di bawah kendali Jusuf Kalla mampu menekan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono agar mau mengiyakan kebijakan Jusuf Kalla. Dengan Golkar di
belakang Jusuf Kalla, maka posisi Wakil Presiden mempunyai daya tawar yang
tinggi di pemerintahan sehingga saat itu sampai ada istilah "Matahari
Kembar" atau "Jusuf Kalla The Real President".
Posisi seperti itu membuat Golkar di mata
'lawan' harus disikapi dengan dua pilihan, dilemahkan atau dirangkul. Kasus
yang menimpa Setya Novanto yang menahun sebenarnya merupakan bagian dari pelemahan,
yang dilakukan entah oleh siapa. Dengan melakukan pembiaran pada Setya
Novanto menjadi ketua umum, membuat Golkar dalam kondisi sebagai partai yang
tersandera. Golkar harus bergantung pada kekuatan yang ada agar Setya Novanto
aman dari kasus-kasus yang menimpanya.
Dari sinilah maka Golkar tidak mandiri.
Akibatnya Golkar tidak bebas berkreasi dalam langkah-langkah politik. Selama
ini, dalam politiknya Golkar lebih sering menjadi gerbong daripada lokomotif
padahal ia sebagai urutan kedua dalam Pemilu 2014. Justru Golkar kalah
berkreasi dalam politik dengan Partai Gerindra dan Demokrat yang jumlah
kursinya jauh di bawahnya.
Golkar selama ini menjauh dari aspirasi
masyarakat sehingga dalam pilkada ia lebih banyak kalah daripada menang.
Lihat saja dalam Pilkada Jakarta 2017, Golkar yang mendukung Ahok dengan
partai besar lainnya seperti PDIP, PKB, PPP, PKB, serta Nasdem dan Hanura
kalah dengan Gerindra, PAN, dan PKS yang mengusung Anies. Pilihan Golkar
seperti itu bisa jadi lebih untuk kepentingan Setya Novanto daripada
kepentingan Golkar itu sendiri. Posisi seperti itulah yang menunjukkan proses
pelemahan pada Golkar berhasil.
Bila pelemahan tidak bisa dilakukan maka
Golkar akan dirangkul. Perangkulan Golkar dalam kekuasaan ditempuh dengan
cara memberi kursi menteri. Dengan masuknya Golkar dalam pemerintahan maka
emosi kekuasaan yang ada menjadi lebih terkendali. Beberapa masa
pemerintahan, Golkar selalu masuk dalam kekuasaan meski dalam pemilihan
presiden ia mempunyai calon presiden sendiri. Bila Gerindra dan PDIP yang
pernah memiliki calon presiden sendiri dan kalah, mereka memilih di luar
kekuasaan, hal demikian tidak terjadi pada Golkar. Meski kalah dalam pemilu
presiden, Golkar tetap saja masuk dalam kekuasaan yang ada. Hal demikian bisa
jadi karena Golkar yang tidak terlalu kaku dalam berpolitik sehingga mudah
dirangkul oleh kekuatan yang ada.
Kekuatan Golkar yang besar, seperti paparan
di atas, membuat kubu lain terutama kekuasaan yang ada juga turut campur
untuk ikut menentukan jeroan Golkar. Pihak lain ikut campur menentukan isi
Golkar pastinya dengan tujuan agar partai ini tidak membahayakan kekuasaan.
Untuk itu pihak lain menginginkan pengganti Setya Novanto adalah sosok yang
tidak membahayakan kekuasaan. Pertemuan antara Menteri Perindustrian
Airlangga Hartarto, Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, dengan Presiden
Joko Widodo di Istana, 20 November 2017, sebagai bukti penggantian Setya
Novanto membuat kecemasan pada kekuasaan.
Pastinya dalam pertemuan itu diharapkan
agar pengganti Setya Novanto adalah sosok yang tidak berseberangan dengan
pemerintah. Lebih diharapkan lagi bila pengganti Setya Novanto akan
melanjutkan apa yang selama ini sudah dikemukakan Golkar, yakni mendukung
Joko Widodo maju dalam Pemilu Presiden 2019. Yang tidak diharapkan adalah
bila pengganti Setya Novanto adalah sosok yang berseberangan, apalagi
mempunyai calon presiden sendiri. Bila demikian terjadi maka Golkar akan
menjadi sebuah ancaman.
Dari paparan di atas jelas terbukti bahwa
Golkar selalu menjadi rebutan di kalangan internal dan eksternal. Konflik di
tubuh Golkar yang menahun dan kerap terjadi menunjukkan perebutan di kalangan
internal. Sedangkan ikut campur urusan dari pihak lain terhadap isi Golkar,
seperti pertemuan tiga tokoh di atas, menunjukkan Golkar ingin direbut pihak
eksternal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar